PPN Naik jadi 12%, Siap-Siap Harga Barang Makin Mahal

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Nicholas Mandey, meminta Pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

oleh Tira Santia diperbarui 14 Agu 2024, 18:45 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2024, 18:45 WIB
Realisasi Penerimaan Pajak Turun 9,3 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga merinci penerimaan pajak dari PPh Non Migas tercatat Rp 377 triliun atau setara 35,45% dari target APBN 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Nicholas Mandey, meminta Pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

"PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ini kalau gak ada pernyataan bahwa ditunda, karena saya dengar sih tapi belum ada kepasitan. Makannya pernyataan PPN bisa ditunda, itu sangat kita mintakan dari Pemerintah," kata Roy saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Diketahui, Pemerintah berencanan bakal menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Menurut Roy, jika PPN 12 persen tetap diterapkan maka akan mendorong harga barang di ritel modern meningkat.

"Itu masuk di Q4 harga pasti naik, kalau PPN tetap jalan, harga 2-3 bualn sebelumnya harga sudah naik dulu karena melihat daripada naik setelah PPN akhirnya gak laku mending dari sekarang," ujarnya.

Sebagai informasi, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.

Sri Mulyani Kumpulkan Pajak Rp 1.045 Triliun per Juli 2024, Ini Rinciannya

Pelaporan SPT Pajak 2020 Ditargetkan Capai 80 Persen
Petugas melayani masyarakat yang ingin melaporkan SPT di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Hingga 9 Maret 2020, pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh) orang pribadi meningkat 34 persen jika dibandingkan pada tanggal yang sama tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak hingga dengan Juli 2024 baru mencapai Rp1.045,32 triliun atau 52,56 persen dari target.

"Penerimaan pajak mengalami perlambatan dengan capaian Rp52,56 persen dari target APBN 2024," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (13/8/2024).Bendahara negara ini mengakui perlambatan capaian pajak itu mulai dirasakan pada Maret, April, Mei hingga Juli 2024. Adapun empat komponen penerimaan PPh non migas mencapai Rp593,76 triliun atau sekitar 55,84 persen dari target.

"Untuk goodnews PPN dan PPnBM mencapai Rp402,16 triliun, artinya 49,57 persen dari target secara bruto PPN dan PPnBM tumbuh 7,34 persen. Artinya sebetulnya ekonomi tumbuh walau nanti ada beberapa restitusi yang menyebabkan penerimaan netonya mungkin mengalami negatif tapi dari sisi bruto tumbuh sudah cukup baik di 7,4," ujar Menkeu.

Kemudian, untuk PPh migas diperoleh Rp39,32 triliun atau 51,49 persen dari target dengan brutonya negatifnya 13,2. Perolehan tersebut didukung oleh lifting minyak yang mengalami kontraksi.

"Kalau kita lihat yang migas karena lifting minyak, jadi kalau produksi minyak kita walau harga minyak naik tapi kita lihat lifting minyak kita mengalami kontraksi atau terus alami penurunan tidak pernah capai target APBN," ujar Menkeu.

Selanjutnya, untuk pajak lainnya tercatat Rp10,07 triliun atau 26,7 persen dengan pertumbuhan bruto 4,14 persen.

"Jadi, kalau kita liat akumulasi perkembangan penerimaan pajak kita sekarang sudah di 52,56 persen atau di Rp1.045,32 triliun. Kita liat terjadi kenaikan yang kita harapkan momentumnya akan terjaga di 6 bulan terakhir ini," pungkas Menkeu.

Realisasi Pembiayaan Utang hingga Juli 2024 Baru Rp 266,3 Triliun

Jumlah Pelaporan SPT Alami Peningkatan
Jelang batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang jatuh pada 31 Maret 2024, jumlah pelapor pajak penghasilan mengalami peningkatan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang hingga Juli 2024 baru mencapai Rp266,3 triliun dari APBN.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan pada APBN 2024 pihaknya telah mempersiapkan anggaran Rp648,1 triliun untuk pembiayaan utang. Namun, baru terealisasi sebesar 41,4 persen hingga Juli tahun ini.

“Walaupun APBN sudah membuat posturnya seperti itu, dari pembiayaan utang yang Rp648 triliun, sampai 31 Juli baru realisasi Rp266,3 triliun," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (13/8/2024).

Bendahara negara ini menyebut, bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, terlihat ada pertumbuhan dimana pada Juli 2023 realisasi pembiayaan utang hanya sebesar Rp195 triliun.

Kata Sri Mulyani, rendahnya realisasi pembiayaan utang pada tahun 2023 memang disengaja. Hal itu disebabkan melonjaknya harga komoditas. Kendati begitu, saat ini kembali dinaikkan lantaran semua komoditas sudah kembali normal.

"Hingga memang defisitnya diperkirakan pasti lebih tinggi dari 2023. Ini mulai terlihat dari pembiayaan kita," ujarnya.

Adapun untuk rinciannya, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp266,3 triliun dialokasikan untuk dua pembiayaan yaitu surat berharga negara alias SBN (neto) sebesar Rp253 triliun dan pinjaman (neto) sebanyak Rp13,3 triliun.

 

Mimpi Buruk Indonesia Sudah Dimulai, Ini Ramalan Sri Mulyani

FOTO: Bank Dunia Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Indonesia sudah menjadi salah satu korban imbas perekonomian global yang bergejolak di tahun ini.

Diketahui, Indeks kinerja manufaktur atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia terkontraksi di level 49,3. Kontraksi tersebut merupakan pertama kalinya selama tiga tahun terakhir.

"Aktivitas manufaktur global sudah menjadi korban pertama. Dia mengalami kontraksi pada Juli di 49,3. Amerika juga di zona kontraktif. RRT juga ada di zona kontraktif. Ini menggambarkan tadi lingkungan global yang begitu sangat tidak stabil, cenderung volatile, bahkan hostile to each other," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Juli 2024, Selasa (13/8/2024).

Bendahara negara ini menyebut, dengan terkontraksinya PMI tersebut membuat perekonomian di dalam negeri menjadi relatif stagnan atau berhenti ditempat pada Juli 2024.

"Ini menyebabkan perekonomian menjadi relatif berhenti atau stagnan," ujarnya.

Menkeu menyampaikan, gejolak perekonomian global dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya proyeksi pelaku pasar keuangan yang menyebut Amerika Serikat akan mengalami resesi dan Fed Fund rate akan turun.

"Bahkan ada yang berspekulasi akan ada pertemuan emergency sebelum September. Ternyata kan tidak terjadi, tapi itu menunjukkan market itu begitu sangat cepatnya berubah dari sisi psikologi berdasarkan issuance data yang terjadi dan pengembangan yang terjadi dan dampaknya luar biasa sangat besar," ujarnya.

 

Infografis Angin Segar Diskon Pajak dan DP 0 Persen Kendaraan Baru. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Angin Segar Diskon Pajak dan DP 0 Persen Kendaraan Baru. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya