Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia. Hal ini penting karena keuangan syariah sesuai dengan demografi masyarakat Indonesia serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan komitmen OJK untuk meningkatkan akses keuangan syariah di masyarakat melalui berbagai program yang berkolaborasi dengan pemangku kepentingan industri keuangan syariah.
Advertisement
Baca Juga
Mahendra menekankan pentingnya peningkatan inklusi keuangan syariah secara cepat dan merata. OJK mencatat per Januari 2025 total aset industri keuangan syariah meningkat sebesar 10,35 persen year on year (yoy) menjadi sebesar Rp 2.860,1 triliun dengan total aset perbankan syariah sebesar Rp 948,2 triliun, pasar modal syariah Rp 1.740,2 triliun dan lembaga keuangan non-bank sebesar Rp 171,7 triliun.
Advertisement
"Kami minta teman-teman di jajaran PUJK (Pelaku Usaha Jasa Keuangan) dan semua pemangku kepentingan untuk menjadikan ini sebagai tantangan. Jangan sampai literasi keuangan syariah yang sudah baik menjadi kontraproduktif hanya karena akses yang terbatas, sehingga menimbulkan skeptisisme dan apatisme," ujar Mahendra dalam acara Puncak GERAK Syariah di Kantor OJK, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Selain akses, Mahendra menyebut tantangan lain dalam pengembangan industri keuangan syariah, yakni terbatasnya diferensiasi produk serta minimnya sumber daya manusia di sektor ini.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, OJK telah mengeluarkan sembilan regulasi (POJK) dalam dua tahun terakhir, termasuk aturan terkait kelembagaan BPR/BPRS, tata kelola bank umum syariah (BUS/UUS), serta layanan digital oleh bank umum syariah.
Selain itu, terdapat tujuh SEOJK yang diterbitkan, mencakup manajemen risiko bagi BUS dan UUS, perubahan kegiatan usaha, hingga penyelenggaraan produk BPRS.
Program EPIKS untuk Keuangan Syariah
Untuk mendorong inklusi keuangan syariah, OJK mengembangkan program Ekosistem Pesantren Inklusif Keuangan Syariah (EPIKS). Program ini bertujuan memperluas pemahaman dan akses terhadap keuangan syariah di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan bahwa awalnya EPIKS berfokus pada penyuluhan dan edukasi keuangan di lingkungan pesantren. Namun, program ini kini diperluas agar pesantren menjadi pusat inklusi keuangan syariah yang dapat menyebarkan manfaatnya ke masyarakat sekitar.
"Jadi, kita masuk ke pesantren tidak hanya untuk mendidik santri dan guru, tetapi juga ekosistem sekitarnya," ujar Friderica.
OJK melihat pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan, tetapi juga bagian integral dari perekonomian lokal. EPIKS tidak hanya memberikan edukasi dan akses keuangan syariah bagi santri dan guru, tetapi juga membantu masyarakat sekitar, termasuk dalam pembiayaan syariah untuk pesantren dan UMKM di lingkungan sekitarnya.
Dalam implementasinya, program EPIKS mencakup pembukaan akses keuangan syariah seperti rekening syariah, investasi reksa dana syariah, serta pembiayaan syariah di sektor riil.
Pemberdayaan UMKM dan Dampak Ekonomi
Selain membuka akses keuangan, EPIKS juga berfokus pada pemberdayaan UMKM di sekitar pesantren. Melalui program ini, pesantren diharapkan dapat membina dan memberikan pembiayaan kepada UMKM lokal dengan skema pembiayaan syariah.
Salah satu contoh keberhasilan program ini adalah kunjungan Friderica ke Pondok Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki di Bogor.
Kegiatan tersebut berhasil mengumpulkan perwakilan dari 30 pesantren dengan total peserta mencapai 6.000 orang, menunjukkan tingginya minat terhadap inklusi keuangan syariah.
"Kemarin kita ke salah satu pesantren di Bogor, Daarul Mughni. Luar biasa sekali, di situ dikumpulkan perwakilan dari 30 pesantren dengan 6.000 peserta. Itu dahsyat sekali," ujarnya.
Advertisement
Tantangan dan Solusi
Meski terus berkembang, Friderica mengakui masih ada tantangan dalam meningkatkan inklusi keuangan syariah di Indonesia.
Salah satunya adalah keterbatasan akses masyarakat dalam membuka rekening syariah serta mendapatkan layanan keuangan syariah lainnya, terutama di daerah terpencil.
"Produk-produk keuangan syariah juga harus lebih bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Jangan hanya nama yang berbeda, tapi esensinya sama," katanya.
Tantangan lainnya adalah minimnya jumlah pelaku industri keuangan syariah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
OJK pun mendorong lebih banyak pelaku industri untuk menyediakan produk keuangan syariah yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di industri keuangan syariah juga menjadi perhatian. Banyak lulusan ekonomi syariah yang belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan industri.
"SDM ini penting. Banyak lulusan syariah, tapi apakah mereka sesuai dengan kebutuhan industri? Oleh karena itu, kita mendorong adanya link and match antara akademisi dan industri," tutup Friderica.
