Liputan6.com, Jakarta Pengembangan biomassa sebagai bahan baku alternatif pengganti batu bara bahan bakar PLTU tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN berkomitmen untuk memimpin program-program inisiatif transisi energi demi mendukung pemerintah mencapai Net Zero Emission 2060. Salah satu upayanya, PLN memulai implementasi program pemanfaatan biomassa sebagai pengganti batu bara atau co-firing di puluhan pembangkit PLN sejak 2021.
Baca Juga
Dalam proses co-firing tersebut, PLN melalui subholding PLN Energi Primer Indonesia (EPI) memenuhi kebutuhan biomassa melalui keterlibatan masyarakat.
Advertisement
"Komitmen PLN dalam transisi energi melalui program co-firing ini, tidak hanya untuk menekan emisi tetapi juga melibatkan masyarakat sebagai upaya membangun ekosistem energi berbasis ekonomi kerakyatan,” kata Darmawan, di Jakarta, Minggu (24/9/2023).
Rantai Pasok Biomassa
Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Antonius Aris Sudjatmiko mengungkapkan, strategi pemenuhan volume rantai pasokan biomassa saat ini mengoptimalkan sumber daya setempat dan keterlibatan masyarakat.
Hal ini untuk menggali besarnya potensi biomassa Indonesia mencapai 500 juta ton per tahun yang tersebar di berbagai wilayah. Sedangkan, pemenuhan target pasokan biomassa PLN EPI sekitar 10,2 juta ton per tahun pada 2025.
"Jadi pemberdayaan masyarakat itu suatu keharusan. Bahkan kita tidak menyebutnya pemberdayaan masyarakat tapi memang keterlibatan masyarakat. Sekarang kita menjadikan masyarakat sebagai objek, sebagai pengguna energi tapi sekarang mereka menjadi produsen energi, mereka sebagai pengelola energi. Itulah yang menjadi mitra utama kami untuk biomassa," ujar Aris.
Pengembangan Biomassa
Selain itu, PLN EPI dalam pengembangan biomassa ini tak hanya berfokus untuk rantai pasok energi tetapi juga bertujuan menyerap lapangan kerja selaras dengan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG).
Aris menyebutkan pengembangan biomassa untuk co-firing PLTU terbukti mampu menyerap tenaga kerja masyarakat baik wilayah sekitar pembangkit maupun kaum marginal di berbagai daerah. Untuk satu ton biomassa mampu menyerap sekitar 10 orang tenaga kerja.
"Contoh di Aceh kami menggerakkan masyarakat lokal, kebanyakan yang direkrut adalah warga dan petani lokal setempat, lalu di Lampung dari petani-petani karet itu yang mengumpulkan biomassa, termasuk bonggol jagung untuk di Sumbawa, di Jawa Barat itu adalah sekam, di Kupang itu per bulan 100 ton mampu menyerap 530 orang mulai dari pengumpulan, pemrosesan, transportasi, loading on loading," tutur Aris.
Advertisement
Transformasi Sektor Kelistrikan Jadi Solusi Percepat Pengurangan Emisi
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk mempercepat transformasi sektor ketenagalistrikan. Hal ini menjadi fokus diskusi dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang diselenggarakan oleh ICEF dan IESR bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
IESR dan ICEF menganggap transisi energi di sektor ketenagalistrikan merupakan langkah strategis yang secara beriringan menurunkan emisi di sektor lainnya seperti sektor transportasi dan industri.
“Fokus saat ini semestinya ada pada pengembangan energi terbarukan untuk menjadi tulang punggung energi primer di Indonesia. Inovasi teknologi dalam hal pembangkitan energi dari energi terbarukan yang potensial seperti biomassa, geothermal, hidro, surya, angin, dan lainnya perlu meningkat,” ungkap Ketua ICEF Bambang Brodjonegoro, Senin (18/9/2023).
Bambang menyoroti bahwa Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang jelas untuk bertransisi energi yang disuarakan secara aktif melalui berbagai forum internasional dan diplomatik, dengan tekad untuk mendorong lebih banyak kerja sama dan investasi ramah lingkungan untuk transisi energi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan dalam sambutannya pada IETD 2023 bahwa transisi energi membutuhkan transformasi yang signifikan dari infrastruktur, khususnya untuk negara berkembang. Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam proses transisi energi di Indonesia.
Tantangan Transisi Energi
“Ketidaktersediaan infrastruktur yang mendukung, investasi yang terbilang tinggi dengan pendanaan yang terbatas menjadi beberapa tantangan transisi energi di Indonesia. Indonesia berkolaborasi dengan negara lain untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut untuk menyediakan teknologi yang bersaing, pembiayaan yang kompetitif, akses yang mudah untuk pembiayaan yang berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusianya,” jelas Arifin.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi menjelaskan pendanaan di Indonesia dapatkan dengan trust, oleh karena itu program-program yang berjalan juga harus selaras dengan rencana global.
"Saat ini pendanaan JETP sedang diperjuangkan dan masih terus dimatangkan melalui diskusi antara pemerintah Indonesia dan IPG di New York, AS," tutur dia.
Advertisement