Liputan6.com, Jakarta Peralihan konsumsi rokok di tengah masyarakat semakin menguat. Hal ini terlihat dari penurunan produksi rokok golongan I, meskipun di sisi lain terdapat peningkatan produksi rokok golongan II dan III, ternyata berdampak pada realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT).
Baca Juga
Akibatnya, penerimaan CHT hingga April 2023 mencapai Rp72,35 triliun atau menurun 5,16% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Advertisement
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan tarif cukai 10% telah memicu tren downtrading ini, di mana konsumen turun kelas ke golongan yang lebih murah.
"Kita lihat angka penerimaannya mengalami penurunan, tren konsumsi masyarakat naik di segmen rokok yang lebih murah," ungkapnya dikutip Minggu (18/6/2023).
Tauhid menjelaskan apabila pola kebijakan seperti ini diteruskan, di mana golongan I terus mengalami kenaikan lebih besar, fenomena downtrading akan terus terjadi.
“Apalagi harganya sudah di atas (tinggi), otomatis konsumen golongan I akan turun kelas,” ujarnya.
Penerimaan Negara
Menurutnya, secara jangka panjang peralihan konsumsi ini akan semakin mempengaruhi penerimaan negara. “Semakin besar jarak tarif antar golongan, banyak praktik penghindaran cukai supaya pabrikan bisa buat rokok lebih murah. Kenaikan cukai jadi tidak efektif untuk optimalisasi penerimaan cukai,” katanya.
Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah untuk memperhatikan maraknya rokok murah dari golongan II atau di bawahnya. “Kalau pemerintah mau menjaga penerimaan negara ya harus segera diatasi, kalau tidak loss-nya akan banyak. Tidak hanya itu tenaga kerja di industri juga dirugikan karena dengan maraknya downtrading, laba dan omzet industrinya makin turun dan sumbangan cukainya justru negatif,” ujarnya.
Fenomena Peralihan Konsumsi
Fenomena peralihan konsumsi yang berimbas pada penurunan penerimaan CHT terjadi karena adanya selisih tarif yang besar antar rokok golongan I dan golongan II. Selama ini golongan I telah menjadi penyumbang penerimaan cukai terbesar sehingga penurunan produksinya berdampak besar pada penurunan penerimaan negara.
Sebelumnya dilaporkan bahwa produksi rokok golongan I turun 2,57% menjadi 13,57 miliar batang di April 2023. Sementara rokok golongan II naik 11,25% menjadi 6,25 miliar batang dan rokok golongan III naik 42,85% menjadi 4,51 miliar batang.
Kenaikan produksi rokok golongan II juga terlihat dari maraknya produk rokok dengan merek baru dan berharga murah. Warganet di media sosial kerap mendiskusikan fenomena produk rokok baru dengan harga murah ini.
Cuitan pada akun Twitter @txtdariperokok tentang “Sejak rokok naik, nama rokok temanku jadi aneh semua” telah dilihat sebanyak 3,8 juta kali, dan memperoleh lebih dari 50.000 tanggapan yang membenarkan fenomena tersebut.
Menanggapi hal ini, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Moddie Alvianto menilai masyarakat akan membeli rokok sesuai dengan kemampuan finansialnya. Saat harga rokok di pasaran semakin mahal, banyak konsumen memilih 'turun kasta' ke merek yang lebih terjangkau semata-mata agar tetap bisa terus merokok.
Advertisement
Rokok Murah Menjamur
Pemerintah telah mengumumkan kinerja APBN kuartal pertama (Januari – Maret) 2023. Penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat Rp72,24 triliun, merosot 8,93 persen dibanding kuartal I tahun lalu.
Hal ini merupakan kali pertama penerimaan Bea Cukai kuartal I dalam enam tahun terakhir mencatat angka negatif.
Adapun yang mengalami penurunan ialah penerimaan cukai di sektor cukai hasil tembakau. Penerimaan cukai hasil tembakau kuartal I 2023 dibandingkan kuartal I 2022 terkoreksi 0,74 persen (year-on-year) menjadi hanya Rp55,24 triliun.
Koreksi penerimaan cukai rokok disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau dan maraknya fenomena downtrading dimana konsumsi rokok golongan 1 dengan cukai lebih mahal berpindah ke golongan cukai yang lebih rendah.
Secara keseluruhan, produksi rokok kuartal pertama 2023 tercatat sebesar 69,4 miliar batang atau turun 19,05 persen dibanding kuartal 1 2022. Penurunan terbesar terjadi di Golongan 1 dari 55.1 miliar batang ke 38,8 miliar batang, anjlok 29,58 persen (yoy). Golongan 2 turun 12,4 persen ke 17,9 miliar batang. Sedangkan produksi rokok golongan III melonjak 24,68 persenmenjadi 12,60 juta batang.
Sejumlah analis juga telah mengingatkan bahwa downtrading di industri rokok akan marak seiring masih tingginya selisih tarif cukai antar-golongan.
Analis Ciptadana Sekuritas Putu Chantika mencontohkan selisih tarif cukai rokok golongan I dengan golongan 2 di segmen SKM saat ini rata-rata Rp432 per batang. Padahal, tahun lalu selisih di antara keduanya hanya sebesar Rp385 per batang.
"Mengingat latar belakang ini, kami perkirakan downtrading akan terus berlanjut di tahun ini, menguntungkan pemain tier-2" ujarnya beberapa waktu lalu.
Kebijakan Cukai
Sebelumnnya, kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia.
Faktanya, masyarakat masih memiliki banyak pilihan produk rokok dengan berbagai variasi harga. Sekalipun terjadi kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai, perokok masih dapat berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Tidak heran jika perusahaan rokok pun akhirnya memilih menjual produk rokok murah dari golongan 2.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan, kenaikan cukai belum cukup untuk mengatasi tingginya angka perokok di Indonesia.
“Opsi rokok murah juga masih sangat banyak sehingga masyarakat punya banyak pilihan. Fenomena downtrading dan maraknya rokok murah seharusnya menjadi dasar pemerintah menaikkan harga cukai,” ujarnya.
Advertisement