Liputan6.com, Jakarta - Tari Gandrung merupakan salah satu ikon Jawa Timur, khas Banyuwangi. Awal mula tarian gandrung ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Dewi Sri sang Dewi Padi. Tarian ini diadakan setelah menuai padi.
Baca Juga
Advertisement
Pertunjukan tari Gandrung disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Kini tari Gandrung sering dipentaskan untuk acara perkawinan, petik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya.
Tari Gandrung awalnya ditarikan para pria yang didandani seperti perempuan. Namun seiring waktu, lebih sering ditarikan kaum perempuan.
Para penari memakai hiasan serupa mahkota di kepala yang disebut omprok. Terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah. Juga diberi ornamen tokoh Anthasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa dan berbadan ular.
Tarian ini juga bisa dilakukan berpasangan antara wanita sebagai penari gandrung dan pria selaku pemaju yang dikenal sebagai paju. Tari Gandrung dibagi menjadi beberapa tarian, yaitu Jejer Gandrung, Paju Gandrung, Seblang Lukinto, Seblang Subuh, Gandrung Dor, Gandrung Marsan, Gama Gandrung dan Jaripah.
Beberapa pembagian tersebut dibagi berdasarkan babak pertunjukan, musik atau yang sifatnya dramatis dan mistis. Dalam pertunjukannya, diiringi dengan musik khas, yaitu Gamelan Osing.
Dahulu kala, Tari Gandrung menjadi pemersatu masyarakat setelah kalah perang melawan Belanda. Lewat tarian ini, masyarakat mengunjungi kerabatnya yang tinggal berpisah pasca-perang. Kemudian masyarakat mengajak kerabatnya mendirikan permukiman baru yang kini dikenal sebagai Kota Banyuwangi.
Lalu seiring perkembangan zaman, tarian ini dibawakan sebagai rasa syukur setiap masa panen. Kini Tari Gandrung wajib dibawakan dalam acara festival kesenian tahunan di Banyuwangi.