Penjajahan bangsa barat termasuk Belanda yang menduduki Indonesia selama 350 tahun telah memasung rakyat di Tanah Air untuk berkembang khususnya secara ekonomi. Bayangkan saja, akibat penjajahan Belanda dan Jepang, Indonesia memiliki tiga mata uang yang berlaku dalam waktu bersamaan.
Â
Kebutuhan adanya mata uang yang sah, mendorong pemerintah Indonesia saat itu merasa perlu mendirikan bank sentral atau sirkulasi. Lembaga keuangan tersebut sangat dibutuhkan guna menentukan kebijakan moneter di suatu negara.
Advertisement
Bank sentral pertama yang lahir di Indonesia ternyata bukan milik pribumi. Pihak Belanda yang mendirikannya dan memberinya nama De Javasche Bank (DJB) di Batavia (sekarang Jakarta).
Setelah merdeka dari Jepang, pemerintah sempat mensahkan bank sentral lain yaitu Bank Negeri Indonesia (BNI) dengan modal hanya Rp 350 ribu. Sayangnya gerak BNI banyak dibatasi karena tidak mendapat pengakuan dunia sebagai bank sentral yang sah.
Lantas bagaimana pemerintah Indonesia akhirnya bangkit dan mampu mendirikan bank sentral sendiri?
Berikut sejarah dan lika-liku Bank Indonesia (BI) seperti dikutip dari situs resmi BI, Rumah Uang, Central Banking dan sejumlah sumber lainnya, Jumat (20/12/2013):
DJB, bank sentral pertama Indonesia tapi punya Belanda
Sebagai negara kaya, Indonesia telah lama dikenal sebagai pusat perdagangan global bahkan sebelum bangsa-bangsa barat berdatangan ke Tanah Air. Saat Eropa mengalami pertumbuhan kegiatan dagang yang sangat pesat memicu sejumlah pendirian badan perbankan sederhana di negeri Belanda yang kemudian menjadi penjajah Indonesia selama 350 tahun.
Saat menjajah Indonesia, Belanda menerapkan sistem perbankan tersebut ke dalam negeri yang kemudian menjadi embrio lahirnya De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Lembaga keuangan itu merupakan bank pertama Indonesia.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, pesatnya perdagangan dan perputaran uang di nusantara membuat pemerintah Hindia Belanda mencetuskan gagasan untuk mendirikan bank sirkulasi atau bank sentral. Maka pada 24 Januari 1828, pemerintah tersebut mendirikan bank sentral di Indonesia yang masih bernama De Javasche Bank (DJB) di Batavia (sekarang Jakarta).
Meski diakui sebagai bank sirkulasi atau sentral negara, tapi saat itu kepemilikannya masih di tangah Belanda dan belum disesuaikan dengan kepetingan nasional.
Advertisement
Bank Belanda cetak uang di Indonesia bergambar wayang
Tak hanya berperan memonopoli perdagangan hasil bumi ke luar, DJB memegang mandat sebagai pencetak mata uang Indonesia yang saat itu belum bernama rupiah.
Sesuai nama lembaga pencetaknya, mata uang De Javasche Bank merupakan alat pembayaran resmi di Indonesia. DJB pertama kali mencetak uang kertas sebanyak 120.000 dengan pecahan, 1.000, 500, 300, 200, 50, dan 25.
DJB juga terkenal dengan hak oktroi atau hak untuk memonopoli sirkulasi perputaran uang di dalam negeri. Dengan hak tersebut, DJB membuka banyak cabang di dua kota besar lainnya, Semarang dan Surabaya.
Di Indonesia sempat berdiri bank sentral khusus pulau Jawa
Di tengah kegagahan pemerintah Belanda menjajah Indonesia, Jepang hadir menggoyahkan tahtanya. Para tentara Jepang yang berdatangan ke Pulau Jawa mulai melikuidasi bank-bank Belanda di Indonesia.
Untungnya, Presiden DJB berhasil memindahkan seluruh cadangan emasnya ke Afrika Selatan dan Australia. Saat itu, militer Jepang mendesak penduduk lokal dan pemilik bank untuk menyerahkan seluruh aset kepadanya.
Pada April 1942, Jepang terus menguasai bank-bank di Indonesia dengan mengeluarkan banking-moratorium. Seluruh bank Belanda, Inggris dan beberapa bank China dilikuidasi dan diambilalih lembaga keuangan Jepang.
