Kebijakan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% belum lama ini tentu bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang menjadi sorotan dunia.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengakui, kebijakan tersebut terpaksa dilakukan untuk merespon kondisi global dan domestik, termasuk dari sisi defisit transaksi berjalan yang sudah masuk kuartal IX.
"Kami perlu menyikapi defisit transaksi berjalan karena kecenderungannya akan meningkat bukan turun. Diperkirakan defisit transaksi berjalan di akhir tahun ini mencapai US$ 30 miliar atau lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar US$ 24 miliar," jelasnya di Jakarta, Kamis (14/11/2013) malam.
Advertisement
Selama hampir enam bulan menjabat sebagai pimpinan Bank Sentral Indonesia, Agus tercatat telah menaikkan BI Rate sebesar 175 basis poin. Hal ini dipicu lantaran kinerja negatif bukan saja persoalan perdagangan non migas dan migas, tapi juga laju neraca pendapatan dan jasa yang melemah.
"Impor minyak masih besar dan jumlahnya lebih besar di kuartal III-2013 dibanding kuartal II-2013. Di non migas, kami melihat ada penurunan impor karena ekspor turun jadi semua berdampak ke defisit transaksi berjalan," paparnya.
Agus menegaskan, pihaknya masih akan menerapkan kebijakan moneter dan makroprudensial yang sudah ada sebagai pegangan BI melangkah ke depan.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, tingginya impor migas mesti disikapi dengan reformasi energi mengingat kondisi ini disebabkan karena dua hal.
"Yaitu produksi atau lifting dalam negeri turun dan volume konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi justru tinggi. Jadi reformasi energi diharapkan dapat meningkatkan produksi migas serta mengendalikan konsumsi BBM subsidi khususnya premium," tandasnya. (Fik/Ndw)
Â