[KOLOM] Pizarro, Legenda Baru Setara Maradona

Mengapa striker Werder Bremen ini disetarakan dengan Maradona? Simak ulasannya di kolom Asep Ginanjar.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Mar 2016, 08:30 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2016, 08:30 WIB
  Asep Ginanjar
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Mister Chip. Bagi Anda yang mengikuti informasi sepak bola, terutama soal statistik, di media sosial Twitter, nama ini tentu sudah tak asing. Kerap kali dia datang dengan data‐data yang mengejutkan dan tak diketahui banyak orang. Sungguh luar biasa.

Baca Juga

  • Intip Video Gol Fantastis Messi di Usia 8 Tahun
  • Ban Pilihan Rio Haryanto untuk Debut di Australia
  • Petenis Terbaik Dunia Sedih Lihat Maria Sharapova

Salah satunya tentu saja sesaat setelah Barcelona menaklukkan AC Milan dengan skor 4‐0 pada leg II perdelapan final Liga Champions 2012‐13. Ketika banyak orang membicarakan soal keberhasilan El Barca comeback dari kekalahan 0‐2 di leg I, Mister Chip justru menyorongkan sebuah data berbeda.

Melalui akunnya, @2010MisterChip, dia mengungkapkan hubungan unik antara hasil akhir laga Blaugrana dan pemilihan paus, pemimpin tertinggi agama Katolik, di Vatikan. “Tiga laga resmi El Barca saat pemilihan paus: 4‐0 vs Madrid (26.10.58), 4‐0 vs Las Palmas (14.10.78), 4‐0 vs Milan (12.03.13).”

Tak bisa dimungkiri, data itu sangat unik dan menarik. Retweet sebanyak 5.841 kali dan like dari 636 akun membuktikan hal tersebut. Di dalam arus informasi yang tak terkendali dan datang bak air bah, data‐data seperti inilah yang mampu membuat orang berhenti dan berkata, “Oh, ya?”

Aksi bintang Barcelona, Lionel Messi (tengah) saat berusaha melewati adangan pemain Eibar, Aleksander Pantic (kanan), pada  lanjutan La Liga 2015-2016, di Stadium Ipurua, kota Eibar, Minggu (6/3/2016) malam WIB. Messi mencetak dua gol dan membawa trio MSN

Sosok di belakang Mister Chip adalah Alexis Martin Tamayo, seorang pria Spanyol berumur 42 tahun. Berkat cuitan‐cuitannya yang "bergizi", dia menjadi selebritis di dunia maya. Di Twitter saja, follower‐nya sudah melewati angka 1,5 juta akun.

Tentu saja Alexis bukan orang sembarangan. Dia sudah bergelut dengan data statistik olahraga selama 16 tahun. Tepatnya sejak bergabung sebagai pegawai paruh waktu harian olahraga As. Berbekal keahliannya itu, kini Alexis menjadi semacam rujukan bagi para penggila statistik, terutama sepak bola.

Tak Perlu Jadi Messi

Pada 3 Maret silam, Mister Chip membuat sebuah cuitan menarik. Saat Claudio Pizarro mencetak gol yang membawa SV Werder Bremen unggul 2‐0 atas Bayer Leverkusen, dia mencuit, “Dari planet mana kamu berasal, @pizarrinha!!! 9 gol dalam 10 laga terakhirnya pada umur 37 tahun. BRUTAL”

“Dari planet mana kamu berasal?” adalah ungkapan istimewa. Kata-kata itulah yang dilontarkan Victor Hugo Morales, reporter asal Uruguay, saat melaporkan gol kedua Diego Maradona ke gawang Inggris pada perempat final Piala Dunia 1986. Karena golnya dicetak dengan menggiring bola dari wilayah permainan sendiri dan melewati banyak pemain lawan, Maradona bagi Morales adalah alien.

Kesamaan ungkapan kekaguman itu ditangkap laman Radio Programas del Peru, rpp.pe, menjadi berita dengan judul, “Claudio Pizarro: Mister Chip Menyamakan dia dengan Maradona Lewat Ungkapan Ini”.

Terkesan berlebihan, namun begitulah kebanggaan orang Peru terhadap Pizarro. Kita di Indonesia pun pasti akan sangat bombastis bila ada sosok dari negeri ini yang mampu menjulang seperti El Bombardero de los Andes.

Claudio Pizarro saat bombardir gawang Bayer Leverkusen (REUTERS/Wolfgang Rattay )

Akan tetapi, benarkah Pizarro sehebat Maradona? Bukankah dia tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dua "alien" saat ini, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo?

Messi dan Ronaldo memang bukan tandingan Pizarro. Mereka jauh lebih gemerlap, sukses, tajam, hebat, dan lebih terkenal ketimbang Pizarro.

Bagi mereka, trofi Ballon d'Or dan mencetak 20 gol dalam semusim di kompetisi domestik adalah hal biasa. Adapun Pizarro, jangankan trofi Ballon d'Or, mencetak 20 gol dalam semusim pun tak pernah bisa.

Legenda sepak bola Argentina, Diego Maradona. (AFP/Luis Acosta)

Meski demikian, tak perlu menjadi Messi atau Ronaldo untuk menjadi legenda seperti halnya Maradona. Seperti diungkapkan motivator asal Mesir, M. Farouk Radwan, di laman 2knowmyself.com, ada dua hal yang diperlukan untuk menjadi legenda. Menjadi yang terhebat dan terbaik bukan salah satunya.

“Seseorang menjadi legenda ketika melakukan sesuatu yang luar biasa atau menciptakan kisah hidup yang membuat orang‐orang yang mendengarnya terinspirasi,” kata Radwan. “Anda tak perlu menjadi pahlawan super atau menaklukkan dunia untuk menjadi legenda. Anda hanya perlu menginspirasi orang lain.”

Legenda Paripurna

Pizarro memenuhi kedua syarat tersebut. Sepanjang berkiprah di Bundesliga, pelbagai rekor ditorehkannya. Mulai dari pemain asing dengan penampilan terbanyak, pemain asing tersubur, pemain asing tersukses, hingga pencetak hat-trick tertua pada 3 Maret lalu itu.

Berkat torehan tiga gol ke gawang Leverkusen, Pizarro melewati Manfred Burgsmüller yang berumur 36 tahun 7 bulan saat mencetak tiga gol dalam laga Bremen kontra 1.FC Nürnberg pada 9 Agustus 1986.

Rekor itu bukan hanya istimewa dan luar biasa, melainkan juga inspiratif. Pizarro menunjukkan bahwa umur bukanlah hambatan untuk berprestasi. Asalkan mampu memanfaatkan kesempatan dan kepercayaan yang diberikan, prestasi gemilang bukan kemustahilan.

Bagi Pizarro, umur memang bukanlah masalah. “Itu hanyalah angka dan tidak memiliki arti yang sama bagi semua orang. Setiap orang menjalani hidup masing-masing. Saya menjalani hidup saya sendiri. Jadi, saya bisa katakan, saya tidak merasa 37 tahun. Saya merasa seperti Claudio Pizarro,” kata dia dalam wawancara dengan 11Freunde.

"Di Jerman, banyak orang berumur 50 tahun dengan tubuh sebugar orang yang baru 25 tahun."

Claudio Pizarro saat bombardir gawang Bayer Leverkusen (REUTERS/Wolfgang Rattay )

Tentu saja Pizarro bekerja keras untuk mencapai tingkat kebugaran bagai anak muda itu. Salah satunya, dia menerapkan diet khusus dari ahli nutrisi Giuliano Poser yang juga menangani Messi. Di daftar makanannya kini tak ada lagi piza, cokelat, pasta, roti putih, kentang, tomat, terung, dan susu sapi.

Ini jadi inspirasi lain. Pizarro membuktikan bahwa tekad kuat untuk mencapai sesuatu harus dibarengi upaya nyata. Antara kepala dan tubuh harus berada dalam kesesuaian dan keselarasan.

“Ketika otot mengatakan, ‘Saya butuh istirahat,’ maka saya pun harus berhenti sejenak,” ungkap pemain yang sempat bergabung dengan Chelsea itu. "Terpenting, kepala (pikiran) saya selalu fit."

Inspirasi dan langkah luar biasa itu tentu saja belumlah usai. Beberapa rekor masih bisa digapai sang legenda dalam umur yang sudah uzur. Setidaknya ada tiga rekor yang masih bisa dipecahkannya.

Di Bremen, Pizarro hanya berselisih satu gol dari Frank Neubarth sebagai pemain tersubur dengan torehan 141 gol. Satu gol pula yang membedakan dia dengan Marco Bode yang tercatat sebagai pemain Bremen tersubur di Bundesliga dengan koleksi 101 gol.

Claudio Pizarro (CARMEN JASPERSEN / DPA / AFP)Sementara itu, di Bundesliga, Pizarro masih berpeluang menjadi supersub tersubur. Dari 187 gol yang sudah dibuatnya hingga sekarang, 15 di antaranya dicetak saat berstatus pemain pengganti. Itu hanya terpaut tiga gol dari sang pemegang rekor, Alexander Zickler, yang membukukan 18 gol.

Tentu akan jadi kenangan tersendiri bila rekor Neubarth dan Bode bisa disamai Pizarro di Allianz Arena milik Bayern München pada pekan ini. Bagaimanapun, tak ada yang lebih indah dari menyamai atau memecahkan rekor saat menghadapi mantan klub yang dikawal salah satu kiper terbaik dunia.

*Penulis adalah pemerhati sepak bola yang kerap jadi komentator di beberapa stasiun televisi nasional. Penulis juga pernah bekerja jadi jurnalis di Tabloid Soccer.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya