Negara Perekonomian Terbesar di Eropa Masuk Bayang-Bayang Resesi

Penurunan belanja konsumen mendorong penurunan ini, meningkatkan risiko resesi di negara dengan perekonomian terbesar di Eropa.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 31 Okt 2023, 12:10 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2023, 12:10 WIB
Kantor Baru Google di Berlin
Sejumlah karyawan berada di meja kerja mereka pada hari pembukaan kantor baru raksasa mesin pencari internet, Google, di Berlin, Selasa (22/1). Google kembali membuka kantor cabang yang baru di ibu kota Jerman tersebut. (Photo by Tobias SCHWARZ / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Jerman sedikit turun pada kuartal III 2023. Penurunan ini meningkatkan risiko resesi di negara dengan perekonomian terbesar di Eropa.

Mengutip CNN Business, Selasa (31/10/2023) produk domestik bruto Jerman mencatat kontraksi 0,1 persen pada periode Juli hingga September 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya ketika tumbuh 0,1 persen menurut Kantor Statistik Federal Jerman (Destatis).

Penurunan belanja konsumen mendorong penurunan ini.

Di sisi lain, investasi perusahaan pada mesin dan peralatan memberikan kontribusi positif terhadap PDB, menurut Destatis.

“Perekonomian Jerman sekali lagi berada di ambang resesi teknis,” kata Claus Vistesen, kepala ekonom zona euro di Pantheon Macroeconomics.

Sebagai informasi, resesi teknis merupakan penurunan produksi selama dua kuartal berturut-turut.

Perekonomian Jerman telah mendekati resesi selama hampir satu tahun. PDB negara itu menyusut dalam tiga bulan terakhir tahun 2022 sebelum stagnan pada kuartal pertama tahun ini. Perkiraan awal menunjukkan penurunan output selama dua kuartal berturut-turut.

Para ekonom mengatakan kondisi ini sepertinya tidak akan membaik dalam waktu dekat, karena sektor manufaktur di Jerman sedang bergulat dengan lemahnya permintaan di Tiongkok, tingginya biaya energi, dan kenaikan suku bunga.

Perusahaan-perusahaan di sektor ini kehilangan pekerjaan pada tingkat tercepat dalam tiga tahun terakhir, karena pesanan baru menurun dan kepercayaan diri tetap “sangat negatif,” menurut data survei bulan Oktober yang diterbitkan minggu lalu.

"Perekonomian Jerman kini terjebak dalam lumpur," kata Vistesen, seraya menyebutkan bahwa perekonomian Jerman diragukan akan pulih pada kuartal keempat. "Risikonya cenderung ke bawah pada awal tahun 2024," kata dia.

Inflasi Mulai Membaik

Jerman Catat Rekor 80.000 Kasus COVID-19 Baru Sehari
Orang-orang mengenakan masker yang menjadi mandat di stasiun kereta bawah tanah di pusat kota Essen, Jerman, Rabu (12/1/2022). Jerman pada Rabu melaporkan lebih dari 80.000 kasus corona covid-19 dalam sehari yang merupakan tertinggi sejak pandemi. (AP Photo/Martin Meissner)

Di sisi lain, masih ada berita baik mengenai inflasi. Harga konsumen Jerman naik rata-rata 3 persen pada bulan Oktober dibandingkan dengan tahun lalu, menurut perkiraan awal yang diterbitkan oleh Destatis.

Hal ini menandai perlambatan tajam dari tingkat 4,3 persen pada bulan September.

Penurunan harga energi selama setahun terakhir – dari tingkat yang sangat tinggi pada musim gugur lalu mengurangi angka inflasi bulan ini, kata Destatis.

Ekonom Prediksi Eropa Bakal Stagnasi

Kasus Covid-19 di Jerman
Orang-orang terlihat di luar Stasiun Kereta Pusat Berlin di Berlin, ibu kota Jerman, pada 6 Agustus 2020. Kasus COVID-19 di Jerman bertambah 1.045 dalam sehari sehingga total menjadi 213.067, seperti disampaikan Robert Koch Institute (RKI) pada Kamis (6/8). (Xinhua/Shan Yuqi)

Meskipun perekonomian Jerman mungkin terkena dampak paling parah, aktivitas bisnis di negara Eropa lainnya juga lesu dan para ekonom memperkirakan periode stagnasi, atau bahkan resesi ringan, akan terjadi di wilayah tersebut.

Pekan lalu, Bank Sentral Eropa (ECB) mempertahankan suku bunganya.

Langkah ini menghentikan kenaikan bunga sebanyak 10 kali berturut-turut menyusul penurunan tajam inflasi zona euro pada bulan September.

Presiden ECB Christine Lagarde memperingatkan bahwa risiko terhadap pertumbuhan “masih condong ke sisi negatifnya” dan mengatakan perang Israel-Hamas berarti prospek harga energi yang "kurang dapat diprediksi".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya