kebijakan Fiskal dan Moneter Tak Sinkron, AS Diramal Resesi Kuartal IV 2023

Bank asal Inggris HSBC memperkirakan, penurunan ekonomi AS belum segera mereda dan risiko resesi di Eropa sangat tinggi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 28 Jun 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2023, 18:00 WIB
Ilustrasi resesi, ekonomi
Ilustrasi resesi, ekonomi. (Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Perekomonian Amerika Serikat (AS) diramal akan memasuki resesi pada kuartal IV 2023, diikuti oleh kontraksi dan resesi di Eropa pada 2024. Hal itu diungkapkan oleh pengamat dari HSBC Asset Management.

Melansir CNBC International, Rabu (28/6/2023) bank asal Inggris itu mengatakan bahwa alarm resesi semakin keras, sementara kebijakan fiskal dan moneter tidak sinkron dengan pasar saham dan obligasi.

Kepala strategi global di HSBC Asset Management, Joseph Little mengatakan bahwa, sementara beberapa negara tetap tangguh sejauh ini, risiko yang mengarah ke resesi sangat tinggi dengan Eropa tertinggal dari AS.

"Kami sudah berada dalam resesi laba ringan, dan gagal bayar perusahaan juga mulai meningkat," tulis Joseph Little dalam sebuah laporan.

"Hal baiknya adalah kami memperkirakan inflasi tinggi akan moderat dengan relatif cepat. Kemajuan i tu akan menciptakan peluang bagi pembuat kebijakan untuk memangkas suku bunga," katanya.

Terlepas dari nada hawkish yang diadopsi oleh para gubernur bank sentral terhadap inflasi, terutama di tingkat inti, HSBC Asset Management memperkirakan Federal Reserve AS akan memangkas suku bunga sebelum akhir tahun 2023, dengan Bank Sentral Eropa dan Bank Inggris mengikuti sesuai tahun depan.

Sepeti diketahui, The Fed menghentikan siklus pengetatan moneternya pada pertemuan bulan Juni, meninggalkan kisaran target suku bunga dana antara 5% dan 5,25%, tetapi mengisyaratkan bahwa dua kenaikan lebih lanjut tahun ini. 

HSBC mengakui bahwa para gubernur bank sentral tidak akan dapat memangkas suku bunga jika inflasi tetap jauh di atas target, seperti di banyak negara ekonomi besar. 

"Skenario resesi yang akan datang akan lebih seperti resesi awal 1990-an, dengan skenario utama kami adalah penurunan PDB sebesar 1-2 persen," sebut Joseph Little.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Prospek yang Sulit

Ilustrasi resesi. Foto: Freepik
Ilustrasi resesi. Foto: Freepik

HSBC memperkirakan, resesi di negara Barat akan menghasilkan "prospek pasar yang sulit" karena dua alasan.

'Pertama, kami mengalami pengetatan kondisi keuangan yang cepat yang menyebabkan penurunan siklus kredit. Kedua, pasar tampaknya tidak menghargai pandangan dunia yang pesimistis," kata Joseph Little.

"Kami pikir aliran berita yang masuk selama enam bulan ke depan mungkin sulit dicerna untuk pasar yang menetapkan harga 'soft landing," ujarnya.

"Akibatnya, kami mengambil pandangan menyeluruh yang hati-hati tentang risiko dan siklus dalam portofolio. Eksposur suku bunga menarik - terutama kurva Treasury - ujung depan dan bagian tengah kurva," kata Little, menambahkan bahwa perusahaan juga melihat "beberapa nilai" dalam obligasi Eropa.

Sementara dalam segi kredit, HSBC elektif dan fokus pada kredit berkualitas lebih tinggi di investment grade daripada kredit spekulatif investment grade.

"Kami berhati-hati pada saham di pasar negara maju," bebernya.


Resesi Jerman Diramal Memburuk, Harus Susah Payah Keluar

Ilustrasi resesi ekonomi. Foto: Freepik/wirestock
Ilustrasi resesi ekonomi. Foto: Freepik/wirestock

Ekonom di Ifo Institute memprediksi perekonomian Jerman akan berkontraksi lebih dari yang diperkirakan sebelumnya tahun ini, karena inflasi akan berdampak pada konsumsi swasta. 

