Kecintaan akan batik yang diturunkan secara turun menurun dari keluarga membuat pria bernama lengkap H.A Failasuf menjadi pengusaha batik yang terbilang sukses. Tidak hanya berhasil dalam bisnis yang digelutinya, Failasuf pun mampu menghidupkan kembali industri batik di sekitar tempat tinggalnya.
Dia mengawali bisnis berjualan batiknya ketika masih duduk dibangku kuliah. "Dulu waktu SMA saya sudah suka berdagang. Waktu kuliah saya belajar jualan batik," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta seperti ditulis Jumat (21/2/2014).
Usia lulus kuliah, Failasuf mengaku langsung fokus untuk berbisnis batik. Dia mulai membuka usahanya yang diberi nama Batik Pesisir pada tahun 1999. Dia mendapatkan keahlian membatik dari sang nenek yang diturunkan kepada ibu kemudian kepada dirinya.
Pada awal bisnis batik, Failasuf hanya mempunyai 4 orang perajin. Namun saat ini, dia telah memberdayagunakan 300 perajin batik dalam satu kampung yang diberi nama Kampung Batik, Pekalongan, Jawa Tengah.
"Mulai 2006, Saya bersama teman-teman membentuk yang namanya Kampung Batik, dari empat pengrajin sekarang ada ratusan. Itu menghidupkan kembali perkampungan di Pekalongan. Sebenarnya dari dulu sudah ada namun belum terorganisir dan sistem pemasarannya masih apa adanya," jelasnya.
Dengan demikian, dia juga berhasil menghidupkan kembali Pasar Grosir Pantura yang menurutnya dulu seperti hidup segan mati tak mau. "Sekarang sudah ganti menjadi Grand Grosir Pantura, ini secara otomatis mengangkat ekonomi masyarakat sekitar. Pertokoaan di sana jadi laku, penjual bahan baku juga laku," kata pria lulusan sarjana ekonomi akutansi ini.
Failasuf mengaku tidak pernah menyiapkan modal awal untuk membangun usahanya. Dia hanya mengandalkan keuntungan yang didapatkannya dari berjualan untuk mengembangkan bisnisnya tersebut.
"Selesai kuliah, niat saya memang sudah bulat mau jadi wirausahawan, karena gaji pengusaha itu lebih sbesar dari pada pekerja. Saya tidak punya modal khusus, keuntungan dari menjual barang-barang (batik) orang lain saya manfaatkan untuk mengembangkan usaha," tuturnya.
Menurut Failasuf, banyak perajin batik Indonesia yang mempunyai karya batik yang baik, namun kebanyakan belum mempunyai sistem manajemen yang modern sehingga sulit untuk bersaing dan berkembang.
"Rata-rata perajin memiliki kemampuan membatik dari warisan tradisional orang tua mereka. Saya ingin, meskipun mereka bekerja untuk membuat karya tradisional, tapi saya coba membuat pekerjaan mereka ini menjadi pekerjaan yang profesional," lanjut pria kelahiran 1975 ini.
Dia memproduksi berbagai macam motif batik dalam bentuk kain dan pakaian jadi seperti kemeja. Meksipun tidak hanya sedikit dari produksinya yang dijual secara langsung melalui toko milikinya, namun banyak menyuplai produk-produk tersebut ke pedagang dan toko-toko di Pulau Jawa dan Sumatera.
"Kalau toko milik saya hanya ada satu di Pekalongan, dan satu di Jakarta. Untuk suplainya, terutama ke kota-kota besar seperti Jakarta, Solo Semarang, Yogyakarta, Medan, Padang dan Bali. Sistemnya, mereka pesan dulu, baru kita kirim," katanya.
Harga jual produknya pun beraneka ragam. Untuk kain batik, dijual mulai Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta per meter. Sedangkan pakaian jadi mulai Rp 300 ribu sampai Rp 2 juta. Hal ini tergantung kerumitan dan lamanya waktu pengerjaan dari sebuah motif batik.
"Karena membuat batik itu bisa dibilang mudah, tapi juga sulit. Ada yang butuh waktu setahun baru selesai, karena kerumitannya," lanjutnya.
Dengan bangga, dia menyatakan batik hasil produksinya ini pernah diguna oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono dan beberapa menteri pada jajaran kabinet. Motif yang paling digemari yaitu perpaduan antara motif kuno dan motif moder seperti motif khas Pekalongan dan motif flora fauna.
Kendati batik telah menjadi pakaian nasional dan banyak digunakan pada acara-acara formal dan non-formal bahkan telah dikenal di seluruh dunia, namun dia menyebutkan masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi para perajin batik dalam negeri.
Salat satu kendala terbesar yaitu masih tergantungnya pengrajin Indonesia terhadap bahan baku seperti pewarna serta kain katun dan sutera dari luar negeri, terutama dari China. Dia bahkan menyebutkan, 80% diantaranya merupakan produk impor.
"Kalau bahan baku lokal, kualitasnya masih kurang bagus. Kain lokal contohnya, kalau diwarnai kadang menjadi belang, warnanya tidak menyeluruh. Tapi kita juga sedang mencari cara bagaimana bahan baku lokal ini punya kualitas yang bagus," terangnya.
Impor bahan baku ini dirasakan sangat memberatkan pengusaha batik seperti dirinya saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah, sehingga harga bahan baku impor pun meningkat. "Kalau sudah begitu, mau tidak mau memang harus menaikkan harga jual produk kami, tapi agar tidak terkesan mahal, kami mengimbangi dengan kreativitas motif yang tinggi," tutur Failasuf.
Sebelum usaha berkembang seperti sekarang, dia pun pernah merasakan kesulitan dalam berbisnis, bahkan hingga ditipu ratusan juta rupiah. Namun hal tersebut tidak membuatnya kapok untuk terus menjalankan bisnisnya.
"Jadi mereka membeli barang saya, hanya DP (uang muka) dulu, kemudian barangnya diambil semua, tetapi setelah itu tidak membayarkan pelunasannya. Itu sering saya alami, nilainya mulai dari Rp 10 juta sampai Rp 100 juta, tapi saya tidak pernah kapok. Saya rasa dalam bisnis, hal semacam itu wajar terjadi," tegasnya.
Walaupun belum menjual produk batiknya keluar negeri, namun dirinya sering mengikuti pameran di negara lain seperti Jepang, Malaysia dan Dubai. Kedepan dia berharap produk batiknya tersebut mampu menembus pasar internasional sehingga produk batik asal Pekalongan semakin menggeliat. (Dny/Ndw)
Dia mengawali bisnis berjualan batiknya ketika masih duduk dibangku kuliah. "Dulu waktu SMA saya sudah suka berdagang. Waktu kuliah saya belajar jualan batik," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta seperti ditulis Jumat (21/2/2014).
Usia lulus kuliah, Failasuf mengaku langsung fokus untuk berbisnis batik. Dia mulai membuka usahanya yang diberi nama Batik Pesisir pada tahun 1999. Dia mendapatkan keahlian membatik dari sang nenek yang diturunkan kepada ibu kemudian kepada dirinya.
Pada awal bisnis batik, Failasuf hanya mempunyai 4 orang perajin. Namun saat ini, dia telah memberdayagunakan 300 perajin batik dalam satu kampung yang diberi nama Kampung Batik, Pekalongan, Jawa Tengah.
"Mulai 2006, Saya bersama teman-teman membentuk yang namanya Kampung Batik, dari empat pengrajin sekarang ada ratusan. Itu menghidupkan kembali perkampungan di Pekalongan. Sebenarnya dari dulu sudah ada namun belum terorganisir dan sistem pemasarannya masih apa adanya," jelasnya.
Dengan demikian, dia juga berhasil menghidupkan kembali Pasar Grosir Pantura yang menurutnya dulu seperti hidup segan mati tak mau. "Sekarang sudah ganti menjadi Grand Grosir Pantura, ini secara otomatis mengangkat ekonomi masyarakat sekitar. Pertokoaan di sana jadi laku, penjual bahan baku juga laku," kata pria lulusan sarjana ekonomi akutansi ini.
Failasuf mengaku tidak pernah menyiapkan modal awal untuk membangun usahanya. Dia hanya mengandalkan keuntungan yang didapatkannya dari berjualan untuk mengembangkan bisnisnya tersebut.
"Selesai kuliah, niat saya memang sudah bulat mau jadi wirausahawan, karena gaji pengusaha itu lebih sbesar dari pada pekerja. Saya tidak punya modal khusus, keuntungan dari menjual barang-barang (batik) orang lain saya manfaatkan untuk mengembangkan usaha," tuturnya.
Menurut Failasuf, banyak perajin batik Indonesia yang mempunyai karya batik yang baik, namun kebanyakan belum mempunyai sistem manajemen yang modern sehingga sulit untuk bersaing dan berkembang.
"Rata-rata perajin memiliki kemampuan membatik dari warisan tradisional orang tua mereka. Saya ingin, meskipun mereka bekerja untuk membuat karya tradisional, tapi saya coba membuat pekerjaan mereka ini menjadi pekerjaan yang profesional," lanjut pria kelahiran 1975 ini.
Dia memproduksi berbagai macam motif batik dalam bentuk kain dan pakaian jadi seperti kemeja. Meksipun tidak hanya sedikit dari produksinya yang dijual secara langsung melalui toko milikinya, namun banyak menyuplai produk-produk tersebut ke pedagang dan toko-toko di Pulau Jawa dan Sumatera.
"Kalau toko milik saya hanya ada satu di Pekalongan, dan satu di Jakarta. Untuk suplainya, terutama ke kota-kota besar seperti Jakarta, Solo Semarang, Yogyakarta, Medan, Padang dan Bali. Sistemnya, mereka pesan dulu, baru kita kirim," katanya.
Harga jual produknya pun beraneka ragam. Untuk kain batik, dijual mulai Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta per meter. Sedangkan pakaian jadi mulai Rp 300 ribu sampai Rp 2 juta. Hal ini tergantung kerumitan dan lamanya waktu pengerjaan dari sebuah motif batik.
"Karena membuat batik itu bisa dibilang mudah, tapi juga sulit. Ada yang butuh waktu setahun baru selesai, karena kerumitannya," lanjutnya.
Dengan bangga, dia menyatakan batik hasil produksinya ini pernah diguna oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono dan beberapa menteri pada jajaran kabinet. Motif yang paling digemari yaitu perpaduan antara motif kuno dan motif moder seperti motif khas Pekalongan dan motif flora fauna.
Kendati batik telah menjadi pakaian nasional dan banyak digunakan pada acara-acara formal dan non-formal bahkan telah dikenal di seluruh dunia, namun dia menyebutkan masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi para perajin batik dalam negeri.
Salat satu kendala terbesar yaitu masih tergantungnya pengrajin Indonesia terhadap bahan baku seperti pewarna serta kain katun dan sutera dari luar negeri, terutama dari China. Dia bahkan menyebutkan, 80% diantaranya merupakan produk impor.
"Kalau bahan baku lokal, kualitasnya masih kurang bagus. Kain lokal contohnya, kalau diwarnai kadang menjadi belang, warnanya tidak menyeluruh. Tapi kita juga sedang mencari cara bagaimana bahan baku lokal ini punya kualitas yang bagus," terangnya.
Impor bahan baku ini dirasakan sangat memberatkan pengusaha batik seperti dirinya saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah, sehingga harga bahan baku impor pun meningkat. "Kalau sudah begitu, mau tidak mau memang harus menaikkan harga jual produk kami, tapi agar tidak terkesan mahal, kami mengimbangi dengan kreativitas motif yang tinggi," tutur Failasuf.
Sebelum usaha berkembang seperti sekarang, dia pun pernah merasakan kesulitan dalam berbisnis, bahkan hingga ditipu ratusan juta rupiah. Namun hal tersebut tidak membuatnya kapok untuk terus menjalankan bisnisnya.
"Jadi mereka membeli barang saya, hanya DP (uang muka) dulu, kemudian barangnya diambil semua, tetapi setelah itu tidak membayarkan pelunasannya. Itu sering saya alami, nilainya mulai dari Rp 10 juta sampai Rp 100 juta, tapi saya tidak pernah kapok. Saya rasa dalam bisnis, hal semacam itu wajar terjadi," tegasnya.
Walaupun belum menjual produk batiknya keluar negeri, namun dirinya sering mengikuti pameran di negara lain seperti Jepang, Malaysia dan Dubai. Kedepan dia berharap produk batiknya tersebut mampu menembus pasar internasional sehingga produk batik asal Pekalongan semakin menggeliat. (Dny/Ndw)