Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengejutkan dari salah satu toko buku legendaris di Indonesia. PT GA Tiga Belas mengumumkan rencana untuk menutup outlet toko buku Gunung Agung yang masih tersisa pada 2023.
Dalam keterangan tertulis PT GA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung menyebutkan, kalau keputusan tersebut diambil lantaran tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulan yang semakin besar.
Sebelumnya pada 2020, Toko Buku Gunung Agung telah melakukan langkah efisiensi dengan menutup beberapa toko/outlet yang tersebar di beberapa kota yakni Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi, dan Jakarta. Hal iti dilakukan saat pandemi COVID-19.
Advertisement
“Namun, penutupan toko/outlet tidak hanya kami lakukan akibat dampak dari pandemi COVID-19 pada 2020 saja, karena kami telah melakukan efisiensi dan efektivitas usaha sejak 2013 untuk berjuang menjaga kelangsungan usaha dan mengatasi kerugian usaha,” tulis perseroan, Minggu (21/5/2023).
Hal itu dilakukan akibat masalah beban biaya operasional yang besar dan tidak sebanding dengan pencapaian penjualan setiap tahun yang semakin berat dengan terjadinya pandemi COVID-19 pada awal 2020. Penutupan toko/outlet yang terjadi pada 2020 bukan merupakan penutupan toko/outlet yang terakhir karena pada 2023 juga berencana menutup toko/outlet milik perseroan yang tersisa.
“Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulan yang semakin besar. Dalam pelaksanaan penutupan toko/outlet yang mana terjadi dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2023 kami melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis perseroan.
Toko Buku Gunung Agung menjadi salah satu toko buku legendaris di Indonesia. Dikutip dari laman Toko Buku Gunung Agung, berawal pada 1953, saat almarhum Tjio Wie Tay (1927-1990) memulai kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, dan majalah dengan nama kemitraan Thay San Kongsie di Jakarta Pusat.
Dirikan Firma Gunung Agung
Dikutip dari Sejarah Perbukuan di laman Kemdikbud, Tjio Wie Tay membentuk kongsi dagang dengan Lie Tay San dan The Kie Hoat bernama Tay San kongsie pada 1945 yang bermula dari dagang rokok.
Usai kemerdekaan, permintaan buku-buku sangat tinggi dan kemungkinan karena hengkangnya penerbit Belanda dari Indonesia. Hal itu dilihat sebagai peluang oleh Tay San Kongsie yang selanjutnya membuka toko buku impor dan majalah.
Saat itu masih terjadi persaingan dengan penerbit toko buku Belanda seperti Van Dorp dan Kolff. Seiring keuntungan buku lebih besar ketimbang penjualan rokok dan bir yang semula dijalankan Tay San Kongsie, kongsi ini pun menutup usaha rokok dan bir kemudian berganti ke toko buku.
Pada 1951, Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jalan Kwitang Nomor 13 Jakarta Pusat. Rumah itu ditata dan dibuat percetakan kecil pada bagian belakang. Pada 1953, Tjio Wie Tay memperbesar usaha menjadi firma. Ide tersebut ditolak oleh Lie Tay San sehingga ia mengundurkan diri dari kongsi itu.
Dikutip dari laman Toko Buku Gunung Agung, seiring perkembangan usaha yang semakin besar dan kompleks pada awal setelah kemerdekaan, haji Masagung mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan impor buku bernama Firma Gunung Agung. Kemudian berdiri Firma Gunung Agung yang ditandai dengan perhelatan pameran buku di Jakarta pada 8 September 1953.
Advertisement
Gelar Pameran Buku Jadi Momen Toko Buku Gunung Agung
Perusahaan terus berkembang dengan dukungan para penulis, penyair, cendekiawan dan jurnalis. Di tengah segala kesulitan yang dihadapi anak Indonesia yang masih sangat muda, Haji Masagung memelopori upaya membuka mata bangsa melalui buku.
Ia memulai pameran dengan modal Rp 500 ribu, Gunung Agung memamerkan 10 ribu buku yang merupakan jumlah fantastis pada saat itu. Pameran itu jadi momen awal bisnis Toko Buku Gunung Agung pada 1953.
Ia menggelar pameran buku pertama di Indonesia pada 1954 yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Pameran itu bernama Pekan Buku Indonesia 1954. Pada pameran buku tersebut, Gunung Agung memulai tradisi penyusunan bibliografi.
Lewat Pekan Buku Indonesia 1954, Tjoe Wie Tay dapat berkenalan dengan sosok yang dikaguminya Sukarno dan Hatta. Melalui perkenalan itu, Gunung Agung dipercaya untuk menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa 1954. Seiring bisnis yang besar juga didirikan gedung berlantai 3 di Jalan Kwitang Nomor 6. Gedung ini diresmikan langsung oleh Sukarno pada 1963. Pada tahun yang sama, Tjoe Wie Tay ubah nama menjadi Masagung.
Toko Buku Gunung Agung pun menjadi toko buku ritel terkemuka di Indonesia yang sediakan pelanggannya berbagai produk buku, alat tulis, kebutuhan sekolah, barang olah raga, alat music, peralatan kantor dan lainnya.
Masuk Pasar Modal Indonesia dan Sempat Masuk Bisnis Tambang
Toko Buku Gunung Agung pun masuk pasar modal Indonesia pada 1992. Perseroan mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Jakarta pada 6 Januari 1992. Saat itu, perseroan menawarkan saham perdana ke publik 1 juta saham dengan nilai nominal Rp 1.000 per saham dan harga penawaran Rp 5.000 per saham, demikian mengutip berbagai sumber.
Seiring waktu, perseroan yang selama ini bergerak di bidang perdagangan dan percetakan ekspansi ke bisnis pertambangan batu bara. Perseroan akuisisi 99,79 persen saham PT Permata Energy Resources pada 2012. Untuk akuisisi itu, perseroan menggelar penawaran umum terbatas sebanyak 94,86 persen dari modal ditempatkan.
Pada 2013, PT Toko Gunung Agung Tbk berganti nama menjadi PT Permata Prima Sakti Tbk. Perubahan nama tersebut seiring rencana perseroan mengubah bisnis menjadi pertambangan batu bara dari sebelumnya percetakan dan toko buku.
Empat tahun kemudian, PT Permata Prima Sakti Tbk (TKGA) pun terdepak dari bursa yang efektif pada 16 November 2017.
Advertisement