Sementara itu, pemerintah Jepang lalu mendirikan bank sirkulasi sendiri khusus pulau Jawa guna mengamankan aset dan cadangan uang di kawasan tersebtu. Tetapi akhirnya bank bernama Nanpo Kaihatsu Ginko dibubarkan saat sekutu menyerang Jepang pada 1945.
Advertisement
Bank Jepang sempat terbitkan mata uang bergambar Arjuna dan Gatot Kaca di Indonesia
Tak hanya bank sirkulasi Belanda, lembaga keuangan milik Jepang pun mencetak mata uang sebagai alat pembayaran pribumi. Namun di bawah kependudukan pemerintah Jepang, seri mata uang yang diterbitkan bergambar Arjuna dan Gatot Kaca.
Tak heran, meski telah mendeklarasikan kemerdekaanny pada 17 Agustus 1945, Indonesia tercatat memiliki tiga mata uang yaitu mata uang De Javache Bank, Jepang dan milik pemerintah Hindia Belanda.
Merdeka! Indonesia dirikan BNI sebagai bank sentral
Jeritan merdeka di seantero negeri menandakan bangsa Indonesia mampu menghirup kebebasan yang telah ratusan tahun terhalang bangsa barat. Sayangnya bangsa dan pemerintah Indonesia masih terkekang berbagai keterbatasan untuk membangun ekonomi negara.
Sebagai negara merdeka, Indonesia tidak memiliki sumber permodalan, pengatur sirkulasi uang, dan penentu kebijakan moneter. Tindakan pemerintah dalam membersihkan negara dari pengaruh bekas penjajahan membuatnya menetapkan mata uang baru yaitu, Orang Repoeblik Indonesia (ORI).
Namun saat itu, mata uang NICA juga masih beredar sebagai alat jual beli yang sah. Kebutuhan kepemilikan mata uang yang sah itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI).
Bank nasional itu berhak mencetak dan mengedarkan ORI ke seluruh penjuru negeri. BNI kemudian diresmikan dan disahkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1946.
Advertisement
BNI berdiri dengan Modal Rp 350 ribu (uang Jepang)
Meski didirikan pada 1946, sebenarnya izin membangun BNI sudah dikantongi sejak 19 September 1945. Dengan modal Rp 350 ribu (uang Jepang), RM Margono Djojodikusumo mendirikan bank sentral Indonesia yang masih bernama BNI.
Modal tersebut diperoleh dari seorang dokter yang tertarik menceburkan diri ke dunia politik dan perekonomian Indonesia. Margono kemudian diangkat sebagai Presiden Direktur BNI pertama.
Margono sebenarnya telah lama membahas gagasan pendirian bank sentral bersama Mohamad Hatta guna memajukan tingkat perekonomian rakyat. Sayangnya, gagasan tersebut sempat mengalami penolakan dari beberapa pihak yang merasa keberatan.
Salah satu pihak yang menolak, mantan Menteri Kemakmuran Soerachman Tjokrodisoerjo berpendapat perlunya menasionalisasikan De Javasche Bank. Pasalnya bank tersebut lebih banyak mengantongi pengalaman sebagai bank sirkulasi.
Sayangnya, terganjal pengakuan bank dunia membuat peran BNI sebagai bank sirkulasi terhambat. Akhirnya bank-bank di daerah memperoleh hak untuk mencetak mata uang sendiri.
Bank Indonesia (BI) akhirnya lahir pada 1953 dan panjang umur hingga sekarang
Belanda yang menolak kemerdekaan Indonesia kemudian mengajukan konferensi di Den Haag pada 1949. Pertemuan yang dikenal dengan sebutan Konferensi Meja Bundar (KMB) itu akhirnya mengakhiri perang Indonesia-Belanda.
Bercermin pada keputusan KMB, pemerintahannya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan seluruh tugas bank sentral dijalankan DJB. Sayangnya, tak berlangsung lama Indonesia kembali berontak dan memutuskan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
DJB yang masih milik swasta kemudian dinasionalisasikan. Presiden DJB Dr. Houwink lalu mengundurkan diri dan diganti Sjafruddin Prawinegara.
19 Juni 1951, Panitia Nasionalisasi DJB dibentuk sekaligus penyusunan rancangan undang-undang bank sentral. Lalu pemerintah membeli saham DJB senilai 99,4% atau 8,9 juta Gulden guna mengambilalih kepemilikannya.
Maka pada 1 Juli 1953, lewat perjuangan panjang, rakyat Indonesia memiliki bank sentral yang sah bernama Bank Indonesia (BI). Tahun ini, BI resmi berusia 60 tahun. (Sis/Igw)
Advertisement