Liputan6.com, Jakarta Analis saham menilai ekonomi domestik tidak terlalu rentan terhadap guncangan perdagangan global dan pemulihan pasar berbentuk “V” akan segera terjadi karena masuknya likuiditas global ke dalam negeri.
Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro berpendapat, dengan ETF (Exchange-Traded Fund) ekuitas Indonesia telah turun hingga -10% dalam seminggu saat pasar lokal tutup, hampir dapat dipastikan bahwa pemutus arus akan dipicu saat IHSG dibuka untuk pertama kalinya dalam seminggu pada Selasa.
Baca Juga
"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujar Satria dalam risetnya, Selasa (8/4).
Advertisement
Bagi Indonesia, ekspor Amerika Serikat (AS) hanya mencakup 2% dari PDB kita; paparan makro terkecil di Asia Tenggara (Thailand 11%, Malaysia 10%). Produk Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 32% oleh AS.
Namun, ini tetap menjadi salah satu tarif impor terendah di antara pusat-pusat tenaga kerja murah lainnya, dengan bea masuk hampir 37-49% diterapkan ke Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam, yang merupakan pesaing Indonesia untuk menarik investasi.
“Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona "Goldilocks" di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro di dalam negeri,” ujar dia.
Dalam tiga hari terakhir, lanjut dia, pertumpahan darah pasar ekuitas paling parah terjadi di negara-negara yang sangat terpapar pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, Taiwan. Indeks saham di emerging markets seperti India dan Malaysia penurunannya kurang dari 8%.
Kurs Rupiah
Ia mencatat bahwa sekarang pada 17.000 per dolar AS, rupiah telah terdepresiasi sebesar 11% dalam enam bulan terakhir dan ini sebenarnya menawarkan lindung nilai alami terhadap tarif AS. Depresiasi rupiah telah terjadi di tengah pelemahan umum dalam indeks dolar/DXY, dengan sebagian besar mata uang Asia sebenarnya terapresiasi baru-baru ini.
“Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing,” tulis Satria.
Ia pun memperkirakan tarif AS yang baru akan memberikan dampak minimal terhadap laba perusahaan Indonesia, yang sudah berada pada basis rendah untuk estimasi 2025.
Advertisement
Dampak Positif
Sebaliknya, margin perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin terkena dampak positif, karena rupiah telah terdepresiasi sebesar 5% dalam sebulan tetapi harga minyak, yang menjadi cost utama perusahaan-perusahaan di Indonesia, telah turun sebesar 15%.
"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," kata dia.
