Dilema THR Ojek Online

Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan mengatakan pentingnya pengakuan hukum bagi ojek online (ojol) sebagai transportasi umum.

oleh Tira Santia Diperbarui 10 Mar 2025, 09:33 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2025, 17:45 WIB
Ojek Online Gunakan Pelindung Pembatas Antar Penumpang
Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Selasa (9/6/2020). Penumpang ojek online (ojol) kini tak perlu khawatir menggunakan transportasi ini di tengah pandemi Corona. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan mengatakan pentingnya pengakuan hukum bagi ojek online (ojol) sebagai transportasi umum. Saat ini ojek online belum mendapatkan pengakuan resmi dalam sistem hukum Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) No. 22 Tahun 2009.

Ketidakjelasan status hukum ini menjadi dasar bagi aplikator untuk menyatakan bahwa pengemudi ojek online bukan pekerja, melainkan mitra. Akibatnya, mereka tidak memiliki hak yang sama seperti pekerja sektor transportasi lain, termasuk dalam hal tunjangan hari raya (THR).

"Masalah sesungguhnya ojek online adalah tidak adanya regulasi hukum pengakuan terhadap ojek online dalam sistem hukum di UU LLAJ No:22 Tahun 2009. Akibatnya isu THR kepada sopir ojek online terus mengemuka setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri," kata Azaz, dalam keterangannya, Jumat (7/3/2025).

Ia mengakui, memang jika ingin memberikan THR perlu adanya dasar gaji sebagai dasar perhitungan pemberian THR kepada pekerja oleh perusahaan.

Oleh karena itu, perlu adanya dasar perhitungan agar THR tetap bisa diberikan oleh aplikator dan dinikmati sopir ojek online beserta keluarganya.

"Supaya tidak setiap tahun jadi masalah setiap tahun dengan alasan saya yakni hubungannya hanya mitra bukan sebagai pekerja aplikator, maka perlu adanya langkah hukum lebih maju sebagai penyelesaiannya," katanya.

Azaz menilai dengan statusnya sebagai mitra, pengemudi ojol tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Mereka menghadapi berbagai tantangan seperti pemotongan komisi hingga 25%, kebijakan putus mitra yang sewenang-wenang, serta tarif yang sering kali merugikan mereka.

Menurutnya, tanpa regulasi yang jelas, posisi pengemudi dalam hubungan kerja dengan aplikator menjadi sangat lemah.

 

Dampak Ekonomi dan Sosial

FOTO: Minim Pengawasan, Ojol Masih Berkerumun saat Menunggu Penumpang
Pengemudi ojek online (ojol) memenuhi bahu jalan saat menunggu penumpang di kawasan Cililitan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Minimnya pengawasan membuat masih banyak pengemudi ojol yang berkerumun saat menunggu penumpang meski Pemprov DKI Jakarta telah melarangnya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Dengan jumlah pengemudi ojek online yang mencapai sekitar 6 juta orang di seluruh Indonesia, sektor ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan.

Ojek online telah menjadi solusi bagi banyak orang yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan anjloknya daya beli masyarakat. Namun, tanpa regulasi yang jelas, ketidakpastian hukum akan terus menjadi masalah yang menghambat kesejahteraan para pengemudi.

"Peran bisnis ojek online oleh aplikator Gojek, Grab, Maxim dan inDriver dan lainnya sudah banyak memberi pengaruh dalam sektor ekonomi, sosial dan transportasi," ujarnya.

Begitu pula kontribusi perusahaan aplikator pada pembangunan perekonomian nasional, dan perhatian mereka kepada para pengemudi sebagai mitranya dan keluarga serta pengguna transportasi online.

 

Urgensi Regulasi Hukum bagi Ojek Online

Ratusan Pengemudi Ojek Online Berunjuk Rasa
Pengemudi ojek online (ojol) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/2/2020). Aksi demo ratusan sopir ojek online dipicu karena ada usulan anggota DPR yang ingin ojek online tidak mengangkut penumpang, melainkan hanya mengangkut barang. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Kata Azaz, jika revisi UU LLAJ mengakui sepeda motor sebagai transportasi umum, maka pemerintah dapat menetapkan aturan yang lebih jelas terkait hubungan kerja antara pengemudi dan aplikator. Ini akan menciptakan sistem kerja yang lebih adil dan berkeadilan bagi semua pihak.

"Proses revisi UU LLAJ jadi kesempatan bagi kita jika ingin memperbaiki dan memecahkan masalah tentang keberadaan bisnis ojek online di Indonesia," ujarnya.Meskipun banyak pihak berpendapat bahwa menjadikan sepeda motor sebagai alat transportasi umum akan meningkatkan risiko kecelakaan. Namun, kecelakaan juga sering terjadi pada moda transportasi lain seperti bus, kapal, dan pesawat, meskipun sudah memiliki regulasi ketat.

Justru dengan adanya regulasi yang jelas, pemerintah dapat mengawasi operasional ojek online secara lebih efektif, termasuk dalam aspek keselamatan berkendara.

Azaz menegaskan, sekarang masalah utama bisnis ojek online adalah tidak diakuinya sepeda motor sebagai alat transportasi umum dan belum diakuinya bisnis ojek online oleh UU LLAJ.

Kondisi belum diakuinya ojek online ini menunjukkan tidak adanya Kepastian Hukum bisnis ojek online di Indonesia sehingga melemahkan posisi pemerintah di hadapan aplikator dan merugikan masyarakat.

 

Bisnis Ojek Online

FOTO: Minim Pengawasan, Ojol Masih Berkerumun saat Menunggu Penumpang
Pengemudi ojek online (ojol) memenuhi bahu jalan saat menunggu penumpang di kawasan Cililitan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Pemprov DKI Jakarta telah melarang ojol dan ojek pangkalan berkumpul lebih dari lima orang serta menjaga jarak sepeda motor minimal dua meter. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Pemerintah sebagai regulator yang harusnya mengawasi bisnis ojek online atas dasar otoritas yang diberikan oleh UU LLAJ. Jika ada regulasi yang memberikan pengakuan hukum maka Pemerintah bisa tegas dalam mengawasi bisnis ojek online.

Pengawasan pemerintah tidak dapat ditolak oleh para aplikator karena memiliki dasar mandat dari UU LLAJ. Keberadaan regulasi hukum ojek online akan bisa didapat jika sepeda motor diakui oleh UI LLAJ sebagai alat transportasi umum.

"Posisi pemerintah yang hanya menggantung regulasi mengatur bisnis ojek online pada regulasi hukum tingkat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) yang tidak diatur dalam UU LLAJ ini sangat memalukan. Bagaimana bisa tidak malu, membiarkan bisnis ojek online selama 15 tahun dan jumlah sudah sekitar 6 juta unit tanpa ada regulasi hukum yang mengakui agar dapat mengawasi bisnis ojek online di Indonesia," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya