Liputan6.com, Jakarta - Roberto Baggio hanya bisa tertunduk lesu di kotak penalti. Dia sepertinya tidak habis pikir mengapa tendangan penaltinya bisa melambung jauh di atas mistar gawang yang dikawal kiper Brasil, Claudio Taffarel.
Saat itu, 17 Juli 1994, Roberto Baggio menjadi penendang penalti terakhir Italia pada laga final melawan Brasil di Stadion Rose Bowl, Amerika Serikat. Kegagalan pemain bernomor 10 itu membuat Italia kalah 2-3 dari Brasil dalam adu penalti.
Advertisement
Baca Juga
Baggio merupakan langganan eksekutor penalti untuk setiap tim yang dibelanya. Dia dikenal jarang meleset jika mengeksekusi tendangan 12 pas. Tak salah jika Baggio menjadi eksekutor penlati yang handal, termasuk untuk timnas Italia.
Tapi, nasib saat itu berkehendak lain. Bukan hanya Baggio yang gagal menjalankan tugasnya. Sang kapten Franco Baresi dan Daniele Massaro pun juga gagal. Namun, Pemain Terbaik FIFA 1993 itu merasa yang paling berdosa.
"Kegagalan penalti di Final Piala Dunia 1994 adalah momen terburuk saya. Jika saya bisa menghapus momen dalam karier saya, maka itu mungkin menjadi salah satu bagian yang akan saya hapus," kata Baggio dalam buku biografinya..
Roberto Baggio merasa dia pantas disalahkan dalam kegagalan Italia. Kegemilangan pemain yang dikenal dengan rambut kuncir kuda itu membawa Italia ke final dengan aksinya seolah terhapus begitu saja.
"Itu luka yang tidak pernah sembuh. Saya selalu bermimpi main di final Piala Dunia melawan Brasil. Tetapi kenyataannya, saya gagal mengeksekusi penalti," ucap Roberto Baggio.
Minta Dibunuh
Roberto Baggio mengajukan satu permintaan yang sangat tidak masuk akal kepada ibunya. "Saya mengatakan kepada ibu saya untuk membunuh saya," kata Baggio kepada Corriere dello Sport, salah satu media olahraga di Italia.
Saat itu, Baggio sangat begitu rapuh. Selain itu, dia juga masih muda, 19 tahun. Sebanyak 220 jahitan ada di sekitar lututnya, yang didapatnya beberapa hari setelah pertandingan debutnya bersama Fiorentina pada September 1986.
Cedera lutut itu membuat Baggio harus menepi hingga Liga Serie A Italia musim 1986/1987 berakhir. Wajar, jika dia saat itu nyaris putus asa. Namun, permintaannya tak dituruti sang ibu. Justru, sang ibu terus menyemangati putranya dalam masa rehabilitasi.
Baggio ternyata sembuh lebih cepat. Dia kemudian bisa memperkuat Fiorentina menghadapi Napoli, kandidat kuat juara. Pada laga itu, Baggio tampil hebat, seolah seperti seorang pemain yang tak pernah mengalami cedera parah.
Tak hanya itu, dia bahkan mencetak gol indah melalui tendangan bebas yang membuat laga berakhir 1-1. Gol penyeimbang itu sekaligus menyelamatkan Fiorentina dari degradasi ke Serie B.
Fans Napoli boleh saja berpesta pada hari itu karena memenangi Scudetto Serie A. Akan tetapi, tanpa sadar mereka juga turut merayakan kehadiran Roberto Baggio, calon bintang baru sepak bola Italia.
Advertisement
Dicintai Publik Italia
Kecintaan publik Italia terhadap Roberto Baggio sudah ditunjukkan fans Fiorentina sebelum Piala Dunia 1994. Mereka marah karena Baggio dijual ke Juventus pada 1990 dengan harga 8 juta pound, jadi rekor pemain termahal yang dimiliki Fiorentina.
Baggio sebenarnya tak berniat meninggalkan Firenze. "Saya terpaksa menerima transfer ini," ujar Baggio kepada fans La Viola pada hari perpisahan mereka seperti dikutip dari situs azzuri.com
Fans Fiorentina pun mengamuk di Firenze dan menyebabkan kerusuhan. Total 50 orang terluka dalam bentrok dengan pihak keamanan mengingat saat itu Italia juga tengah bersiap menghadapi Piala Dunia 1990 sebagai tuan rumah.
Keputusan Baggio menolak melakukan tendangan penalti ke gawang Fiorentina dan mencium syal eks klubnya itu, membuat cinta publik Italia makin bertambah padanya. Apalagi, dia juga membuktikan komitmennya pada Juventus lewat gol demi gol dan membantu memenangi Piala UEFA 1993, Liga Serie A 1994/1995, dan Coppa Italia.
Tak hanya Fiorentina, fans AC Milan, Bologna, dan Inter Milan pun mencintai Baggio. Padahal, Baggio hanya menghabiskan waktu singkat memperkuat tim-tim tersebut. Bahkan, Baggio tak pernah disoraki meskipun menyebrang dari Milan ke Inter.
Di Brescia yang merupakan klub terakhirnya, Baggio dianggap layaknya dewa. Dia seolah menjadi anugerah untuk klub kecil tersebut. Bersama Baggio, Brescia menjadi perhatian di Serie A. Nomor 10 yang dipensiunkan Brescia adalah bukti besarnya cinta mereka pada Si Ekor Kuda.
Sebuah polling internet pada 2001 menyajikan hasil bahwa Baggio adalah pemilik status pemain paling dicintai. Penghargaan Most Loved Player yang didapat Baggio di Italian Football Oscars pada 2002 juga menegaskan statusnya sebagai pemain paling dicintai oleh publik Italia.
Tutup Karier
Baggio menutup kariernya pada 16 Mei 2004, nyaris 10 tahun sejak dia gagal mengeksekusi penalti di final Piala Dunia 1994. Tak hanya di Stadion Mario Rigamonti milik Bresicia, di markas AC Milan, Stadion San Siro, Baggio juga mendapat sambutan meriah di laga terakhirnya.
Saat Baggio ditarik keluar lapangan pada menit ke-88, publik San Siro memberikan standing ovation. Tepuk tangan meriah itu diikuti oleh seruan-seruan dukungan kepada Baggio.
Bahkan, pertandingan sempat terhenti sesaat untuk memberikan waktu bagi Baggio berpamitan pada publik sepak bola Italia. Meski tersenyum, ada air mata yang menggenang yang ikut mengiringi.
18 Februari 2018, Baggio berusia 51 tahun. Dia memang jarang terlihat di publik saat ini. Namun, dia masih pahlawan untuk publik Italia.
"Baggio adalah seorang pemain hebat karena apa yang dia lakukan dan bagaimana dia melakukannya," kata Gigi Riva, legenda sepak bola Italia.
Advertisement