Liputan6.com, Jakarta Perubahan iklim adalah salah satu masalah paling mendesak saat ini. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan di seluruh dunia, berupa peristiwa cuaca yang lebih ekstrim, naiknya permukaan air laut, dan perubahan pola pertanian.
Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, karena jumlah penduduk yang besar, lokasi geografis, dan ketergantungan pada sumber daya alam.
Baca Juga
Menanggapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, Indonesia telah membuat sejumlah komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Salah satu komitmen tersebut adalah menerbitkan green sukuk.
Advertisement
Definisi Green Sukuk
Dilansir dari Laporan Alokasi dan Dampak Green Sukuk 2023 Final, sukuk hijau atau green sukuk merupakan Surat Berharga Negara (SBN) syariah pertama di dunia yang mengedepankan konsep program pembiayaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.
Green sukuk adalah alternatif yang sesuai Syariah untuk obligasi konvensional, dan menawarkan investor cara untuk berinvestasi dalam proyek yang selaras dengan nilai lingkungan.
Indonesia adalah negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau berdaulat. Sejak tahun 2018, Indonesia telah menerbitkan sukuk hijau senilai USD6,9 miliar, yang menjadikan Indonesia sebagai penerbit sukuk hijau terbesar di dunia, dan pemimpin di pasar sukuk hijau negara.
Hasil dari Sukuk ini digunakan untuk membiayai berbagai proyek ramah iklim, seperti energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi berkelanjutan, pengelolaan limbah, dan ketahanan iklim.
Pemerintah Indonesia pun berkomitmen untuk menerbitkan lebih banyak Green Sukuk di masa mendatang. Sukuk ini akan membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca, membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan, dan menciptakan masa depan yang lebih baik tidak hanya untuk seluruh rakyat Indonesia tetapi juga untuk seluruh dunia.
Capaian Green Sukuk Indonesia
Sejak debutnya Green Sukuk pada tahun 2018, Indonesia tidak hanya berhasil memasuki pasar sebagai penerbit Green Sukuk berdaulat pertama di dunia, tetapi juga akhirnya menerbitkan Green Sukuk Global kelima pada tahun 2022, mengumpulkan dana sebesar USD 6,9 miliar.
Penerbitan Green Sukuk Global 2022 menandai beberapa pencapaian penting di tengah ekonomi global yang bergejolak, termasuk tahap Green Sukuk terbesar yang pernah dicetak secara global dan tahap Green Sukuk pertama dalam 10 tahun jatuh tempo oleh Republik Indonesia.
Disamping itu, Pemerintah Indonesia menerbitkan Green Sukuk dan Sukuk Hijau Ritel berbasis Proyek perdananya (ST 009) untuk pasar domestik pada tahun yang sama.
Maraknya penerbitan Green Sukuk ini semakin memantapkan Indonesia untuk terus dan konsisten mengembangkan berbagai instrumen pembiayaan iklim non-APBN.
Lantaran, instrumen pembiayaan tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Nationally Defined Contributions (NDCs) Perjanjian Paris 2015 serta tujuan pembangunan nasional.
Maka untuk memenuhi NDC, Pemerintah Indonesia telah meningkatkan ambisi dan mengeluarkan kebijakan sektoral dan pembiayaan iklim yang mendukung pada tahun 2021 dan 2022.
Pada tanggal 23 September 2022, Pemerintah menyerahkan dokumen Enhanced NDC kepada UNFCCC, yang menggambarkan peningkatan ambisi untuk mitigasi perubahan iklim dan tindakan adaptasi. Enhanced NDC menegaskan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi 31,89 persen secara sepihak dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, dari sebelumnya masing-masing 29 persen dan 41 persen.
Advertisement
Presidensi G20 Indonesia
Selanjutnya, Pemerintah meluncurkan 2030 FOLU Net-sink on forestry and land-use change action plan dan memprakarsai Energi Transisi G20 selama Presidensi G20 Indonesia pada tahun 2022.
Untuk mendukung komitmen tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2022 yang menjabarkan implementasi dan alternatif strategi pembiayaan NDC dengan memanfaatkan mekanisme penetapan harga karbon dan penurunan emisi GRK dalam pembangunan nasional.
Adapun dalam hasil laporan Alokasi dan Dampak Green Sukuk 2023, tercatat penerbitan green sukuk pasar global 2022 dan domestik 2021-2022 yang meliputi Green Sukuk berbasis Proyek 2022, Green Sukuk Ritel 2022 (ST-009), dan Sukuk Hijau Ritel 2021 (ST-008).
Akumulasi dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek hijau pada tahun anggaran 2022, dan membiayai kembali proyek-proyek pada tahun anggaran 2021 dan 2020.
Kategori sektor transportasi berkelanjutan dan ketahanan iklim tetap menjadi alokasi terbesar, sekaligus mengundang kategori sektor baru yaitu pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam di darat dan kategori pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan, sebagaimana dituangkan dalam SDGs Government Securities Framework Republik Indonesia.
Sebagai contoh, pada tahun 2022, hasil Green Sukuk tahun tersebut dialokasikan untuk membiayai proyek TA 2022 di bidang rehabilitasi hutan dan lahan, pendirian pembibitan tanaman, serta konservasi tanah dan lahan.
Kemudian, hasil Green Sukuk 2022 dialokasikan untuk membiayai pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi terletak di hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Bendungan tersebut dibangun untuk pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek.
Kedua bendungan tersebut pun telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2022.
Upaya Pemerintah Mentransformasikan Ekonomi Hijau
Disamping itu, upaya Pemerintah dalam mentransformasikan ekonomi hijau tidak hanya melalui green sukuk. Melainkan, melalui beberapa terobosan dari kebijakan Pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan terobosan dari kebijakan Pemerintah tersebut untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mentransformasikan menuju ekonomi hijau.
Salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menyiapkan dua instrumen dalam menggunakan mekanisme pasar dalam mengakselerasi transformasi ekonomi hijau.
Pertama menggunakan instrumen perdagangan, yaitu sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatory dan mekanisme offsetting. Dan yang kedua adalah instrumen yang basisnya non perdagangan.
"Dalam hal ini di-introduce instrumen result based payment artinya suatu program yang bisa mendeliver penurunan CO2 mereka kemudian bisa mendapatkan kompensasi result base payment dan juga pajak karbon,” jelas Menkeu.
Selanjutnya dengan menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 yang mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon subsektor pembangkit tenaga listrik.
Bendahara negara ini mengatakan, lebih dari 86 persen total Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbasis batu bara yang mengikuti emission trading system ini.
Advertisement
Pajak Karbon
Dari sisi pajak karbon yang sudah diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, tarif pajak karbon minimal Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen.
Pemerintah juga membentuk beberapa instrumen dan kelembagaan. Diantaranya, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang mengelola dan memperkenalkan market carbon di Indonesia dan dihubungkan dengan market carbon dunia, SDG Indonesia One yang dikelola PT SMI yang menjadi jembatan mobilisasi pembiayaan untuk transformasi hijau, dan Indonesia Investment Authority yang bertujuan untuk menciptakan masuknya modal investasi di sektor hijau.
Indonesia juga termasuk negara berkembang pertama yang menerbitkan sovereign sukuk green di pasar dunia. Selain itu, Pemerintah juga menerbitkan instrumen pembiayaan hijau melalui green sukuk yang sifatnya retail.
“Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi adalah sesuatu yang perlu didukung oleh semua pihak dan ini perlu kerja keras pada level detail dan strategis dari sisi kemampuan untuk mendapatkan manfaat dan pada saat yang sama tetap konsisten menurunkan CO2," ujar Menkeu.