Bola Ganjil: Antitesis Penarol Berbuah Dominasi Dunia

Simak kisah Penarol ketika mendominasi dunia sekitar 70 tahun lalu.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 25 Agu 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2020, 15:00 WIB
Penarol
Penarol. (Twitter)

Liputan6.com, Jakarta - Jauh sebelum kemunculan klub asal Argentina atau Brasil, ada satu nama yang mendominasi sepak bola Amerika Selatan. Tim itu adalah Penarol dari Uruguay.

Hegemoni Penarol hadir pada 1960-an. Dalam kurun 1960 hingga 1968, mereka memenangkan tiga Copa Libertadores alias Liga Champions bagi Amerika Selatan. Penarol juga merebut dua gelar Piala Interkontinental yang kini dikenal sebagai Piala Dunia Antarklub.

Tidak ketinggalan tujuh titel liga domestik, kesuksesesan yang dicapai berkat rekor hanya delapan kali kalah dalam 162 pertandingan.

Uniknya, Penarol menorehkan prestasi meski menerapkan filosofi berbeda dengan identitas sepak bola negara asal.

Uruguay dikenal mengedepankan soliditas pertahanan dan Garra Charrua, gaya bermain penuh keuletan dan selalu menganggap diri sebagai kuda hitam. Berkat pendekatan itu, mereka sukses memenangkan dua edisi Piala Dunia.

Sementara Penarol lebih mengedepankan sepak bola menyerang berkat personel bertalenta. Carlos Borges, Pedro Rocha, Juan Joya, Luis Cubilla, Jose Sasia, dan Alberto Spencer membuat lini depan klub berjuluk Manyas itu begitu ditakuti.

Lewat torehan 54 gol dalam 87 penampilan, Spencer bahkan masih menjadi top skor sepanjang masa Copa Libertadores hingga sekarang.

Saksikan Video Sepak Bola Uruguay Berikut Ini

Periode Keemasan

Alberto Spencer
Alberto Spencer saat menghadapi Real Madrid di Piala Interkontinental 1966. (Twitter)

Mengikuti Real Madrid yang membangun reputasi dengan kesuksesan di Piala Champions, cikal Liga Champions, Penarol juga bersinar di pentas kontinental. Mereka memenangkan edisi pertama turnamen itu pada 1960 usai menaklukkan Olimpia asal Paraguay.

Manyas kemudian mewakili Amerika Selatan pada Piala Interkontinental untuk menentukan juara dunia. Pada akhirnya Penarol arus mengakui keunggulan Real Madrid yang memiliki Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas.

Namun, dominasi Penarol di Amerika Selatan terus berlanjut. Mereka mempertahankan Copa Libertadores dengan menaklukkan Palmeiras dari Brasil.

Kemenangan itu menumbuhkan kepercayaan diri Penarol pada partisipasi berikutnya di Piala Interkontinental 1961. Terbukti, mereka menaklukkan Benfica yang mengandalkan Eusebio.

Musim berikutnya, Penarol harus mengakui keunggulan Santos (Brasil) yang bermodalkan Pepe, Coutinho, dan tentunya Pele pada Copa Libertadores. Kekecewaan itu berlanjut dengan hilangnya gelar liga tahun 1963.

Namun, Manyas langsung bangkit setahun berselang. Mereka juga masuk final Copa Libertadores 1965 meski harus mengakui keunggulan Independiente (Argentina).

Meski begitu, Penarol kembali menjadi raja Amerika Selatan pada 1966 setelah membungkam River Plate (Argentina) di laga puncak. Mereka melanjutkan dominasi dan membekuk Real Madrid untuk membawa pulang gelar Piala Interkontinental.

Berusaha Bangkit

ilustrasi Sepak Bola
ilustrasi Sepak Bola (Liputan6.com/Abdillah)

 

Menyusul kesuksesan pada periode 1960-an, Penarol sempat bangkit dua dekade berselang dan memenangkan dua edisi Copa Libertadores dan Piala Interkontinental.

Namun, setelah itu mereka gagal memberikan dampak signifikan pada peta sepak bola Amerika Selatan yang dikuasai klub Argentina dan Brasil.

Usaha kembali ke papan atas terus berlanjut hingga sekarang. Penarol saat ini ditangani mantan striker Timnas Uruguay, Diego Forlan.

Klub Terbaik Abad ke-20

ilustrasi Sepak Bola
ilustrasi Sepak Bola (Liputan6.com/Abdillah)

Meski begitu, kesuksesan pada 1960-an tidak akan membuat Penarol dilupakan. Mereka bahkan dianugerahi tim terbaik Amerika Selatan pada abad ke-20 versi International Federation of Football History and Statistics, mengalahkan nama-nama mentereng lain seperti Santos, Independiente, hingga rival domestik Nacional.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya