Makin Banyak Masalah, Haruskah Bertahan di Kota Jakarta?

Berbagai fakta menunjukkan Jakarta sebenarnya tak layak lagi untuk ditinggali.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 25 Agu 2017, 20:30 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2017, 20:30 WIB
Simpang Susun Semanggi-Jakarta-Angga Yuniar-20170426
Pemandangan Simpang Susun Semanggi pada malam hari, Jakarta, Rabu (26/4). Selain bisa mengurai kemacetan, Simpang Susun Semanggi akan menjadi daya tarik baru bagi Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Statistik Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta menyatakan, tahun lalu terjadi 1.139 kasus kebakaran. Korban tewas akibat kebakaran sebanyak 20 orang, sebanyak 3.6148 keluarga menjadi korban, harta benda yang hangus mencapai Rp 212 miliar, dan ratusan rumah hangus terbakar.

Tingginya angka kebakaran di Ibukota Jakarta juga berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa. Hal ini dikarenakan, kebakaran seringkali berujung stres dan gangguan jiwa.

Menurut Dinas Sosial Pemda DKI, dari 2.283 penderita gangguan jiwa yang ditangkap saat berkeliaran di jalan tahun lalu, tahun ini meningkat 668 orang. Angka itu sendiri sebenarnya bak gunung es: jumlah penderita gangguan jiwa di Jakarta jauh lebih banyak karena sebagian besar dirawat oleh keluarga dan tak tercatat di Dinas Sosial.

Penelitian terbaru oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan, persentase penderita stres di Jakarta sangat tinggi. Sekitar 49 persen wanita dan 39 pria di Jakarta menderita stres.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan Jakarta sebenarnya tak layak lagi untuk ditinggali. Apalagi ditambah dengan berbagai masalah serius yang terus menggunung.

Di masa mendatang, wajah Jakarta tampaknya akan semakin kusam. Studi dari Japan International Cooperation Agency (JIA) pada tahun2000 menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada. Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest.

Jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pergi-pulang dari dan ke tempat kerja. Itu pun masih harus ditambah dengan siksaan dari angkutan umum yang tidak nyaman dan tidak aman.

Belum lagi kesenjangan sosial yang makin terasa. Kaum berduit seolah tak peduli dengan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan sosial itu pun kerap menjadi alasan bagi beberapa orang untuk melakukan kejahatan.

Catatan Polda Metro Jaya menunjukkan, tahun lalu terjadi aksi kejahatan tiap 12 menit 18 detik di Jakarta. Secara keseluruhan, terjadi 43.149 kasus kejahatan di sepanjang 2016. Dari fakta ini, perampokan melesat 12 persen menjadi 719 kasus, sementara pemerkosaan naik 6 persen menjadi 71 kasus.

Dari data-data yang dipaparkan, tampak jelas betapa Jakarta tak ubahnya seperti medan perang penuh darah. Hanya yang kuat dapat bertahan di kota besar ini. Namun pertanyaannya, maukah kita mengorbankan segalanya untuk tetap bertahan di Jakarta?

Kenapa tidak mencari kota lain yang lebih bersih, aman, dan nyaman? Jika Anda tidak ingin menjadi bagian dari data-data tersebut, segera cari tempat lain yang lebih aman, nyaman, dan tidak membuat stres.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya