RI-Jepang Jajaki Kerjasama Energi Ramah Lingkungan

Indonesia dan Jepang menjajaki kerja sama sektor pembangkitan listrik, efisiensi energi, inovasi teknologi ramah iklim.

oleh Nurmayanti diperbarui 14 Des 2013, 15:12 WIB
Diterbitkan 14 Des 2013, 15:12 WIB
energi-listrik-131214b.jpg
Indonesia dan Jepang menjajaki kerja sama sektor pembangkitan listrik, efisiensi energi, inovasi teknologi ramah iklim, pemanfaatan penginderaan satelit dalam pengelolaan hutan dan gambut, dan peningkatan kapasitas sains dan teknologi.

Peluang kerja sama juga terbuka bagi  peningkatan kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi bencana yang dipicu oleh perubahan iklim.

Peluang kerja sama tersebut terungkap dalam pertemuan  di bidang Perubahan Iklim yang berlangsung di Jepang di Kementerian Luar Negeri Jepang, Tokyo, Jepang, seperti melansir laman Sekretariat Kabinet, Sabtu (14/12/2013).

Dalam pertemuan tersebut, Indonesia diwakili oleh Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo bersama staf Kemenko Perekonomian.

Sedangkan pihak Jepang diwakili oleh Utusan Khusus Pemerintah Jepang di bidang Perubahan Iklim, Kementerian Perdagangan dan Industri (METI), dan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, serta dengan beberapa perusahaan Jepang yang berpartisipasi dalam skema Joint Carbon Mechanism (JCM).

"Pemerintah Jepang berulang kali menyampaikan penghargaan terhadap kerjasama JCM yang ditandatangani oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Luar Negeri Jepang bulan Agustus tahun ini.," kata Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim.

Pemerintah Jepang juga memberikan klarifikasi mengenai inisiatif Actions for Cool Earth (ACE) yang diumumkan bulan November lalu di Warsawa.

Terkait kerjasama Joint Carbon Mechanism (JCM), Joint Committee kedua negara bertemu di Jakarta bulan November lalu,

Pemerintah Jepang membuat keputusan pendanaan bagi lima proyek percontohan JCM, yang melibatkan empat perusahaan Jepang  yaitu Sharp, Yokogawa, Mitsubishi UFI, dan Marubeni.

Dana tersebut nantinya akan dimanfaatkan bagi kebutuhan pengaturan CCS (ypengambilan minyak dari sumur-sumur tua atau yang dikenal sebagai EOR/enhanced oil recovery),  dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) di Indonesia.

Menurut Agus, dalam upaya percepatan realisasi kerjsama di bidang perubahan iklim dengan Pemerintah Jepang tersebut, diperlukan sejumlah kebijakan meliputi:

1. Penerbitan Peraturan Presiden/Menteri yang berhubungan dengan kegiatan pengumpulan dan penyimpanan (gas) karbon dioksida  di dalam lapisan tanah, yang dikenal sebagai Carbon Capture and Storage (CCS).

Persyaratan kegiatan CCS dalam upaya EOR perlu diatur agar gas karbon dioksida tersimpan secara permanen di lapisan tanah kedap gas, sehingga upaya CCS tersebut dapat menerima kompensasi sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim.

2. Penerbitan Peraturan  Presiden/Menteri yang berhubungan dengan persyaratan dan bagi hasil kegiatan pengurangan emisi dari lahan hutan dan gambut, yang dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD).

Investor Jepang yang telah menyelesaikan studi kelayakan program REDD+ di Kalimantan Tengah menanti kejelasan pengaturan bagi hasil antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat lokal dan investor.

3.  Pembahasan kerjasama ekonomi Indonesia – Jepang dengan pendanaan yang bersumber dari ODA (loan), misalnya investasi untuk pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta dan Kereta Api Cepat lintas propinsi di Jawa, dapat memanfaatkan fasilitas pendanaan Actions for Cool Earth (ACE).

Penggabungan fasilitas pendanaan ini dapat mengurangi biaya modal (pinjaman) pada program pembangunan ekonomi yang bersahabat dengan lingkungan (iklim). (Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya