Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Organization for Economic Co-operation and Development/International Network on Financial Education (OECD/INFE), menyepakati peningkatan kemitraan dan kolaborasi dalam memajukan inisiatif edukasi keuangan secara global.
Termasuk dalam mendongkrak literasi keuangan dan perlindungan konsumen yang jadi komitmen G20/OECD High-Level Principles on Financial Consumer Protection.
Baca Juga
Demikian kesimpulan pertemuan OECD/INFE Meeting and Conference, yang berlangsung pada 6-8 November 2025 di Nusa Dua, Bali. OJK menjadi tuan rumah dalam pertemuan dan konferensi yang dihadiri delegasi OECD sebanyak 1.000 peserta dari 30 negara yang hadir secara daring maupun luring.
Advertisement
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menyampaikan, pemberdayaan konsumen melalui literasi keuangan menjadi krusial di tingkat global. Terutama di era digital dengan kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan yang semakin meningkat.
"Kita menyadari peran penting literasi keuangan dalam ekonomi global, terutama di era digital yang berubah dengan cepat. Dengan semakin kompleksnya produk keuangan, penting bagi kita untuk membekali konsumen dengan pengetahuan, keterampilan, dan perangkat untuk membuat keputusan keuangan yang tepat," kata Mirza, Sabtu (9/11/2024).
Senada, Deputy Secretary-General OECD Yoshiki Takeuchi mengatakan, melalui pemahaman terkait keuangan berkelanjutan yang baik, masyarakat dapat mengambil keputusan keuangan yang bijak dan bertanggungjawab.
"Sehingga terhindar dari masalah utang berlebih dan memperkuat ketahanan finansial yang pada akhirnya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan alam dan ekonomi di masa depan," imbuhnya.
Sementara Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengharapkan sinergi dan kolaborasi antara OJK dengan OECD/INFE menjadi semakin erat.
Untuk mewujudkan masyarakat dan konsumen yang semakin berdaya dan inklusif. Sehingga tercipta ketahanan finansial dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi.
"Melalui forum ini para anggota OECD/INFE dapat saling berbagi informasi, pengalaman dan tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk meningkatkan literasi dan perlindungan konsumen. Sehingga dapat dirumuskan program dan kebijakan baru sesuai dengan kebutuhan," kata wanita yang kerap disapa Kiki tersebut.
Chair of the OECD/INFE Magda Bianco menambahkan, peningkatan literasi keuangan dilakukan dengan pengembangan kebijakan yang akomodatif dan memperhatikan kondisi dan kebutuhan dari masyarakat.
"Literasi keuangan berperan untuk meningkatkan peran serta dan tingkat kepercayaan masyarakat untuk lebih terlibat di sektor jasa keuangan serta membuat keputusan keuangan dengan baik. Selain itu, literasi keuangan juga membuat masyarakat lebih siap secara keuangan dalam menghadapi kemungkinan ketidakpastian di masa depan. Masyarakat pun akan mampu memilih produk/layanan sesuai dengan strategi dan tujuan investasi yang dimiliki," tuturnya.
OJK Bahas Perlindungan Konsumen Bareng Korea Selatan dan Hong Kong
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus meningkatkan kerja sama dengan otoritas pengawas keuangan sejumlah negara, untuk memperkuat program literasi dan perlindungan konsumen masyarakat di sektor jasa keuangan.
Untuk mendukung upaya tersebut, OJK menggelar pertemuan dengan Financial Supervisory Service (FSS) Korea Selatan dan The Investor & Financial Education Council (IFEC) Hong Kong di Kantor OJK Provinsi Bali, Senin dan Selasa (4-5/11/2024).
Dalam pertemuan dengan Financial Supervisory Service (FSS) Korea Selatan, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menekankan perlunya kolaborasi otoritas antarnegara dalam memberantas kejahatan penipuan di sektor jasa keuangan.
"Dalam dunia yang saling terhubung saat ini, upaya pemberantasan penipuan di sektor jasa keuangan tidak dapat dilakukan oleh satu organisasi saja, pemberantasan penipuan keuangan merupakan pekerjaan bersama lintas organisasi," kata Friderica di Bali, Kamis (7/11/2024).
Lebih lanjut, ia menyampaikan, kolaborasi dengan sejumlah negara termasuk dengan FSS Korea Selatan menjadi sangat penting untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan. Serta pemahaman tentang praktik terbaik dalam upaya pemberantasan tindak penipuan di sektor keuangan.
Dalam pertemuan tersebut juga dibahas pengalaman Korea Selatan dalam menangani kasus-kasus penipuan sektor keuangan. Pembahasan juga mencakup langkah-langkah yang diterapkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk mendeteksi tindak penipuan dan aktivitas keuangan ilegal dalam melindungi aset nasabah, serta mekanisme kolaborasi dengan lembaga pemerintah lainnya, termasuk aparat penegak hukum.
Selanjutnya, OJK juga mengadakan pertemuan serupa dengan The Investor & Financial Education Council (IFEC) Hong Kong pada 5 November 2024. Dengan topik peningkatan literasi keuangan untuk pekerja migran Indonesia di Korea.
"Kolaborasi antara OJK dengan FSS Korea Selatan dan IFEC Hong Kong diharapkan memperkuat program literasi keuangan dan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat," pungkas Friderica.
Advertisement
OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia Masih Jomplang
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyelenggarakan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK). Hasil SNLIK tahun 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43 persen, sementara indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara, mengatakan hasil itu masih menunjukkan ketidakseimbangan antara literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
"Ada survei yang dilakukan oleh OJK bersama BPS bahwa indeks literasi keuangansekitar 65 persen dan inklusi keuangannya 75 persen. Kalau kita bagi per sektor jasa keuangannya itu kelihatan sekali jomplang," kata Mirza dalam acara Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE It), di Gandaria City Mall, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2024).
OJK mencatat, literasi dan inklusi keuangan di sektor perbankan masih lebih baik dibandingkan sektor pasar modal dan asuransi yang masih sangat rendah. Pasalnya banyak masyarakat di Indonesia yang belum familiar dengan capital market.
"Jomplang bahwa yang perbankan tinggi sekali sedangkan yang instrumen yang tentang pasar modal tentang asuransi itu jauh di bawah, baik literasinya maupun inklusinya begitu. Sehingga kalau kita bicara tentang investasi kita bisa investasi di bank dan semua orang sudah tahu tentang deposito, tentang tabungan," ujarnya.
"Tapi kalau investasinya di capital market, di reksadana atau di obligasi, itu apalagi kalau di instrumen asuransi yang ada terlinked dengan investasi, ya rasanya inklusinya dan juga literasinya masih rendah sekali begitu," tambahnya.
Namun, terkait kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) ritel sudah cukup meluas, pasalnya banyak masyarakat Indonesia yang sudah teredukasi mengenai pemanfaatan SBN sebagai opsi menanamkan investasi.