Liputan6.com, Jakarta - Jenius. Begitu tergila-gila pada taktik dan tak segan mengundang pemain datang ke kantornya tengah malam hanya untuk berbicara soal rancangan permainan tertentu. Begitulah Josep Guardiola. Setelah Johan Cruyff, sepertinya hanya pria kelahiran Santpedor ini yang demikian revolusioner di sepak bola.
Baca Juga
Rasanya hanya segelintir orang yang akan menyanggah bahwa Guardiola adalah pelatih terbaik di muka bumi saat ini. Sebagian di antaranya tentu para jurnalis olahraga Jerman yang dalam tiga tahun, dari 2014 hingga 2016, tak sekali pun menahbiskannya sebagai Trainer des Jahres (pelatih terbaik). Padahal, sederet trofi dan rekor ditorehkannya bersama Bayern München.
Dengan kegeniusan dan kesuksesannya itu, Guardiola bak seorang nabi. Umatnya tersebar di delapan penjuru mata angin. Ke mana pun dia pergi, hanya ada cinta dan kekaguman yang menyambutnya sejak menginjakkan kaki pertama kali. Di mazhabnya, orang-orang berdesakan demi mendapat pencerahan guna menjadi umat mulia, pemuja sepak bola indah, sepak bola yang seharusnya.
Begitu agungnya Guardiola, sampai-sampai setiap pelatih baru, apalagi yang memang high profile, pasti akan dibanding-bandingkan, diharapkan menapaki jejaknya. Padahal, Tuhan tidak pernah menciptakan dua hal yang identik. Bahkan sepasang orang kembar pun sejatinya tidak benar-benar sama.
Advertisement
Kerikuhan itu dirasakan Zinedine Zidane saat resmi ditunjuk menggantikan Rafael Benitez sebagai entrenador Real Madrid pada awal Januari 2016. Banyak orang berharap dia menjadi Guardiola baru. Apalagi, saat menjadi pemain, Zidane adalah seorang genius yang kerap membius dengan aksi-aksi menawannya di lapangan hijau.
“Jangan bandingkan saya dengan Guardiola. Dia sudah meraih banyak hal luar biasa. Guardiola adalah pelatih fantastis dan melakukan hal yang begitu mengesankan,” jelas Zidane. “Guardiola adalah Guardiola. Saya akan coba melakukan hal terbaik. Saya tak akan membandingkan diri dengan orang lain. Saya tak pernah melakukan hal itu sebagai pemain dan sekarang pun tak akan melakukannya.”
Perkataan Zidane terkesan naif. Namun, bila ditelaah lebih jauh, itu adalah strategi menjauh dari ekspektasi yang terlalu tinggi. Coach Zizou tahu, menjalani hidup seperti Guardiola tidaklah mudah. Sulit menemukan ketenangan. Setiap saat, para jurnalis dan analis selalu mengutak-atik taktik yang digunakannya. Saat menang, puja-puji akan berhamburan. Namun, begitu tim menukik sedikit saja, pena-pena tajam akan datang tanpa ampun.
Sembunyikan Peluru
Setidaknya, dengan begitu, Zizou bisa menjalani kiprah awalnya sebagai pelatih profesional dengan lebih damai. Para jurnalis tak punya peluru untuk menembaknya. Lagi pula, memang tak ada yang perlu dikorek-korek terlalu dalam soal filosofi dan gaya main yang diusungnya. Dia tidak revolusioner. Tak ada kode-kode tertentu nan rumit di sakunya.
Di Madrid, Coach Zizou tetap memakai pola yang sebelumnya diusung Benitez dan Carlo Ancelotti. Dia tetap mengandalkan trio BBC (Bale, Benzema, Cristiano) dalam menggedor pertahanan lawan. Zidane hanya mengembalikan keseimbangan tim dengan mempertegas fungsi dan pergerakan pemain di lapangan.
Maka tak heran bila anggapan umum yang muncul setelah keberhasilan Madrid menjuarai Liga Champions dengan menggebuk Atletico Madrid, Mei lalu, hanyalah soal karisma dan keberuntungan. Apalagi hal pertama yang selalu meluncur dari mulut para penggawa Los Blancos tentang Zidane pasti soal kedekatan dan keakrabannya dengan mereka.
Aroma keberuntungan memang begitu kental dalam kiprah Coach Zizou sebagai entrenador Los Blancos. Dalam 53 laga, 13 kali Madrid diselamatkan oleh gol-gol yang dicetak pada sepuluh menit terakhir. Bahkan, dua kali mereka membalikkan keadaan dengan dua gol pada masa itu. Pertama, saat menang 2-1 atas Sporting Clube di Liga Champions. Kedua, kala menaklukkan Deportivo La Coruna 3-2 di La Liga. Sampai-sampai, Sergi Roberto, penggawa Barcelona, menuding Madrid memiliki jimat sakti.
Hal lain yang membuat sentuhan Zidane seolah biasa-biasa saja adalah begitu jarangnya Madrid clean sheet. Dari 53 pertandingan, hanya 17 kali mereka tak kebobolan oleh lawan. Itu hanya 32 persen dari total laga. Jumlah yang terlampau sedikit bagi sebuah tim papan atas Eropa.
Jikapun ada yang menilai Zizou punya kelebihan soal taktik, dialah Jorge Jesus. Sayangnya, pelatih Sporting Clube tersebut tak mau menjelaskan detail kecemerlangan eks peraih Ballon d'Or itu. Jesus hanya berujar, “Dalam hal taktik, Madrid di bawah Zidane melakukan beberapa hal yang sangat menarik.”
Zizou tak ambil pusing hanya dipandang sebelah mata. Baginya, hal terpenting adalah mendulang kemenangan demi kemenangan. Tak masalah bila itu dianggap hanya keberuntungan. Tak masalah pula jika kesuksesannya sebagai pelatih hanya dianggap berkat aura dan karismanya.
Zidane malah menikmati hal itu. Dia tak segan-segan mengaku sebagai anak peruntungan nasib, anak terkasih Fortuna, sang dewi keberuntungan. “Saya memang punya bintang keberuntungan. Saya selalu meyakini hal itu saat sebagai pemain. Sekarang, saya memiliki begitu banyak keberuntungan dalam menjalani semuanya dan saya akan menikmatinya sebisa mungkin,” terang pria yang mulai melesat saat memperkuat Girondins Bordeaux itu.
Advertisement
Menuju Pelatih Terbesar
Zizou mengingatkan pada Franz Beckenbauer yang di Jerman memang diakui sebagai Glueckskind, The Lucky Child. Beckenbauer bukan Cruyff yang genius dan revolusioner, tapi Beckenbauer lebih beruntung dari Cruyff. Beckenbauer juara Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih. Dia juga juara Bundesliga sebagai pemain, pelatih, dan presiden klub. Seperti Zidane, Beckenbauer tidak dikenal oleh kelihaiannya meracik taktik.
Keberuntungan memang bagian integral dari setiap keberhasilan. Itu selalu ada dalam kemenangan yang diraih siapa pun. Terlalu sombong bila ada yang menganggap kemenangan dan kesuksesan hanya berkat kepandaian dan kekuatan diri. Bagaimanapun, selalu ada faktor-faktor di luar kuasa yang ikut berperan.
Akan tetapi, tetap sulit memercayai sebuah tim terhindar dari kekalahan, meraih kemenangan demi kemenangan, dan merebut trofi demi trofi hanya karena belas kasih Fortuna. Sentuhan Zidane juga pasti berperan dalam kedigdayaan Los Blancos sepanjang 2016.
Gol-gol pada sepuluh menit terakhir laga memang kerap menyelamatkan Los Blancos. Namun, bila ditelusur, mereka memang terbiasa mencetak gol pada periode tersebut. Sekitar 20 persen dari 155 gol Madrid dicetak antara menit ke-81 hingga 90. Itu tak terlepas dari taktik Zizou yang tak memaksakan Madrid melakukan pressing dengan intensitas tinggi. Dia memegang prinsip, permainan berlangsung selama 90 menit. Oleh karena itu, timnya harus menghemat tenaga agar tetap kuat bermain hingga akhir.
Dan memang terlalu besar prestasi Madrid bila hanya murni berkat keberuntungan. Bersama Zidane, Los Blancos telah merebut trofi Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Klub. Jumlah trofi itu bahkan lebih banyak dari kekalahan di ajang resmi sejak Madrid ditangani Zizou.
Dari 5 Januari 2016, hanya Atletico dan VfL Wolfsburg yang sanggup mengalahkan Madrid. Total, dalam 53 laga yang dijalani Madrid di pelbagai ajang, Zizou meraup 41 kemenangan, 10 kali imbang, dan hanya dua kali kalah. Rerata poinnya adalah 2,51 per laga. Itu rerata poin tertinggi di antara para pelatih yang menangani Madrid dalam setidaknya 40 pertandingan.
Di La Liga, pada akhir November lalu, Zidane secara diam-diam melewati para pelatih hebat. Dalam 33 laga awal yang dilakoninya di kompetisi terelite Spanyol, dia meraup 86 poin. Itu melebihi Miguel Munoz yang hanya mengumpulkan 84 poin, Guardiola (82), dan Jose Mourinho (80).
Tak hanya itu, pada 10 Desember silam, Zizou membawa Ramos cs. mematahkan rekor klub dengan tak terkalahkan dalam 35 pertandingan secara beruntun di semua ajang. Itu melewati rekor lama, tak terkalahkan dalam 34 laga, yang dibukukan bersama Leo Beenhakker pada 1988-89. Ditambah dua kemenangan di Piala Dunia Antarklub, pasukan Zidane kini hanya terpaut dua laga tanpa kekalahan dari rekor nasional yang dibukukan Barcelona pada musim lalu.
Apakah itu semua hanya berkat karisma, nasib baik, dan jimat sakti? Tentu saja tidak. Namun, bilapun nasib nanti menuntunnya jadi pelatih terbesar dalam sejarah Madrid dan La Liga, Zidane sepertinya tak akan keberatan bila tetap disebut The Lucky Child ataupun anak terkasih Fortuna. Bagaimanapun, seperti kata pepatah Jawa, wong bodho kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bedjo.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola dunia. Tanggapi kolom ini @seppginz.