Pengusaha Ritel: Kerek Daya Beli Dulu Baru Naikkan PPN 12%

Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah meminta ketentuan kenaikan tarif PPN jadi 12% ditunda hingga 2026, sehingga masih ada waktu sekitar 1 tahun. Ini jadi salah satu opsi yang ditawarkan pelaku usaha.

oleh Arief Rahman H diperbarui 28 Agu 2024, 16:45 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2024, 16:45 WIB
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo IduansjahHimpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) protes soal kenaikan PPN 12%. (Arief/Liputan6.com)
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo IduansjahHimpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) protes soal kenaikan PPN 12%. (Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) meminta pemerintah menunda penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen 2025. Pengusaha ritel meminta pemerintah lebih berupaya mengerek daya beli masyarakat.

Dikehtahui, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ketentuan itu mengatur besaran PPN naik jadi 12 persen pada 2025.

Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah meminta ketentuan itu ditunda hingga 2026, sehingga masih ada waktu sekitar 1 tahun. Ini jadi salah satu opsi yang ditawarkan pelaku usaha.

"Kondisi saat ini kan kita mau perkuat perdagangan dalam negeri, ya intinya kalau memang PPN di naikkan, kami harapkan dikembalikan, artinya ada dua (pilihan), kalau bisa gak dinaikkan kasih waktu tahun depan lagi," ungkap Budihardjo, disela-sela Indinesia Retail Summit 2024, di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, Rabu (28/8/2024).

Kendati begitu, dia menyadari pemerintah tidak bisa melanggar ketetapan Undang-Undang. Selain sarannya untuk menunda penerapannya, Budi meminta ada upaya pemerintah untuk mengembalikan pungutan pajak itu ke sektor ritel.

Daya Beli

Caranya, bisa dilakukan melalui peningkatan daya beli masyarakat. Cara ini bisa dijalankan dengan stimulasi dari pemerintah ke masyarakat. Pada akhirnya, perputaran uang hasil pungutan pajak itu bisa kembali meningkatkan pendapatan pengusaha ritel.

"Kalau gak bisa (ditunda) ada program, itu kan tambahan (jadi) 12 persen, bisa dikembalikan ke meningkatkan daya beli. Jadi bisa dikembalikan berupa satu program, yang tadi pak Menko itu bagus, misalnya program kesehatan, atau program ke rakyat bawah untuk stimulus ekonomi dari uang tambahan (pajak) itu, sehingga uangnya itu naik lagi ke atas, dalam arti ini dibelanjakan di Indonesia," bebernya

Perlu dicatat, pada 2022 lalu, pemerintah memberlakukan tarif PPN sebesar 11 persen. Kemudian, rencananya naik jadi 12 persen di 2025 mendatang. Dengan kenaikan 1 persen ini, Budi menilai tidak ada dampak langsung ke pendapatan. Hanya saja, dia menyoroti pada dampak jangka menengah dan jangka panjang nantinya.

"Memukul langsung enggak, tapi kalau tidak ada stimulus dikembalikan, secara jangka menengah akan membuat daya siang kita akan berkurang," jelasnya.

 

Lebih Baik Tingkatkan Daya Beli

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo IduansjahHimpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) protes soal kenaikan PPN 12%. (Arief/Liputan6.com)
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo IduansjahHimpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) protes soal kenaikan PPN 12%. (Arief/Liputan6.com)

Budihardjo menerangkan, pemerintah seharusnya bisa menambah upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, angka kontribusi pajak dari pelaku usaha akan ikut meningkat.

Dia menghitung, kenaikan omzet dari pengusaha ritel akan menambah setoran pajak yang diberikan. Misalnya, dengan keuntungan Rp 10 juta dan pajak sebesar 10 persen, maka pengusaha menyetor sebesar Rp 1 juta ke kas negara.

Jika daya beli meningkat, dan omzet peritel juga naik ke Rp 20 juta, maka setoran pajak dengan tarif yang sama menjadi sebesar Rp 2 juta.

"Mending kita bayar pajaknya contoh, kalau omzetnya Rp 10 juta, lalu dinaikkin Rp 20 juta, pajaknya kan lebih gede, jadi yang saya maksud (kampanye) Belanja di Indonesja Aja itu daripada naikin PPN mendingan naikin omzet," tuturnya.

"Omzetnya kalau naik otomatis pajaknya lebih gede, itung aja sendiri, pasti lebih gede. Kalau omzetnya naik itu, yang tadinya Rp 10 juta cuma bayar Rp 1 juta, (pendapatan) Rp 20 juta bayar (pajak) Rp 2 juta. Kalau naikin PPN cuma Rp 1,2 juta (dengan tarif PPN 12 Persen)," sambung Budihardjo.

Prabowo Dipastikan Naikkan PPN Jadi 12% Tahun Depan

Instrumen Pajak Jadi Pendorong Perekonomian
Ilustrasi wajib pajak di kantor pajak. (Istimewa)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan mengalami kenaikan menjadi 12 persen pada 2025. Adapun, saat ini tarif PPN masih ditetapkan sebesar 11 persen. Kepastian kenaikan PPN ini dipastikan oleh Ketua Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Sufmi Dasco Ahmad. 

Dasco juga mengonfirmasikan jika setoran pajak tahun 2025 telah menghitung kenaikan PPN sebesar 12 persen. Adapun target penerimaan perpajakan tahun depan ditetapkan sebesar Rp 2.490,9 triliun.

"Eh Sepertinya PPN baru naik 12 persen di 2025, sudah dihitung," kata Dasco yang juga menjabat Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad usai mengikuti Sidang Tahun MPR RI bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Dalam sidang tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut target pendapatan negara pada tahun 2025 sebesar Rp2.996,9 triliun. Target ini terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun.

"Target pajak tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik," kata Jokowi saat membacakan RAPBN 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8).

 

Kepatuhan

Guna mencapai target pajak di 2025 tersebut, pasangan presiden terpilih Prabowo - Gibran akan melanjutkan reformasi perpajakan. Cara ini ditempuh melalui perluasan basis pajak hingga peningkatan kepatuhan wajib pajak.

"Lalu, perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan, serta pemberian insentif perpajakan yang terarah dan terukur," ujar Jokowi.

Di sisi PNBP, pemerintah akan mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk pelaporan, penguatan tata kelola dan pengawasan. Selain itu, optimalisasi pengelolaan aset negara dan sumber daya alam, serta akan mendorong inovasi layanan. 

Infografis Ragam Tanggapan Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Heboh Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya