KOLOM: Menanti Anomali Ala MU

MU pernah juara di musim 1995/96 meski tertinggal 9 poin hingga pekan ke-23.

oleh Liputan6 diperbarui 03 Feb 2017, 08:00 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2017, 08:00 WIB
kolom bola  Asep Ginanjar
Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Jangan pernah berhenti berjalan bila belum tiba di tujuan. Jangan pernah putus pengharapan jika masih ada kesempatan. Jangan pernah menepi dan menyerah saat garis finis belum diinjak.

Ada ekspresi yang meluap dari Jurgen Klopp di pinggir lapangan sesaat setelah Simon Mignolet menepis penalti striker Chelsea, Diego Costa, di Anfield, Rabu (1/2) dinihari WIB. Pelatih Liverpool asal Jerman itu bahkan berteriak tepat di depan muka ofisial keempat, "Tak ada yang bisa mengalahkan kami!"

Usai laga kontra Chelsea yang berkesudahan 1-1 itu, Klopp pun tak ragu mengumbar optimisme dalam memburu gelar juara Premier League. Tertinggal 10 poin dari The Blues yang berada di puncak klasemen tak lantas membuat dia pesimistis. "Santai saja. Hingga saat ini, belum ada yang dipastikan (juara) dan kami masih berpeluang," kata dia.

Sikap yang sama ditunjukkan Josep Guardiola. Menanggapi anggapan media massa bahwa Manchester City sudah menyerah, dia berujar, "Saya tidak akan pernah menyerah dalam memburu piala. Tidak akan pernah! Memang akan sulit, tapi itu tak membuat saya cemas."

Jurgen Klopp mengaku berbicara pada wasit cadangan. (PAUL ELLIS / AFP)

Baik Klopp maupun Guardiola berpijak pada realitas dan hitung-hitungan poin. Premier League baru melewati 23 pekan. Masih ada 15 laga tersisa. Artinya, masih ada 45 poin yang bisa dikumpulkan. Itu cukup untuk menutup defisit 10 poin yang saat ini dialami kedua klub dari Chelsea.

Lagi pula, merebut trofi dari posisi tertinggal cukup jauh bukanlah kemustahilan di Premier League. Manchester United  (MU) pernah melakukan itu pada musim 1995-96.

Musim itu, Red Devils tertinggal sembilan poin dari Newcastle United saat kompetisi menyelesaikan 23 pekan. Namun, berkat performa lebih baik pada paruh kedua, terutama pekan-pekan terakhir, mereka akhirnya juara dengan keunggulan empat angka.

Meruntuhkan Mental

Sir Alex Ferguson
Alex Ferguson sangat pintar memancing emosi lawan

Perjalanan epik menuju podium juara itu termasuk bahasan dalam buku Prof. Damian Hughes, "How to Think Like Sir Alex Ferguson: The Business of Winning and Managing Success".

Kunci keberhasilan Man. United kala itu, menurut Hughes, tak terlepas dari kejelian Sir Alex melihat ketegangan yang menghinggapi kubu The Magpies. Setelah memetik kemenangan atas sang pemimpin klasemen di St. James' Park pada awal Maret 1996, Sir Alex lantas melancarkan perang urat syaraf begitu Roy Keane cs. menaklukkan Leeds United.

Di ujung konferensi pers usai laga yang susah payah dimenangi 1-0 meski lawan bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-16 itu, Sir Alex berkata, "Saya berharap Leeds akan menunjukkan determinasi yang sama ketika menghadapi Newcastle di Elland Road, dua belas hari mendatang."

Kata-kata Sir Alex memang soal Leeds. Namun, sesungguhnya, itu sindiran bagi klub-klub lain yang dianggapnya tampil total saat menghadapi Red Devils, tapi tak terlalu ngotot ketika menghadapi lawan yang lain. Dia berharap klub-klub itu menunjukkan determinasi tak kalah tinggi saat melawan Newcastle. Hasilnya, Arsenal, Liverpool, dan Aston Villa sanggup mencuri poin penuh dari The Magpies.

Kevin Keegan sempat dibuat keki Alex Ferguson

Newcastle memang memetik kemenangan dalam lawatan ke Elland Road berkat gol tunggal Keith Gillespie. Namun, reaksi emosional manajer Kevin Keegan di depan kamera Sky usai pertandingan menunjukkan kegugupan yang menghinggapi The Magpies.

"Setidaknya, entah secara sengaja atau tidak, keberhasilan Ferguson adalah meruntuhkan mental rival terbesar mereka musim itu. Dia secara kejam menunjukkan betapa rapuh emosi Keegan. Di titik itu, semua orang termasuk para pemain Newcastle tahu, United sudah juara," ulas Hughes.

Hal lain yang tak bisa dimungkiri, Man. United juga sangat mesra dengan Dewi Fortuna. Dalam tujuh laga dari partai melawan Newcastle pada pekan ke-29, lima kali Red Devils menang 1-0 yang empat di antaranya berkat gol Eric Cantona, "serial killer" yang tak absen mencetak gol dari pekan ke-31 hingga 35.

Angin untuk Chelsea

Antonio Conte
Manajer Chelsea Antonio Conte puas bisa meraih satu poin lawan Liverpool. (AP Photo/Dave Thompson)

Jejak Man. United tersebut tentu jadi pijakan bagi Klopp dan Guardiola untuk tetap optimistis. Masalahnya kemudian, Chelsea tidak gugup, manajer Antonio Conte pun tidak rapuh. Tengok saja komentar allenatore asal Italia itu sesudah partai melawan Liverpool.

"Hal terpenting adalah melihat posisi kami sendiri, bukan malah menengok posisi orang lain," ungkap Conte. "Kami masih memuncaki klasemen ... Sangat penting bagi kami untuk tetap fokus pada diri sendiri."

Saat ini pun, justru Chelsea yang selalu dinaungi Dewi Fortuna. Di Anfield, dalam hal permainan, The Blues sebetulnya inferior. Dari penguasaan bola hingga jumlah tembakan yang dilepaskan, Liverpool unggul. Permainan anak-anak asuh Conte pun terbilang kacau. Mereka dipaksa bertahan dan umpan-umpan mereka kerap "nyangkut" di kaki lawan. Tapi, justru The Blues yang bisa mencetak gol lebih dulu. Bahkan, andai eksekusi Costa sukses, Chelsea bisa pulang dengan poin penuh.

Lalu, belakangan ini, setiap kali The Blues gagal menuai angka penuh, para rival terdekat gagal memanfaatkan keadaan. Saat Chelsea ditahan Liverpool, dua rival terdekat dari London Utara juga gagal menuai kemenangan. Tottenham Hotspur diimbangi Sunderland, sementara Arsenal justru kalah dari Watford. Itu membuat Chelsea masih unggul sembilan poin dari kedua klub itu.

Selebrasi Antonio Conte dan para pemain usai Chelsea menaklukkan Leicester City 3-0. (AP Photo/Rui Vieira)

Tiga pekan sebelumnya, kala The Blues kalah 0-2 dari Spurs, Liverpool yang berada di posisi kedua dan bermodal empat kemenangan beruntun malah ditahan imbang Sunderland. Alhasil, keunggulan Chelsea tak terpangkas banyak. Apalagi, setelah itu, The Reds malah seperti dijauhi keberuntungan. Mereka tak jua menemukan cara menaklukkan lawan. Bahkan, Liverpool sempat kalah 2-3 dari Swansea City.

Akhir pekan ini, jelang laga yang tak kalah krusial menghadapi Arsenal, The Blues lagi-lagi diuntungkan. Di Stamford Bridge, Arsenal masih belum bisa didampingi manajer Arsene Wenger yang menjalani hukuman empat kali tak boleh berada di technical area. Wenger boleh saja berkilah hukuman itu tak berpengaruh terhadap timnya. Namun, tetap saja berbeda ketika hanya asisten Steve Bould yang berada di pinggir lapangan.

Selain itu, lini tengah The Gunners pincang. Cedera yang didapatkan Aaron Ramsey saat melawan Watford membuat Arsenal kekurangan gelandang tengah. Tinggal Francis Coquelin dan Alex Oxlade-Chamberlain yang tersisa karena Santi Cazorla juga belum pulih dari cedera. Adapun Mohamed Elneny masih membela timnas Mesir di Piala Afrika, sedangkan Granit Xhaka tengah menjalani sanksi empat laga karena mendapatkan kartu merah kedua saat melawan Burnley.

Para pemain Arsenal terlihat kecewa usai kalah dari Watord pada lanjutan Premier League di Emirates stadium, London, Selasa (31/1/2017). Arsenal kalah 1-2. (AP/Frank Augstein)

Andai nanti berhasil menaklukkan Arsenal, rasanya tak salah bila Chelsea mulai menyiapkan pesta untuk akhir musim. Apalagi, faktanya, sejak 2003-04, pemuncak klasemen pekan ke-23 selalu mengakhiri musim sebagai kampiun. Sepanjang era Premier League pun hanya Man. United dan Arsenal yang mampu juara meski tertinggal saat menyelesaikan 23 pertandingan.

*Penulis adalah pengamat dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya