Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) meminta Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan langsung, mengurusi permasalahan truk berkapasitas muatan (Over Dimension Overload/ODOL) yang terjadi hampir setiap hari.
Ketua Umum MTI Tory Damantoro mengklaim, bahwa Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat truk obesitas. Utamanya lantaran kebijakan mengenai Zero ODOL yang terus menerus mundur.
Kebijakan itu tak kunjung mengemuka lantaran adanya beda pandangan antar instansi pemerintah, utamanya Menteri Perhubungan (Menhub) beserta Menteri Perindustrian (Menperin) dan Menteri Perdagangan (Mendag).
Advertisement
Pada satu sisi, angkutan logistik berlebih muatan dinilai tak bisa dihilangkan karena ditakutkan akan menyebabkan inflasi.
"Nah, kalau sudah menteri-menterinya sudah pada enggak akur, Presidennya harus turun tangan. Karena satu warga negara (yang kehilangan nyawa akibat kecelakaan truk ODOL) pak Presiden, Itu sama nilainya dengan seluruh warga negara Indonesia. Siapapun itu," tegas Tory di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Akar Permasalahan
Menurut dia, akar permasalahan truk ODOL sudah sangat sistemik. Saling berkaitan antar instansi pemerintah yang punya kepentingan berbeda. Tory tak ingin penanganan kendaraan berlebih muatan baru terselesaikan dengan adanya kasus viral.
"Jangan sampai kemudian kita tunggu kematian akibat ODOL ini menjadi viral. Kemudian negara ini jadinya justice by viral. Nah, itu yang kita melihat memang ini harus diperhatikan dengan serius," seru dia.
Oleh karenanya, Tory menyebut kehadiran langsung Prabowo jadi kunci utama menyelesaikan perkara truk obesitas. Selain karena urusan nyawa, kecelakaan akibat kendaraan ODOL pun bakal mencemari target pertumbuhan ekonomi menjadi 8 persen.
"Kenapa sangat urgent? Satu warga negara meninggal karena ODOL itu sama saja satu bangsa negara ini yang meninggal. Kerugian yang ditimbulkannya pun tidak main-main juga," kata Tory.
"Kalau target pertumbuhan ekonomi 8 persen tidak didukung dengan sistem logistik yang baik, maka kematian akibat ODOL itu akan terus-terusan terjadi," dia menuturkan.
Terus Terjadi Setiap Hari
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno, menyoroti kecelakaan truk barang atau angkutan logistik yang masih terus terjadi setiap hari. Bahkan, bisa mencapai tujuh kali kejadian dalam sehari.
Menurut catatannya, armada truk menduduki peringkat kedua penyebab kecelakaan lalu lintas, meskipun secara jumlah lebih sedikit ketimbang kendaraan roda empat. Pasalnya, ia menilai pengawasan terhadap operasional angkutan barang belum maksimal.
"Memang ini punya konsekuensi terhadap tarif angkutan barang. Tidak masalah, yang paling penting adalah keselamatan bertransportasi bagi semua warga terjamin," ujar Djoko saat berbincang dengan Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Djoko lantas mengambil contoh kecelakaan bus pariwisata Tirto Agung bernomor polisi S 7607 UW di Malang, Jawa Timur pada Senin (23/12/2024) lalu. Bus yang mengangkut rombongan pelajar SMP IT Darul Qur’an Mulia Putri Bogor, Jawa Barat, menabrak truk pengangkut pakan ternak bernomor polisi S 9126 UU di Kilometer 77 jalan Tol Pandaan-Malang. Sebanyak 4 orang meninggal dunia.
Berkaca pada kasus itu, ia menyebut buruknya penyelenggaraan angkutan logistik kerap berujung pada kecelakaan. Ia menilai, rangkaian kecelakaan yang melibatkan truk akibat rendahnya kompetensi para pengemudi, plus kondisi kendaraan yang kurang terawat terus terjadi.
"Seolah tidak belajar dari berbagai insiden sebelumnya, kejadian-kejadian ini mencerminkan lemahnya tata kelola serta kurangnya upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah," singgung Djoko.
Advertisement
Rem Jadi Biang Masalah
Selain persoalan kelebihan muatan, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada 2024 juga mencatat, masalah kegagalan pengereman moda kendaraan pengangkut barang masih kerap terjadi. Akibat tidak adanya regulasi wajib untuk perawatan rem sebagai upaya preventif.
"Truk besar berperan penting dalam logistik guna mengangkut barang lebih efisien. Namun, ukuran yang besar kerap menjadi bumerang dalam operasionalnya jika tidak dikendalikan oleh pengemudi yang handal dan perawatan kendaraan yang rutin," imbuhnya.
Namun, untuk menyelenggarakan perawatan rutin pastinya butuh ongkos yang tinggi. Ditambah biaya untuk membayar pengemudi handal pun perlu upah tak sedikit. Djoko beranggapan, biaya perawatan minum yang terjadi akibat rentetan kejadian itu merupakan dampak dari liberalisasi angkutan barang.
Ia menyebut skema angkutan barang yang semua diserahkan ke mekanisme pasar, seperti tercantum dalam Pasal 184 UU Nomor 22 Tahun 2009, perlu ditinjau ulang. Djoko lantas membandingkan skema pasar bebas yang dijalankan negara-negara maju, namun masih ada norma-norma batasan yang dijalankan secara ketat.
"Liberalisasi hanya pada pengenaan tarif dengan tetap memenuhi standar. Di Indonesia, liberalisasi di sisi tarif, sementara standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan demi kata efisiensi pergerakan biaya," ungkap dia.
Operasional Truk
Di sisi lain, KNKT kerap menemukan adanya operasional truk pada proyek pemerintah yang melebihi dimensi dan kapasitas. Djoko mengatakan, masih terdapat sejumlah proyek negara yang kedapatan menggunakan truk berlebih muatan.
Adapun dalam tata kelola angkutan logistik di Indonesia, sedikitnya ada 12 kementerian/lembaga yang terlibat. Mulai dari Kementerian Koordinasi (Kemenko) Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kepolisian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Bappenas.
Melihat banyaknya instansi yang terlibat, Djoko menekankan bahwa permasalahan truk obesitas hanya dapat dituntaskan oleh ketegasan Presiden Prabowo Subianto. Pasalnya, Kementerian Perhubungan selaku instansi yang mengatur langsung keberadaan truk logistik, justru masih berkutat dengan masalah internal.
"Di Kementerian Perhubungan belum bersepakat menangani kendaraan berdimensi dan muatan lebih. Mestinya ada koordinasi di dalam Kemenhub yang dipandu Menteri Perhubungan. Tidak bisa hanya mengandalkan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk mengatasinya," tuturnya.
Advertisement