Liputan6.com, Jakarta Rencana penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia dinilai memicu perdebatan terkait dampaknya terhadap perekonomian dan pola konsumsi masyarakat.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara, yang merupakan salah satu tujuan utama pemerintah.
Advertisement
Baca Juga
Namun, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk efeknya pada harga, permintaan, dan daya beli masyarakat.
Advertisement
"Secara fiskal, penerapan cukai MBDK sama seperti kenaikan pajak lainnya, tentu akan menambah penerimaan negara. Itu adalah tujuan utama pemerintah, selain tujuan justifikatif lainnya seperti mengurangi konsumsi minuman berpemanis karena dampak kesehatan," kata Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (22/1/2025).
Menurut Ronny, dampak langsungnya terhadap pasar adalah kenaikan harga barang yang dikenakan cukai. Produsen cenderung memindahkan sebagian besar beban biaya tambahan ini kepada konsumen, sehingga harga produk menjadi lebih mahal. Akibatnya, daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, berpotensi tertekan.
"Ada dua risiko utama. Pertama, daya beli konsumen akan menurun. Kedua, permintaan atas produk berpemanis yang dikenakan cukai berpotensi berkurang, yang pada akhirnya dapat mengontraksi usaha produsen," jelasnya.
Dampak pada Konsumen Berpenghasilan Rendah
Ronny menjelaskan bahwa konsumen dengan penghasilan rendah kemungkinan besar akan mengurangi konsumsi produk berpemanis bukan karena kesadaran kesehatan, tetapi karena keterbatasan daya beli.
"Masyarakat berpenghasilan rendah akan serta-merta mengurangi konsumsi setelah harga naik. Jika mereka tetap mengonsumsi dengan volume yang sama, disposable income mereka akan tergerus," tambahnya.
Penurunan konsumsi ini, meski diharapkan meningkatkan pola makan sehat, lebih banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi daripada kesadaran akan risiko kesehatan.
Ronny juga menilai bahwa mencari substitusi produk berpemanis yang lebih sehat atau rendah gula sulit dilakukan karena harga produk substitusi tersebut jauh lebih mahal.
Â
Tantangan bagi Produsen
Tantangan terbesar dari kebijakan ini adalah dampaknya terhadap produsen, khususnya usaha mikro yang belum memiliki izin resmi. Produsen kecil yang memproduksi minuman berpemanis kemungkinan besar akan terpuruk akibat kenaikan pajak ini.
"Ketika permintaan menurun akibat kenaikan harga, usaha mikro yang memproduksi minuman berpemanis berisiko tutup dalam waktu singkat," jelas Ronny.
Dari sisi ekonomi, penerapan cukai secara ketat akan menekan permintaan produk berpemanis. Hal ini tidak hanya berdampak pada produsen besar, tetapi juga usaha mikro yang bergantung pada produk ini sebagai sumber pendapatan.
"Jika usaha mikro yang memproduksi minuman berpemanis tidak mampu bertahan, banyak yang akan menutup operasionalnya, sehingga berdampak pada lapangan kerja dan penghasilan para pekerjanya," pungkasnya.
Advertisement
Skema Penerapan Cukai Minuman Berpemanis
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sedang mempersiapkan implementasi cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebagai salah satu langkah strategis untuk mengendalikan konsumsi gula tambahan di masyarakat.
Meski rencana ini sudah memasuki tahap persiapan, implementasinya direncanakan pada semester kedua tahun 2025. Keputusan tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat.
"Secara teknis, kami sudah mulai menyiapkan peraturan pemerintah dan turunannya. Sambil menunggu daya beli masyarakat membaik, ada penyesuaian yang dilakukan," ujar Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Akbar Harfianto, ditulis Senin (13/1/2024).
Akbar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, tetapi juga memiliki fokus jangka panjang untuk menurunkan prevalensi penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, yang semakin meningkat di Indonesia.
"Cukai MBDK adalah prioritas utama untuk mengendalikan konsumsi gula tambahan di masyarakat. Ini bukan sekadar soal penerimaan negara. Jangan sampai diartikan bahwa negara hanya butuh uang," katanya.
Kebijakan ini dipandang penting sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mencegah dampak buruk konsumsi gula berlebih terhadap kesehatan masyarakat.
Skema Penarifan dan Pendekatan Bertahap
Terkait skema penarifan, DJBC menjelaskan bahwa beberapa pendekatan sedang dibahas, termasuk untuk produk dalam kemasan (on-trade) dan produk yang dijual di gerai-gerai (off-trade).
"Mengenai MBDK, ada banyak skema penarifan. Saat ini target implementasi ada di semester kedua. Namun, seperti disampaikan oleh Pak Dirjen (Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani), kami tetap memperhatikan kondisi daya beli dan ekonomi masyarakat," jelas Akbar.
Teknis penerapan juga sedang dimatangkan, termasuk aspek administrasi dan beban yang ditanggung oleh industri. Tidak semua produk akan dikenakan cukai, karena penyesuaian akan dilakukan berdasarkan kajian teknis dan regulasi yang berlaku.
"Dari sisi pentarifan, tidak semua produk akan dikenakan cukai. Ada dua kondisi, yakni on-trade (produk industri dalam kemasan) atau off-trade (produk di gerai). Mana yang akan dikenakan, masih dalam pembahasan teknis. Kami juga mempertimbangkan beban administrasi," tambahnya.