Liputan6.com, Jakarta - Kurs Dolar AS ke Rupiah masih terpantau naik walau dengan selisih yang kecil. Menurut informasi dari laman resmi Bank Indonesia, pada Senin (26/6/2023) kurs jual USD berada di Rp 15.072,99 juga kurs belinya sebesar Rp 14.923,01.
Sementara kurs jual Poundsterling Inggris hari ini ada di Rp 19.162,29 dan kurs beli Rp 18.965,65. Mata uang Euro hari ini memiliki kurs jual Rp 16.390,37 dengan kurs beli Rp 16.225,79.
Baca Juga
Kurs jual dolar Australia sebesar Rp 10.094,38 dan kurs beli Rp 9.992,45.
Advertisement
Beralih ke mata uang negara kawasan ekonomi besar di Asia, kurs jual Yen Jepang hari ini berada di Rp 10.542,76 per 100 Yen dan kurs beli Rp 10.437,13 per 100 Yen. Di sisi lain, Kurs jual Yuan China sebesar Rp 2.099,92 diikuti kurs beli Rp 2.078,12.
Kurs jual Won Korea Selatan hari ini Rp 11,53 dengan kurs beli Rp 11,41 per Won yang keduanya terus berubah naik dan turun sejak hari sebelumnya. Kurs jual dolar Hong Kong hari ini dipatok Rp 1.925,25 serta kurs beli sebesar Rp 1.906,02.
Sementara di negara kawasan Asia Tenggara hari ini, untuk dolar Singapura (SGD) memiliki kurs jual Rp 11.154,44 dan kurs beli Rp 11.042,63 juga Ringgit Malaysia dengan kurs jual Rp 3.225,55 dan kurs beli Rp 3.190,04.
Kurs jual Peso Filipina hari ini berada di Rp 270,32 dan kurs beli Rp 267,49 juga Thailand dengan kurs jualnya Rp 427,72 dan kurs belinya Rp 423,23 per Baht.
Ketakutan Resesi Global Bikin Nilai Tukar Rupiah Jatuh ke 15.040 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada pembukaan Senin pagi ini. Pelemahan rupiah ini karena adanya kekahwatiran resesi global.
Pada Senin (26/6/2023), nilai tukar rupiah dibuka pelemahan 42 poin atau 0,28 persen menjadi 15.040 per dolar AS dari sebelumnya 14.998 per dolar AS.
Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pembukaan perdagangan Senin pagi ini, disebabkan peningkatan kekhawatiran resesi global seiring kenaikan suku bunga acuan di beberapa negara Eropa.
"Ke depan rupiah masih akan tertekan terhadap dolar AS karena tren meningkatnya yield obligasi pemerintah AS dan index dolar AS sebagai safe haven saat resesi," ujar dia dikutip dari Antara.
Sementara itu, pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan pula bahwa pelemahan rupiah masih karena sentimen The Fed yang memberikan sinyal menaikkan suku bunga acuan dua kali dan belum akan memangkas suku bunga tahun ini karena inflasi yang masih belum mencapai target 2 persen.
Pasar juga dinilai mewaspadai kenaikan suku bunga acuan di berbagai negara yang berpotensi melambatkan pertumbuhan global.
"Pasar masih mencermati perkembangannya (suku bunga acuan), tapi sentimennya tak terlalu positif. Rupiah bisa mendapatkan tekanan lagi terhadap dolar AS," ucapnya.
Advertisement
Harapan Semakin Jauh
Sebelumnya, analis pasar mata uang Lukman Leong menyatakan rupiah tertekan oleh penguatan dolar AS pada Jumat 23 Juni 2023 usai Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve (Fed) Jerome Powell mengatakan kenaikan suku bunga oleh The Fed belum mendekati akhir.
"Testimoni kedua Powell lebih tegas dan hawkish. Investor melihat harapan untuk pelonggaran kebijakan tingkat suku bunga oleh bank-bank sentral semakin menjauh," ungkap Lukman.
Menurut dia, harapan investor yang semakin jauh terkait kebijakan tingkat suku bunga dikarenakan inflasi pada umumnya masih bertahan tinggi.
"Adapun dalam kasus The Fed, mereka melihat inflasi inti yang menurun sangat pelan dan masih di atas 5 persen," ucapnya.