Liputan6.com, Jakarta Perang Hamas-Israel yang terus memanas disebut akan mengerek harga minyak dunia makin tinggi. Alhasil, kondisi ekonomi global juga akan terpengaruh, imbas harga minyak yang melambung.
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kemungkinan tersebut. Bahkan, ada dua jalur minyak dunia yang akan terdampak.
Baca Juga
"Perang Hamas-Israel jika terus berkembang memang bisa mendisrupsi jalur pasokan minyak dunia, baik dari Persian Gulf ke Asia maupun dari Mediterania ke Eropa," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (31/10/2023).
Advertisement
Dia mengatakan akan terjadi perang proxy antara pihak di kubu Israel seperti Amerika Serikat dan negata barat. Serta, kubu pembela Palestina di lingkaran non-barat seperti Iran, China, Rusia, dan Timur Tengah.
Dia menjelaslqn, jika Israel terus menggempur Gaza tanpa henti, ada kemungkinan Iran masuk secara tidak langsung. Misalnya mengganggu jalur pasokan migas yang akan mengereknya ke level USD 100 per barel.
"Iran bisa saja mulai terlibat secara tidak langsung dengan mengganggu jalur pasokan migas di Persian Gulf ke Asia atau Eropa, yang bisa menyebabkan kelangkaan pasokan dan mengerek harga minyak mentah ke level 100 USD per barel, bahkan bisa lebih," jelasnya.
Ancaman Arab Saudi
Tak cuma itu negara Arab seperti Arab Saudi dan anggota OPEC bisa saja mengurangi produksi sebagai bentuk protes ke AS yang mendukung Israel.
"Seperti yang terjadi di saat perang Yom Kippur 1973, di mana harga minyak dunia naik tajam, dan ekonomi Amerika langsung dilanda Great Inflation," ungkap Ronny.
Belum Mandiri Migas
Lebih lanjut, Ronny memandang dampak ke negara mitra AS. Jika kenaikan harga minyak dunia itu terjadi, mungkin saja AS tak terdampak karena sudah mandiri dari sisi migas.
Hanya saja, negara mitranya yang tidak mandiri. Sebut saja ada Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia dan lainnya yang tidak mandiri secara migas.
"Artinya imbasnya akan mengenai banyak negara mitra strategis Amerika juga, yang tentunya tak diinginkan oleh Amerika, mengingat Amerika sendiri tak mampu menjadi alternatif penyedia BBM untuk semua mitra strategisnya," urainya.
"Dengan kata lain, Amerika pasti tak menginginkan banyak negara berpaling ke Rusia yang menyediakan BBM murah di pasar global," tegasnya.
Advertisement
Kata Bank Dunia
Sebelumnya, Bank Dunia mengingatkan bahwa konflik Israel-Hamas dapat memicu guncangan harga komoditas seperti minyak mentah dan produk pertanian, jika perang Israel-Hamas meningkat di Timur Tengah.
Harga minyak dunia telah meningkat 6 persen sejak konflik tersebut pecah.
Mengutip Channel News Asia, Selasa (31/10/2023) kepala ekonom Bank Dunia Indermit Gill menyoroti konflik Israel-Hamas terjadi ketika perang Rusia-Ukraina telah memberikan tekanan pada pasar, dan menjadi "kejutan terbesar terhadap pasar komoditas sejak tahun 1970an",
"Hal ini berdampak dan dikhawatirkan mengganggu perekonomian global yang masih berlangsung hingga hari ini," kata Gill dalam sebuah pernyataan.
"Para pengambil kebijakan harus waspada. Jika konflik semakin meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade" baik dari perang di Ukraina maupun konflik di Timur Tengah, jelas Gill.
Potensi Harga Minyak Naik
Bank Dunia juga mengingatkan, banyak potensi kenaikan harga minyak akan bergantung pada apa yang terjadi pada harga dan ekspor minyak dunia.
Sejauh ini, harga minyak dunia diprediksi bisa naik 3 hingga 13 persen, menjadi antara USD 93 dan USD 102 per barel.
Skenario median memperkirakan harga akan naik hingga USD 121, sedangkan skenario terburuk akan melihat harga minyak mencapai puncaknya antara USD 140 dan USD 157, berpotensi melampaui harga tertinggi sejak tahun 2008.
Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan bahwa dampak ekonomi dari konflik Israel-Hamas mulai terlihat di sejumlah negara Timur Tengah.
"Anda lihat negara-negara tetangga, Mesir, Lebanon, Yordania di sana dampaknya (konflik Israel-Hamas) sudah terlihat," kata Kristalina di Future Investment Initiative (FII) di Riyadh
Advertisement