Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa mayoritas pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel di Indonesia bekerjasama dengan China.Â
Staf Khusus Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Irwandy Arif mengatakan, saat ini 90 persen smelter nikel di Indonesia menggunakan teknologi pirometalurgi atau Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) yang berasal dari China.Â
Baca Juga
Pasalnya, China menawarkan investasi lebih murah untuk teknologi pengolahan yang umumnya menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel tersebut.
Advertisement
"Memang kalau kita lihat, hilirisasi nikel itu hampir 100 persen, 90 persen RKEF kerjasama dari China, karena memang murah," ujar Irwandy di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Namun, tidak semuanya yang murah berasal dari China. Irwandy mencontohkan, ada juga PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang membangun smelter dengan teknologi asal Kanada.Â
"Pasti cari yang murah. Kalau dulu yg INCO kan dari Kanada ya teknologinya. Kemudian juga Antam malah lebih hebat itu. Dikoordinasi sendiri konstruksinya tahun 70an. Terakhir-terakhir yang masuk yang murah," ungkapnya.Â
Kendati begitu, ia menekankan, program hilirisasi nikel tetap menguntungkan bagi negara. Indonesia pun terbuka untuk negara lain dalam hal investasi RKEF di smelter nikel.Â
"Tapi kalau kita lihat sebenarnya penerimaan kita meningkat. Itu menurut saya memang nanti ada partner-partner lain dalam kerjasama RKEF ke depan, bukan dari China saja," tegasnya.Â
Â
Untungkan China
Sebelumnya, Ekonom Senior Faisal Basri menilai hilirisasi program hilirisasi justru hanya menguntungkan China. Dia pun menolak klaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp 17 triliun ke Rp 510 triliun berkat hilirisasi nikel, sebab tidak jelas sumbernya.Â
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ujar Faisal dalam unggahan blog pribadinya beberapa waktu lalu.
Faisal tidak menampik adanya lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi hingga 414 kali lipat. Namun, ia menilai uang hasil ekspor itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia.Â
Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. "Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ungkapnya.
Advertisement