Liputan6.com, Jakarta Terlalu rumit untuk menguraikan bagaimana seharusnya bahasa digunakan media massa. Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2019, salah satu hal yang menggelisahkan adalah penggunaan bahasa di media pada akhir-akhir ini.
Memang kita telah mengenal laras bahasa jurnalistik, yang semestinya menjadi pedoman bagi penulisan berita di media, termasuk media dalam jaringan (daring) atau online. Namun, aturan-aturan dalam "bahasa jurnalistik" itu tampaknya perlu diberi catatan tambahan atau diperluas lagi sesuai dengan kondisi kiwari.
Sejak media sosial mulai seperti kantor berita yang memberikan informasi terkini dengan bumbu sensasional dan bombastis, media massa pun mulai tercemari dengan gaya berbahasa yang bertujuan menarik lebih banyak pembaca. Ungkapan-ungkapan yang pada awalnya berasal dari bahasa lisan alias percakapan, kini mulai merasuk dalam penulisan berita masa kini.
Advertisement
Wartawan tampaknya tak bisa membedakan, bagaimana cara mengolah bahasa lisan itu—yang berasal dari wawancara atau doorstop—untuk dijadikan bahasa tulisan.
Lambat laun, bahasa ala media sosial ini dipakai dengan alasan menarik pembaca generasi milenial yang sudah terbiasa dengan gawai dalam kesehariannya. Tujuannya tentu meningkatkan daya kunjungan pada situs yang dimaksud.
Maka, muncullah media-media, utamanya daring, yang menggunakan bahasa ala media sosial ini dalam pemberitaannya. Kita pun terkaget-kaget menyadari betapa bahasa media sekarang ini sangat jauh berbeda dan menabrak aturan-aturan yang formal. Maka, ungkapan media sebagai perusak bahasa pun kini makin kencang terdengar.
IDN Times, media yang memiliki tagline The Voice of Millenials and Gen Z, menampilkan sebuah artikel berjudul "7 Kalimat yang Gak Mungkin Ditanyakan sama Orang Baik".
Perhatikanlah bagaimana kata "gak" yang merupakan lagam percakapan, dijadikan judul dalam berita tersebut. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V versi daring pun tidak mengenal lema "gak", yang ada hanya lema "enggak" yang merujuk pada arti 'tidak'.
Padahal, setiap berita yang telah ditayangkan tentu sudah melewati proses kurasi oleh editor, sebelum dapat diterima oleh pembaca. Tak hanya di judul, kita pun lazim menemukan tulisan berita saat ini yang sangat terasa seperti sedang bercakap-cakap atau bercerita layaknya menulis diary. Menulis yang tadinya berfungsi untuk mengungkapkan kini telah berubah menjadi untuk lebih mendekatkan.
Bahasa Jurnalistik
Fenomena semacam ini sedang marak. Ada tujuan untuk lebih mengungkapkan emosi dan membangkitkan empati, atau pendeknya menimbulkan perasaan senang, takjub, heran, kagum, penasaran atau sedih ketika membacanya. Pokoknya, harus dapat meluapkan berbagai macam perasaan.
Jangan heran jika judul yang mengandung kata seperti wah, wow, hore, aduh dan alhamdulillah pun merajalela. Idiom seperti tajir melintir pun dapat pula kita temukan sebagai judul.
Semuanya menjadi boleh demi sebuah click activitism. Dukungan ini sangat penting karena segala aktivitas bisa terekam melalui tombol yang tersedia, seperti like, share, comment, dan forward ke segala media sosial yang dipunyai pembaca.
Maka, tak aneh jika di media daring, penulisan judul menjadi sangat berbeda dengan di media cetak. Sebagai contoh:
- Kenapa Sebagian Perempuan Alami Nyeri Haid Berlebihan? Ini 7 Faktanya (IDN Times, 8 Februari 2019)·
- 5 Alasan Wanita Nikahi Daun Muda, Nomor 4 Mengejutkan (Viva.co.id, 11 Desember 2018)·
- Ikan Hiu Ramai-ramai Datang ke Pantai Israel, Mengapa? (Detik.com, 8 Februari 2019)
Judul ini dibuat semenarik mungkin dengan tujuan menimbulkan keingintahuan pembaca dengan cara-cara menonjolkan aspek tertentu.
Meski demikian, terasa ada aturan yang dilanggar. Misalnya, lihatlah contoh judul "5 Alasan Wanita Nikahi Daun Muda, Nomor 4 Mengejutkan". Bukankah kata mengejutkan itu dipakai dengan tujuan menimbulkan perasaan keheranan?
Kaidah bahasa jurnalistik menyebutkan, judul harus memberitahu dengan segamblang-gamblangnya dan sejelas-jelasnya, sehingga pembaca mendapatkan bayangan kira-kira informasi macam apa yang bakal diterimanya.
Maka, pantaskah ada tanda tanya dalam judul seperti dalam contoh judul "Ikan Hiu Ramai-ramai Datang ke Pantai Israel, Mengapa?" Tentu kita bisa berdebat seharian soal hal itu.
Revolusi media sosial yang terjadi pada abad ke-20 merupakan era kemunculan media baru, yakni menurut van Dijk, seperti dikutip Yusuf Iwan Awaluddin, sebagai "a combination of online and offline media, such as Internet, personal computers, tablets, smart-phones, and e-readers". Van Dijk menjelaskan, media ini disebut baru karena melampaui fungsi-fungsi media sebelumnya.
Walaupun demikian, bahasa jurnalistik harus tetap menuntut kebakuan kaidah bahasa Indonesia dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis, dan wacana. Para wartawan harus sadar di ujung jari merekalah terbukanya wawasan masyarakat akan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar. Selamat bekerja para wartawan, tetaplah berani menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
*penulis adalah tukang cerita dan pengamat bahasa.
Advertisement