"Ekonomi Jerman bekerja sangat lambat untuk keluar dari resesi," kata kepala prakiraan ekonomi Ifo Timo Wollmershaeuser, dikutip dari US News, Kamis (22/6/2023).

Produk domestik bruto Jerman diperkirakan turun 0,4 persen tahun ini, lebih dari perkiraan 0,1 persen oleh Ifo Institute pada bulan Maret.

"Saat kami membandingkan Jerman dengan mitra dagang utama kami, negara-negara ini setidaknya diharapkan mencatat pertumbuhan," ungkap Wollmershaeuser.

Ifo memperkirakan PDB zona euro akan meningkat hanya sebesar 0,6 persen tahun ini dan AS sebesar 0,9 persen.

Lembaga ekonomi itu juga memangkas perkiraan pertumbuhan PDB Jerman pada 2024 menjadi 1,5 persen, turun dari 1,7 persen yang diperkirakan sebelumnya.

Inflasi Jerman diperkirakan akan turun perlahan dari 6,9 persen pada 2022 menjadi 5,8 persen tahun ini, turun menjadi 2,1 persen pada 2024. 

Mengenai inflasi inti Jerman, Institut Ifo memperkirakan akan meningkat menjadi 6 persen tahun ini dari 4,9 persen pada tahun 2024 mendatang.

Karena inflasi, konsumsi swasta di Jerman akan turun 1,7 persen tahun ini, menurut prakiraan Ifo. Selain itu, konsumsi swasta diperkirakan tidak akan naik lagi sampai tahun 2024, ketika akan membukukan kenaikan 2,2 persen.

Adapun angka pengangguran di Jerman yang diperkirakan akan sedikit meningkat pada tahun 2023, namun tingkat pengangguran tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya sebesar 5,3 persen tahun ini menjadi 5,5% pada tahun 2024.

Pinjaman baru pemerintah juga diperkirakan akan turun dari 106 miliar euro (USD 115 miliar) pada 2022 menjadi 69 miliar tahun ini dan 27 miliar tahun depan, menurut perkiraan Ifo.


Jerman Masuk Jurang Resesi, Ekonomi Kontraksi 0,3% di Kuartal I 2023

Resesi
Ilustrasi Grafik Resesi Credit: pexels.com/Burka

Perekonomian Jerman sedikit menyusut pada kuartal pertama 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Penyusutan ini mendorong Jerman memasuki resesi teknis.

Data dari Kantor Statistik Federal, Destatis menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman turun 0,3 persen di kuartal pertama 2023.

"Setelah pertumbuhan PDB memasuki wilayah negatif pada akhir tahun 2022, ekonomi Jerman kini mencatat dua kuartal negatif berturut-turut," kata Presiden Destatis, Ruth Brand, dikutip dari Deutsche Welle Kamis (25/5/2023).

Angka PDB negara ekonomi terbesar Eropa pada Januari hingga Maret 2023 mengikuti penurunan 0,5 persen pada kuartal keempat tahun 2022.

Seperti diketahui, resesi umumnya didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.

"Butuh beberapa revisi statistik, tetapi pada akhirnya, ekonomi Jerman benar-benar melakukan musim dingin ini seperti yang kami khawatirkan sejak musim panas lalu," ungkap ekonom ING, Carsten Brzeski dalam sebuah catatan kepada klien.

Brzeski menyebut, cuaca musim dingin, rebound dalam aktivitas industri, dibantu oleh pembukaan kembali China dan pelonggara rantai pasokan tidak cukup kuat untuk mengeluarkan ekonomi Jerman dari zona bahaya resesi.

Ditambah lagi, tingginya inflasi di Jerman terus berdampak pada ekonomi negara itu selama kuartal tersebut.

Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga yang turun 1,2 persen quarter-on-quarter setelah penyesuaian harga dan musiman.

Rumah tangga di Jerman membelanjakan lebih sedikit untuk makanan, minuman, pakaian, sepatu, dan furnitur dibandingkan kuartal sebelumnya. Mereka juga membeli lebih sedikit mobil baru, kemungkinan karena subsidi pemerintah dihentikan pada akhir tahun 2022.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya