Liputan6.com, Jakarta Program pemerintah mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara secara bertahap terganjal masalah dana, lantaran pemerintah harus menyiapkan anggaran jumbo.
Pasalnya, pemerintah harus mempertimbangkan berakhirnya masa kontrak jual beli listrik PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta, atau Independen Power Producer (IPP).
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menilai, kesulitan upaya membuat PLTU batu bara pensiun jadi catatan merah pemerintah di masa lalu.
Sebab, pemerintah melalui PLN sudah banyak tanda tangan kontrak dengan IPP bertenaga batu bara. Bila operasinya mau dihentikan sekarang, maka PLN atau pemerintah tetap harus bayar lewat skema take or pay.
"Saya kira pemerintah harus mengaku salah. Dulu salah policy, sehingga kita bayar dua kali. Sekarang harus bayar buat menghentikan," ujar Berly kepada Liputan6.com, Selasa (27/6/2023).
Menurut dia, jika sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pemerintah prioritas energi terbarukan untuk IPP, maka negara tidak akan terjebak seperti sekarang.
Berly memandang, secara ekonomi cara mempensiunkan PLTU batu bara saat ini hanya bisa dibiayai oleh APBN, atau berharap dana hibah dari sektor swasta, namun bukan dalam bentuk pinjaman.
"Berarti kan practically ada 2,5 cara, dari pemerintah atau dari donor, setengah lagi mungkin filantropi. Tapi kemungkinan itu kecil. Bukan (dari) pelaku usaha, siapa yang mau bayar untuk tidak beroperasi," ungkapnya.
"Pemerintah bisa saja minjam, tapi nantinya harus bayar. Minjem kan harus bayar juga. Siapa yang harus bayar, ya APBN juga. Jadi minjem jangan dimasukin skema," pungkas Berly.