Liputan6.com, Jakarta Siapa yang tidak kenal sosok Raden Ajeng Kartini? Perempuan Indonesia yang memperjuangkan emansipasi wanita untuk mendapatkan persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Ia dikenal sebagai feminis yang aktif dan intelektual, gerakannya dimulai dari 25 Mei 1899 hingga 14 September 1904. Dalam kurun waktu tersebut, Kartini menulis lebih dari 10 surat kepada kaum sosialis Belanda.
Baca Juga
Advertisement
Dilansir dari Dangerous Woman Organization yang diawasi langsung oleh Edinburgh University di Skotlandia, RA Kartini dianggap sangat berpengaruh dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Tak jarang dia dicap berbahaya atas apa yang telah dicapainya. Ia menentang banyak pihak, tentu, tapi apa yang membuatnya berbahaya? berbahaya bagi siapa? Ia menuangkan idenya ke dalam tulisan untuk mengkritik, juga untuk meningkatkan kesadaran melalui amarahnya, rasa malu, dan kesedihan akan nasib wanita Indonesia kala itu.
Hingga kini, banyak pula Kartini muda memperjuangnya hal sama. Suara wanita yang terbungkam dan tidak didengar masih diperjuangkan. Situasi kini berbeda dengan apa yang ada di era Kartini kala itu. Kartini harus membatasi ketertarikan diri untuk belajar dengan adanya aturan-aturan adat yang mengikatnya. Terlebih penjajahan Belanda yang mengeksploitasi edukasi, sampai ia harus memanfaatkan situasi dengan menulis surat-surat penting ke pihak Belanda.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Awal mula menulis surat pertamanya
Kartini menulis betapa pentingnya edukasi untuk wanita, menghentikan poligami, serta menampung hak wanita untuk memilih sendiri antara berkarir atau menikah. Tulisannya itu berupa surat-surat yang kemudian dibukukan dengan judul yang kita kenal hingga kini, "Habis Gelap Terbitlah Terang."
Mengutip tulisan sumber dari buku Kartini: The Complete Writings pada laman Dangerous Woman Organization, dalam surat pertamanya, Kartini baru saja berusia 20 tahun. Ia menuangkan tulisannya sebagai ide berekspresi yang kemudian membuatnya berpikir, pemikirannya akan dibaca oleh dunia. Ia juga membaca begitu banyak buku semenjak ia mulai menulis. Surat pertamanya ini ditujukan kepada Stella Zeehandelaar (SZ) dan ditulis pada tanggal 25 Mei 1899.
Advertisement
Dalam surat pembuka, Kartini bercerita kepada Stella ia sangat antusias dengan dunia modern
Surat pertama Kartini ini menandakan dunia modern yang tiba, ia merasakan bagaimana pentingnya jika wanita bisa bekerja. Bagaimana peranan wanita di dalam dunia moodern itu bila ia sama sekali tidak terikat dengan aturan adat. Dan begitu antusiasnya Kartini dalam menyambut era baru itu meskipun kenyataannya, ia tidak bisa menjadi bagian di dalamnya. Tapi ini lah titik awal perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
"Sudah lama aku menginginkan sosok perempuan modern, dengan dambaannya akan sebuah kebebasan di dalam diriku: seseorang yang dengan percaya diri melangkah dalam kehidupan, dengan begitu semangat, penuh antusiasme dan komitmen. Seseorang yang ingin bekerja untuk diri dan kebahagiaannya sendiri, dan tidak lupa membantu penuh kehidupan sosial dalam lingkungannya. Seseorang yang bekerja untuk kebaikan sesama manusia. Aku sangat bersemangat dan begitu antusias dengan era baru ini (era modern). Meskipun aku tidak akan merasakan dan ambil andil dalam dunia ini, dan aku juga bukan bagian dari dunia ini. Setidaknya aku menuangkan pemikiranku untuk sahabat-sahabat wanitaku di luar sana," tulis Kartini kepada SZ pada tanggal 25 Mei 1899 dalam surat pertamanya.
Kartini mulai membahas poligami
Setelah surat pembukanya itu dimulai dengan antusiasmenya dalam memulai era baru, era di mana kesempatan penuh bagi wanita untuk memiliki peran penting, Kartini membahas poligami yang menjadi sebuah aturan pernikahan di Jawa kala itu. Dan lagi, Kartini menulis untuk menantang adanya aturan tersebut. Terlebih ia juga merupakan istri ke-4, hal itu membuatnya banyak membahas hal yang berkaitan dengan poligami dalam surat-suratnya.
"Siapa yang tidak melakukan ini (poligami)? mengapa banyak sekali orang yang melakukannya? ini memang bukanlah sebuah kejahatan atau skandal. Tetapi apakah kamu bisa membayangkan betapa sakitnya perasaan wanita, ketika suaminya membawa pulang seorang wanita yang sama sekali bukanlah istri sah secara hukum? Bahkan jika ditentang, suaminya akan melakukan tindak kekerasan, sampai tidak sekalipun wanita itu akan merasakan kebebasan lagi. Wanita boleh bersiul (meminta) kepada angin, bahkan, untuk kebebasan dan haknya! Lelaki mendapatkan semuanya ketika perempuan tidak mendapatkan apa-apa, itu adalah kepercayaan umum kita (saat ini)," tulis Kartini pada tanggal 6 November 1899.
Advertisement
Terus menulis untuk perubahan budaya dan perjuangan pendidikan pada wanita Indonesia
Dalam surat-suratnya, Kartini berperang penuh dengan emosi. Ia menunjukkan betapa bahaya sebuah emosi jika itu dijadikan sebuah tindakan. Perasaan itu yang membuatnya bangkit untuk memperjuangkan pendidikan perempuan.
Kartini menjelaskan bahwa perasaan tidak hanya untuk diratapi, perasaan harus dilawan dan dibuktikan dengan tindakan. Kini ia membuktikan bagaimana perjuangannya tidak menyakiti siapa-siapa karena selama ini ia menggunakan senjata atas apa yang ia rasakan.
Perasaan emosional tersebut juga yang membawanya menjadi seorang aktivis, penggerak emansipasi wanita yang melawan ketidakadilan. Kartini membuktikan bahwa dengan melawan, harapan akan semua rasa sakit dan kekecewaan segera terobati.
Penulis:
Cindy Aulia SilniKaffah
Universitas Esa Unggul