Pendanaan Swasta Jadi Tantangan Investasi Ramah Lingkungan Indonesia Atasi Perubahan Iklim

Kementerian Keuangan menegaskan keterbukaan Indonesia untuk transisi dan investasi ramah lingkungan, dalam pencegahan risiko perubahan iklim.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Agu 2023, 12:30 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2023, 12:30 WIB
Ilustrasi perubahan iklim
Kementerian Keuangan menegaskan keterbukaan Indonesia untuk transisi dan investasi ramah lingkungan, dalam pencegahan risiko perubahan iklim. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan menegaskan keterbukaan Indonesia untuk transisi dan investasi ramah lingkungan, dalam pencegahan risiko perubahan iklim.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, peluang investasi ramah lingkungan menawarkan keuntungan berkelanjutan yang dapat menjadi manfaat besar.

"Intinya adalah bagaimana Anda menghitung keuntungan dan manfaat dari investasi tersebut dan bagaimana Anda menyempurnakan dan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan keuntungan dalam transisi dan investasi ramah lingkungan baik di Indonesia maupun di seluruh dunia," kata Febrio dalam acara Seminar Workshop on Energy Transition Mechanism yang disiarkan secara daring pada Rabu (23/8/2023).

Namun, tantangan utama dalam pendanaan transisi adalah keterlibatan pendanaan swasta. Dijelaskannya, untuk memobilisasi investasi swasta, diperlukan pendekatan yang kredibel dalam mengidentifikasi dan meratakan aktivitas transisi.

"Hal ini untuk memastikan agar partisipasi swasta tidak dipandang sebagai greenwashing," bebernya.

Dalam upaya mempercepat pengembangan sumber daya yang adil dan memadai, Indonesia tahun ini bersama dengan mitra-mitra ASEAN, meluncurkan taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan, versi kedua.

Taksonomi ASEAN

Febrio menggambarkan Taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan versi kedua sebagai contoh bagaimana negara-negara anggota ASEAN berupaya mewujudkan transisi yang tertib dan mendorong penerapan keuangan berkelanjutan.

"Yang menjadi tantangan lainnya adalah bagaimana membangun interoperabilitas taksonomi ASEAN dengan kawasan lain, seperti taksonomi UE misalnya," sambungnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Potensi Kerugian Indonesia Imbas Perubahan Iklim Capai 3,45 Persen dari PDB

Penyebab Perubahan Iklim
Ilustrasi Penyebab Perubahan Iklim Credit: pixabay

Kementerian Keuangan menyoroti besarnya kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Bahkan, perubahan iklim memiliki ancaman kerugian yang besar terhadap perekomonian Indonesia.

Asisten Menteri Keuangan untuk Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono mengungkapkan bahwa potensi kerugian ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh perubahan iklim hampir menyentuh 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara.

"Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030," demikian paparan Parjiono dalam acara Seminar Workshop on Energy Transition Mechanism yang disiarkan secara daring pada Rabu (23/8/2023).Parjiono mencatat, pada tahun 2020, emisi GRK per kapita di Indonesia diprediksi akan mencapai 2,24 ton COZe, meningkat 2,7 persen (CAGR) dari tahun 2000.

"Emisi GRK terus meningkat dengan laju yang lebih lambat dari Pertumbuhan PDB per kapita yang telah mencapai 3,4 persen," ungkapnya.

Rentan Risiko Perubahan Iklim

Adapun beberapa faktor yang membuat Indonesia rentan terhadap risiko perubahan iklim.

Faktor pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dati 17.000 pulau. Kondisi geografis ini memungkinkannya rentan terhadap risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut.

Selain itu, dari tahun 1981 hingga 2018, Indonesia telah mengalami kenaikan suhu sebesar 0,08 °C per tahun.

"Sejak tahun 2010-2018, emisi GRK nasional mengalami tren pertumbuhan sekitar 4,3 persen per tahun," papar Parjiono.

Tak hanya itu, Indonesia juga telah melihat kenaikan air laut 0,8-1,2 cm/tahun, sedangkan sekitar 65 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir.


Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN ke-55 Diyakini Bisa Atasi Krisis Pangan dan Perubahan Iklim

Antisipasi Kerugian Akibat Perubahan Iklim, Kementan Sarankan Petani Ikut AUTP
(Foto:Dok.Kementerian Pertanian RI)

Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) RI Jerry Sambuaga merasa dengan Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-55 bisa membantu Indonesia dan negara ASEAN bisa bersama-sama mengatasi krisis pangan ataupun perubahan iklim. Sehingga, ia yakin hasil (deliverables) denganmelihat rangkaianya.

"Ini sangat membawa manfaat dan sangat bawa hasil atau deliverables yang signifikan, prioritas capaian ekonomi kita atau PED (Priority Economy Deliverable) kita berpengaruh langsung ke food security, dan juga perubahan iklim," kata Jerry dalam konferensi pers hari terakhir penyelenggaraan AEM ke-55, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa, (22/8/2023).

Jerry menyebut beberapa kesepakatan yang telah dicapai dalam AEM dan berpengaruh langsung terhadap prioritas capaian ekonomi (PED) Indonesia yang berkaitan dengan masalah krisis pangan dan perubahan iklim.

Beberapa prioritas ekonomi Indonesia yang tercapai dalam AEM, antara lain "ASEAN Leaders’ Declaration on Strengthening Food Security," kemudian "Development of the Electric Vehicle Ecosystem", dan "Development of ASEAN Blue Economy Framework".

Serta, hal ini bisa tercapai bisa menunjukkan komitmen ASEAN dalam hal energi bersih, ekonomi hijau, digitalisasi, serta sustainability.

“Tentunya semua hal yang sudah ramah lingkungan semua itu di develop dan juga dirumuskan dan diimplementasikan dalam semangat-semangat kolektif di forum ASEAN,” jelasnya.

 

Infografis Journal
Infografis Journal Dunia Kepanasan, Akibat Perubahan Iklim Ekstrem?. (Liputan6.com/Tri Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya