Mengenal Meningitis, Penyakit yang Merenggut Nyawa Glenn Fredly

Glenn Fredly tutup usia pada Rabu (8/4/2020) karena penyakit meningitis. Dunia musik kehilangan salah satu musisi handal yang banyak peduli kepada kemanusiaan.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 09 Apr 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2020, 07:00 WIB
Terserah – Private Collection by Glenn Fredly (2008)
Terserah – Private Collection by Glenn Fredly (2008)

Liputan6.com, Jakarta Dunia musik Indonesia berduka dengan meninggalnya penyanyi Glenn Fredly. Penyanyi kelahiran Ambon ini menghembuskan napas terakhir karena mengidap penyakit meningitis.

Meningitis penyakit yang kurang akrab di telinga beberapa orang, apalagi awam. Jadi apa sebenarnya meningitis yang seakan larut dalam wabah Virus Corona Covid-19 ini?

Armand Maulana, penyanyi dari band Gigi pun membenarkan Glenn Fredly sudah lama mengidap meningitis.

"Sudah lama punya penyakit ini, kemarin harusnya opname. Terus karena keadaan rumah sakit lagi chaos karena covid (COVID-19, -red), ya dibawa ke rumah. Nah, mungkin di rumah alat dan penanganan kurang memadai," kata Armand Maulana.

Dikutip dari Life Script, Sally Schoessler, R.N. menjelaskan sejumlah hal tentang meningitis, penyakit yang disebut diidap Glenn Fredly. Dari kesulitan diagnosis, dan cepatnya perkembangan penyakit itu. Wanita itu ikut serta dalam kampanye kesadaran "Voice of Meningitis" di AS.

Direktur pendidikan untuk National Association of School Nurses di kota Silver Spring, Maryland itu mengatakan, “Meningitis adalah infeksi bakteri yang sangat jarang tapi serius.”

Lanjutnya, “Infeksi itu bisa merenggut nyawa seorang remaja yang tadinya sehat-sehat saja dalam waktu kurang dari 24 jam.”

 

 

Soal Meningitis seperti yang Diidap Glenn Fredly

[Fimela] Glenn Fredly
Selain itu, Maia juga menuliskan rasa belasungkawanya kepada keluarga yang ditinggalkan. Mengingat belum lama ini Glenn dikaruniai seorang buah hati dari pernikahannya bersama Mutia Ayu. (Instagram/glennfredly)

Meningitis adalah keadaan ketika “meninges, yaitu jaringan di antara otak dan syaraf tulang belakang membengkak dan terkena infeksi. Muncul juga bakteremia, yang adalah infeksi parah dalam darah, dan juga pneumonia.”

Infeksi ini menjadi semakin parah dengan cepat dan “sukar mendapat diagnosis karena terlihat seperti flu.” Gejalanya antara lain demam, pusing, ngilu persendian, dan leher yang kaku.

Bukan hanya itu, ujarnya, “Mereka yang bertahan hidup menderita dampak jangka panjang.” Dampak sampingannya antara lain:

1. Amputasi lengan, kaki, jari, atau jempol

2. Kerusakan neurologis

3. Ketulian

4. Kerusakan ginjal

Infeksi bakteri ini menular dengan mudah melalui tetesan pernafasan di dalam ruang tertutup, seperti asrama kampus atau kamp musim panas, ketika orang “berbagi alat makan, berbagi botol minum. Saling berciuman.”

 

Divaksin

Pihak pengendali penyakit menular AS (Centers for Disease Control and Prevention, CDC) menganjurkan agar remaja mendapatkan vaksinasi melawan meningococcal meningitis pada usia 11 atau 12 tahun. Penguat (booster) agar diberikan pada usia 16 tahun.

Namun, di AS, hanya 30 persen dari 78 persen anak yang mendapat vaksin telah menerima vaksin kedua sebagai penguat tersebut, demikian disebutkan oleh CDC.

Kata Schoessler, “Ada yang tidak menyambung di situ, karena daya guna vaksin mulai menurun.”

Untuk mengatasi meningitis, “Perlu antibiotik yang tepat, tapi perlu juga cukup kebijaksanaan untuk mengatakan, ‘Sepertinya ini meningitis’, karena seringkali hasil ujinya terlambat untuk bisa meresepkan antibiotik yang benar. Pencegahan adalah kunci dalam menghadapi meningitis.”

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya