PLTS Jadi Solusi, Pangkas Beban APBN dari Subsidi Energi

Persetujuan Pemerintah terkait revisi aturan main penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap merupakan bentuk hadirnya pemerintah dalam menciptakan keadilan energi untuk seluruh rakyat Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 08 Feb 2024, 20:15 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2024, 20:15 WIB
Penggunaan PLTS
Persetujuan Pemerintah terkait revisi aturan main penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap merupakan bentuk hadirnya pemerintah dalam menciptakan keadilan energi untuk seluruh rakyat Indonesia. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) menilai persetujuan Pemerintah terkait revisi aturan main penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap merupakan bentuk hadirnya pemerintah dalam menciptakan keadilan energi untuk seluruh rakyat Indonesia.

“Revisi aturan terkait dengan penggunaan PLTS Atap sudah memenuhi dan memberikan keadilan energi. Revisi tersebut tidak memberatkan beban APBN dan tetap memberikan ruang bagi energi terbarukan bagi sebagian masyarakat,” kata Marwan dikutip Kamis (8/2/2024).

Marwan mengatakan revisi peraturan tersebut diharapkan dapat menjadi jalan tengah untuk meningkatkan pemasangan panel surya mendatang.

Secara detil, Marwan mengatakan, revisi aturan tersebut tidak ada lagi jual-beli (ekspor-impor) dalam aturan listrik PLTS Atap itu. “Jika terdapat kelebihan listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap maka masyarakat tidak bisa menjual kelebihan listriknya,” katanya.

Dengan demikian, APBN tidak akan terbebani adanya keharusan membeli listrik yang dibangkitkan dari PLTS Atap. “Jadi, APBN bisa digunakan untuk mensubsidi yang lain. Ini penting untuk masyarakat yang masih membutuhkan subsidi. Kan rata-rata yang memasang PLTS Atap orang mampu.”

Adapun untuk masyarakat yang mampu membangkitkan listrik dari PLTS Atap, paparnya, tetap bisa menggunakan listrik yang dihasilkan PLTS atap sesuai dengan kapasitas yang dipasang. “Jika mendung, sistem PLN juga tetap standby.”

Nantinya, regulasi baru tersebut akan diakomodasi dalam Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung ke Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.

Kapasitas Listrik

Lebih lanjut Marwan menjelaskan bahwa kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.

“Konsumen sebaiknya memasang PLTS atap sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian, akan disesuaikan dengan kuota yang akan ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.

Keputusan revisi Permen ESDM 26/2021 ini merupakan awal yang tepat untuk membentengi kepentingan negara dalam menjaga kedaulatan energi.

Selain Permen PLTS Atap tersebut, Marwan juga memberi perhatian pada skema power wheeling yang diisukan akan masuk ke dalam rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Menurutnya skema ini juga akan membebani masyarakat dan pemerintah jika diberlakukan.

“Dengan adanya Power Wheeling, Pemerintah bakal sulit menentukan tarif listrik yang berkeadilan bagi masyarakat. Selain itu juga soal keandalan pasokan daya bagi masyarakat yang bakal dipertaruhkan,” katanya.

Transisi ke EBT, Tarif Listrik Bakal Makin Mahal?

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MWac atau setara dengan 192 MWp yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat. Dok PLN
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MWac atau setara dengan 192 MWp yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat. Dok PLN

Pemerintah menjanjikan tarif listrik tetap terjangkau oleh masyarakat di tengah percepatan transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Selain tarif murah, pemerintah juga menjamin keandalan pasokan listrik untuk menunjang aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

"Harus kita hitung, gitu ya supaya cermat, terukur bagaimana transisi energi ini tercapai, dengan catatan kelistrikan tetap andal itu yang paling utama. Dan harga listrik tetap terjangkau meskipun transisi energi kita lanjutkan," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, dalam acara Peresmian Indonesia Energy Transition Implementation Joint Office di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024).

Jisman menyampaikan bahwa percepatan transisi energi fosil ke EBT diperlukan untuk mewujudkan target emisi karbon netral atau net zero emission pada 2060 mendatang. Bahkan, bisa lebih cepat dari target tersebut.

"Khusus ketenagalistrikan nasional mungkin teman-teman sudah mengetahui bahwa di 2060 kita harus menuju net zero emission ya, atau lebih cepat," ujar Jisman.

Jisman bilang, pemerintah sudah menyiapkan berbagai cara untuk mewujudkan emisi karbon netral pada 2060 mendatang. Antara lain dengan membangun pembangkit-pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan untuk menggantikan Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara secara bertahap.

Keandalan Listrik

Selain itu, pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi atas penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik saat ini. Hal ini bertujuan untuk menjamin keandalan pasokan listrik di Indonesia.

"Nanti kita sudah siapkan langkah-langkah yang akan kita lakukan di sektor ketenagalistrikan yang terutama nanti seperti apa yang eksisting mungkin ada banyak pertanyaan nih ya, PLTU seperti apa, apa yang ada kemudian yang baru seperti apa," pungkas Jisman.

 

Pengembangan PLTU

PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. Dok PLN
PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. Dok PLN

Sebelumnya, Pemerintah Jokowi secara resmi melarang pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 September 2022.

Dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat 1 Perpres, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.

Selanjutnya, pada pasal yang sama ayat 2 dijelaskan, penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.

"Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat (a) pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, (b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan (c) keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya," tulus keterangan pasal 3 ayat 3.

Kemudian, di ayat berikutnya dijelaskan kalau pengembangan PLTU diperbolehkan, tapi harus memenuhi tiga hal sebagaimana yang tertulis dalam ayat 4, yaitu pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk (a) PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya