Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita, menyoroti soal rencana Pemerintah yang akan memperluas cakupan masyarakat penerima insentif motor listrik menjadi masyarakat umum dari sebelumnya kelompok masyarakat dengan berbagai kategori tertentu.
Caranya, dengan mengurangi persyaratan untuk mendapat insentif motor listrik, yaitu satu ktp satu motor. Artinya, satu keluarga bisa membeli lebih dari satu motor.
Baca Juga
Lantas, apakah kebijakan insentif seperti iti bisa lebih efektif dan tepat sasaran?
Advertisement
Menurut Ronny, sebenarnya tidak ada masalah soal perluasan kemudahan akses untuk membeli kendaraan listrik. Melainkan hal itu dinilai baik, karena akan memperluas segmen pasar kendaraan listrik di satu sisi dan akan memperbaiki jalan menuju ambisi ekosistem kendaraan listrik di sisi lain. Apalagi jika dikaitkan dengan misi untuk transisi energi dan pengurangan emisi karbon.
"Karena persoalan subsidi kendaraan listrik selama ini memang bukan terletak di sana, tapi persoalanya, pertama, terletak pada penikmat kebijakan tersebut pada sisi pelaku usaha. Dan kedua, adanya konflik kepentingan di dalam kebijakan subsidi kendaraan listrik," kata Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (3/8/2023).
Penikmat SubsidiÂ
Ronny melihat ada beberapa pihak penikmat kebijakan subsidi yang justru bukan pelaku domestik, terutama pada kendaraan listrik roda empat. Merek asing justru sudah sedari awal menguasai pasar EV ini, seperti Hyuandai dan Wulling.
"Jika kebijakan ini didorong secara masif saat ini justru akan sangat menguntungkan merek-merek ini. Sementara pemain otomotif konvensional lama, sebut saja Astra, misalnya, yang selama ini banyak menggunakan komponen lokal dalam produksinya belum juga ikut bermain, sementara perannnya sangat signifikan dalam industri otomatif nasional," jelasnya.
Lebih lanjut, Ronny mengatakan jika kebijakan ini didorong secara masif, tanpa menyiapkan pelaku industri otomotif konvensional untuk segera ikut bermain, tentu akan menekan bahkan mendisrupsi pasar industri otomotif konvensional.
Â
Bisnis Kendaraan Listrik
Di Amerika, misalnya, Ford dan GM justru didorong untuk segera ikut memasuki bisnis EV, agar pelaku domestik selain Tesla, bisa ikut menjadi tuan rumah di negaranya sendiri alias agar mereka bisa mensubstitusi pasar otomotif konvensional yang hilang dengan produk EV yang mereka produksi sendiri
Sementara untuk kendaraan listrik roda dua, sudah muncul beberapa merek lokal yang produknya sudah beredar di pasaran. Tapi masalahnya jumlahnya belum terlalu banyak. Lagi-lagi pelaku seperti Astra atau Yamaha, yang sudah banyak menggunakan komponen lokal dalam produk konvensionalnya dan produknya selama ini menguasai pasar, belum terlihat tanda-tanda akan ikut memproduksinya.
"Walhasil, kebijakan tersebut juga akan menekan pasar pelaku kendaraan roda dua konvensional, yang pelaku utamanya sangat banyak menyerap komponen lokal dan melibatkan banyak mitra lokal," ujarnya.
Intinya, Ronny menilai kebijakan ini berpeluang menjadikan masyarakat Indonesia hanya sebagai konsumen untuk produk-produk yang justru kurang memiliki multiplayer effect secara luas pada perekonomian nasional, karena tak melibatkan mitra lokal seluas pelaku-pelalu industri otomatif konvensional
Terkait masalah konflik kepentingan. Beberapa pejabat negara yang paling getol mendorong kebijakan ini terkait erat dengan bisnis kendaraan listrik dan bisnis tambang serta pengolahan nikel untuk batrai kendaraan listrik. Kondisi ini mengaburkan jarak antara regulator dan dunia usaha di satu sisi, dan juga mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan beberapa pelaku usaha di sisi lain.
Â
Advertisement
Kebijakan Fiskal
Dalam hal ini, kebijakan fiskal negara justru sangat dilatari oleh kepentingan beberapa pihak, yang seolah-olah menguntungkan semua pihak. Apalagi, setelah disubsidi pun sebenarnya harga kendaraan listrik masih sangat mahal dibanding kendaraan konvensional.
"Sehingga subsidi ini tetap saja tidak akan affordable untuk semua masyarakat, karena harganya masih kurang kompetitif dibanding kendaraan konvensional berbasis internal combustion engine," ujarnya.
Tentu peran negara sangat diperlukan. Tapi belajar dari negara seperti China, Jepang, dan Amerika, intervensi negara harus (1) dari hulu sampai hilir, terutama di penyiapan industrinya, terutama industri kendaraan listriknya, dan (2) mayoritas insentif seharusnya dinikmati oleh pelaku domestik.
"Karena itulah China, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika, berhasil memunculkan merek-merek global, yakni karena keberpihakan kepada pemain dalam negeri," katanya.
Keberpihakan pemerintah untuk menyiapkan level playing field bagi pelaku industri otomatif domestik dan penyiapan infrastruktur (terutama charging station), semestinya menjadi pertimbangan utama, sebelum memberi subsidi langsung pada konsumen.
"Saya cukup yakin, jika pemerintah bisa mendorong pelaku-pelaku yang sudah terlanjur beroperasi untuk ikut membangun infrastruktur kendaraan listrik (charging station) sebelum meminta pemerintah memberi subsidi untuk konsumen, itu akan jauh lebih baik ketimbang subsidi langsung kepada konsumen," ujar Ronny.
Â
Penjualan Kendaraan Listrik
Penjualan kendaraan listrik di China menjadi booming justru setelah charging station dibangun lebih dari sejuta charging station.
Karena salah satu alasan utama orang beralih kepada kendaraan listrik adalah terjawabnya masalah "range anxiety" atau kekhawatiran kalau kehabisan batrai di jalan. Alasan harga biasanya menjadi alasan kedua dan ketiga setelah masalah "range anxiety" terjawab. Dan China menjawabnya dengan penyediaan charging station secara masif.
Sampai tahun 2022 saja, jumlahnya sudah lebih dari 1,2 titik charging station, yang mayoritas disediakan perusahaan penghasil kendaraan listrik, sisanya dihadirkan oleh perusahaan negara.
"Bahkan di China, pelaku seperri NIO menyediakan station dengan jasa tukar batrai langsung, agar masalah range anxiety terjawab secara jelas dan pasti," pungkasnya.
Â
Advertisement