Rupiah Keok Dolar AS Perkasa, Sederet Sentimen Ini Jadi Penyebab

Rupiah diperkirakan akan mengalami pergerakan yang fluktuatif namun cenderung ditutup menguat pada perdagangan Rabu besok dalam kisaran Rp 16.390 hingga Rp 16.430.

oleh Gagas Yoga Pratomo Diperbarui 18 Mar 2025, 17:00 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2025, 17:00 WIB
Donald Trump Kalah Pilpres AS, Rupiah Menguat
Nilai tukar rupiah ditutup melemah sebesar 22 poin setelah sebelumnya sempat mengalami pelemahan hingga 70 poin, berada di level Rp 16.428 per dolar AS dari posisi penutupan sebelumnya di Rp 16.400.(Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pada sesi perdagangan sore ini, Selasa (18/3/2025) nilai tukar rupiah ditutup melemah sebesar 22 poin setelah sebelumnya sempat mengalami pelemahan hingga 70 poin, berada di level Rp 16.428 per dolar AS dari posisi penutupan sebelumnya di Rp 16.400.

Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi memprediksi untuk perdagangan esok hari, rupiah diperkirakan akan mengalami pergerakan yang fluktuatif namun cenderung ditutup menguat dalam kisaran Rp16.390 hingga Rp16.430.

Faktor Eksternal

Ibrahim menjelaskan, pelemahan ini terjadi akibat beberapa faktor eksternal diantaranya Israel melancarkan serangan terhadap sasaran Hamas di wilayah Gaza setelah perundingan mengenai gencatan senjata mengalami kegagalan.

Berdasarkan laporan sejumlah media, serangan tersebut telah menyebabkan lebih dari 200 korban jiwa, termasuk di antaranya pejabat senior Hamas.

“Aksi ini juga memicu kemarahan dari kelompok Hamas yang menuduh Israel telah melanggar kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya telah disepakati pada Januari lalu,” jelas Ibrahim dalam keterangan resmi, Selasa (18/3/2025).

Di sisi lain, upaya delegasi Amerika Serikat untuk menjadi penengah juga tidak membuahkan hasil. Israel menyatakan bahwa serangan yang dilancarkan merupakan bentuk respons terhadap penolakan Hamas yang terus-menerus untuk membebaskan sandera warga Israel. Kejadian ini menandai meningkatnya ketegangan kembali di kawasan Timur Tengah.

Kebijakan Donald Trump

Di sisi lain, ketidakpastian mengenai kebijakan tarif yang direncanakan oleh Donald Trump masih terus berlanjut. Hal ini semakin menjadi sorotan karena negara-negara yang menjadi target kebijakan tersebut, seperti Eropa, Tiongkok, Kanada, dan Meksiko, telah mengumumkan rencana tindakan balasan terhadap kebijakan tersebut.

Trump kembali menegaskan ancamannya bahwa tarif yang bersifat timbal balik dan sektoral akan mulai diberlakukan secepatnya pada 2 April.

“Kekhawatiran akan dampak kebijakan tarif ini terhadap ekonomi Amerika Serikat memunculkan ketakutan akan kemungkinan resesi,” jelas Ibrahim.

Sentimen The Fed

Sementara itu, perhatian pasar kini tertuju pada pertemuan Federal Reserve (The Fed) yang diharapkan dapat memberikan petunjuk terkait kondisi ekonomi ke depan. Bank sentral diperkirakan akan mempertahankan suku bunga pada tingkat yang sama dalam keputusan yang akan diumumkan pada Rabu mendatang setelah pertemuan selama dua hari.

Meskipun demikian, The Fed juga diprediksi akan menyesuaikan kebijakan dan mengurangi sikap agresifnya dalam menanggapi meningkatnya ketidakpastian ekonomi. Selain itu, pertemuan dari Bank of Japan dan Bank of England juga dijadwalkan berlangsung pada pekan ini.

 

Promosi 1

Faktor Internal

Tertekan, Rupiah Terjun ke Level Rp16.283 per Dolar AS
Selain rupiah, pada penutupan perdagangan, Senin (13/1/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Dari dalam negeri, Ibrahim menjelaskan sejumlah ekonom menyoroti laporan terbaru terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam publikasi APBN KiTa edisi Februari 2025. Laporan tersebut menunjukkan indikasi pelemahan kondisi fiskal yang perlu segera diantisipasi.

Pada dua bulan pertama tahun ini, defisit fiskal mencapai Rp31,2 triliun atau sekitar 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini diperparah dengan penurunan penerimaan pajak yang tercatat sebesar 30,19 persen secara tahunan (yoy), yang menjadi alarm bagi keberlanjutan kebijakan ekonomi pemerintah.

“Jika tidak ada langkah korektif yang signifikan, defisit ini berpotensi melebar dan bisa melampaui batas aman pada akhir tahun,” ujar Ibrahim.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa, realisasi pendapatan negara hingga Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini.

Penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target, dengan rincian penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun (8,6 persen dari target) serta penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp52,6 triliun (17,5 persen dari target).

 

Penurunan Penerimaan Pajak

Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah mencapai Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target APBN. Penurunan tajam dalam penerimaan pajak bukan hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi yang masih lesu, tetapi juga terkait dengan kendala administrasi, khususnya dalam penerapan sistem Coretax yang belum berjalan optimal. Kendala ini menghambat proses pemungutan pajak di berbagai sektor utama.

Selain permasalahan penerimaan pajak, daya beli masyarakat juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Inflasi pada sektor pangan dan energi yang masih berada di atas 4 persen dikhawatirkan dapat menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Jika daya beli masyarakat terus mengalami tekanan, maka sektor ritel, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta industri manufaktur akan terdampak signifikan. Hal ini bisa menjadi tanda awal perlambatan ekonomi yang lebih dalam

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya