CEO Pfizer Positif Covid-19 untuk Kedua Kalinya Dalam Dua Bulan Terakhir

CEO Pfizer, Albert Bourla, telah dinyatakan positif COVID-19 untuk kedua kalinya dalam dua bulan terakhir.

oleh Camelia diperbarui 27 Sep 2022, 08:01 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2022, 08:01 WIB
CEO Pfizer Albert Bourla
foto: John Thys/AFP/Getty Images

Liputan6.com, Jakarta CEO Pfizer, Albert Bourla, telah dinyatakan positif COVID-19 untuk kedua kalinya dalam dua bulan terakhir. Namun kepala perusahaan yang menciptakan salah satu vaksin virus corona yang paling banyak digunakan itu mengatakan dia merasa sehat dan bebas gejala.

 

Sebelumnya pria 60 tahun tersebut terinfeksi COVID-19 pada bulan Agustus lalu dan telah memulai pengobatan antivirus oral COVID-19 perusahaan, Paxlovid.

Paxlovid adalah obat antivirus yang digunakan untuk mengobati orang yang berisiko tinggi, seperti pasien yang lebih tua. Bourla telah menerima empat dosis vaksin yang dikembangkan perusahaannya bersama mitra Jermannya, BioNTech, tetapi mengatakan dia tidak mendapatkan booster bivalen baru karena tertular penyakit itu dalam beberapa bulan terakhir.

"Saya belum mendapat booster bivalen baru, karena saya mengikuti pedoman CDC untuk menunggu tiga bulan sejak kasus COVID-19 saya sebelumnya yang kembali pada pertengahan Agustus," tambah Bourla dilansir dari Sky News. 

Dikembangkan oleh Moderna dan tim Pfizer dan BioNTech, suntikan bivalen baru ini bertujuan untuk mengatasi subvarian Omicron BA.5 dan BA.4, yang masing-masing membentuk 84,8% dan 1,8%, dari semua varian yang beredar di Amerika Serikat, berdasarkan data terbaru.

Pada bulan Agustus, FDA mengizinkan suntikan booster terbaru dari Pfizer dan Moderna yang menargetkan subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang dominan.

Sebuah badan kesehatan federal AS mengatakan minggu ini lebih dari 25 juta dosis suntikan booster baru telah dikirim. Itu sebagian besar terdiri dari vaksin Pfizer/BioNTech karena produksi vaksin Moderna meningkat.

Kumpulan Hoaks Seputar Vaksin Covid-19 Buatan Pfizer, Simak Faktanya

Sebanyak 247.950 Dosis Vaksin Pfizer Tiba di Indonesia, Fokus ke Remaja dan Lansia
Indonesia kembali kedatangan 247.950 dosis vaksin Pfizer. (pexels/gustavofring).

Pfizer menjadi salah satu perusahaan yang kerap menjadi sasaran hoaks selama pandemi covid-19. Hoaks ini mayoritas terkait vaksin covid-19 yang dibuat Pfizer. Lalu apa saja hoaks seputar Pfizer? Berikut beberapa di antaranya:

1. Cek Fakta: Hoaks Vaksin Pfizer Diperbarui Dengan Menambahkan Chip dari Microsoft

Beredar kembali di media sosial postingan yang menyebut vaksin covid-19 buatan Pfizer akan diperbarui dengan menambahkan chip dari Microsoft untuk mengurangi gejala. Postingan itu ramai dibagikan sejak beberapa waktu lalu.

Salah satu akun ada yang mempostingnya di Facebook. Akun itu mengunggahnya pada 5 Mei 2021.

Dalam unggahannya terdapat potongan judul artikel berita "Pfizer Announces COVID-19 Vaccine Upgrade, Now Includes Microsoft Chip For Reduced Symptoms".

Atau dalam Bahasa Indonesia "Pfizer Mengumumkan Peningkatan Vaksin COVID-19, Sekarang Termasuk Chip Microsoft Untuk Mengurangi Gejala"

Lalu benarkah postingan yang mengklaim vaksin covid-19 buatan Pfizer akan diperbarui dengan memasangkan chip dari Microsoft untuk mengurangi gejala? Simak dalam artikel berikut ini...

2. Cek Fakta: Tidak Benar Kalium Klorida pada Vaksin Pfizer Bahayakan Jantung dan Mematikan

Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim kandungan potassium chloride atau kalium klorida pada vaksin Pfizer membahayakan jantung dan mematikan. Informasi tersebut diunggah salah satu akun Twitter, pada 3 Agustus 2022.

Unggahan klaim kandungan kalium klorida pada vaksin Pfizer membahayakan jantung dan mematikan, berupa tulisan sebagai berikut.

"Pfizer yg terbaru mempunyai kandungan potasium chlorida.

Senyawa ini yg sangat membahayakan jantung,dan biasanya di gunakan untuk euthanasia bagi tahanan terpidana mati. Artinya vaksin untuk eksekusi terpidana mati."

Tulisan tersebut dilengkapi dengan foto komposisi vaksin Pfizer.

Benarkah klaim kandungan kalium klorida pada vaksin Pfizer membahayakan jantung dan mematikan? Simak dalam artikel berikut ini...

3. Cek Fakta: Tidak Benar Pernyataan CEO Pfizer Tujuan Perusahaannya Kurangi 50 Persen Populasi Dunia pada 2023

Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim video CEO Pfizer Albert Bourla menyatakan bahwa tujuan perusahaannya adalah untuk mengurangi populasi dunia hingga 50 persen pada tahun 2023.

Klaim video pernyataan CEO Pfizer Albert Bourla tujuan perusahaannya mengurangi populasi dunia 50 persen pada 2023 menampilkan video Albert Bourla sedang berbicara dengan latar belakang lambang World Economic Forum.

Berikut perkataan Albert Bourla dalam klaim video tersebut yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

"Saya pikir hari itu akan segera tiba. Menurut saya. Ini benar-benar mimpi yang kami miliki bersama dengan tim kepemimpinan saya. kami bertemu pada Januari 19 di California, kami menetapkan tujuan untuk lima tahun ke depan. Dan salah satunya adalah pada tahun 2023 kita akan mengurangi jumlah orang di dunia. Saya pikir hari itu akan segera tiba"

Video tersebut diberi keterangan sebagai berikut.

"Forum ekonomi dunia mengklaim sasaran mereka 1/2 p o pula si dunia di tahun 2023 akan menjadi kenyataan.."

Benarkah pernyataan CEO Pfizer Albert Bourla tujuan perusahaannya mengurangi populasi dunia 50 persen pada 2023? Simak dalam artikel berikut ini...

Studi: Obat COVID-19 Paxlovid Tidak Tunjukkan Manfaat Signifikan pada Kelompok Usia Ini

Obat COVID-19 Paxlovid buatan Pfizer
Obat COVID-19 Paxlovid buatan Pfizer. (Dok. Pfizer)

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine mengungkap informasi baru terkait efektivitas obat COVID-19 buatan Pfizer, Paxlovid. Obat antivirus satu ini ternyata tidak menunjukkan manfaat yang signifikan pada orang dewasa muda.

Studi yang dipublikasikan pada Rabu 24 Agustus 2022 tersebut menemukan, Paxlovid lebih efektif pada lansia untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian. Paxlovid diketahui mengurangi persentase rawat inap sebanyak 75 persen pada orang berusia 65 tahun keatas. 

Namun pada orang-orang dengan usia 40-65 tahun, tidak terlihat adanya manfaat yang terukur dari catatan medis para pasien. Temuan tersebut juga mencerminkan sifat pandemi COVID-19 yang kini telah mengalami perubahan.

"Paxlovid akan tetap penting bagi orang-orang dengan berisiko tinggi pada keparahan COVID-19, seperti lansia dan untuk mereka yang memiliki sistem kekebalan terganggu," ujar peneliti dan dokter University of Minnesota, David Boulware mengutip Channel News Asia pada Jumat, (26/8/2022).

"Tapi pada sebagian besar orang Amerika yang sekarang telah memenuhi syarat vaksinasi, ini tidak terlalu memberikan manfaat bagi mereka," tambahnya.

Selama ini, Paxlovid telah banyak digunakan untuk pengobatan COVID-19 termasuk di Amerika Serikat. Bahkan, pemerintahan Joe Biden telah menghabiskan uang lebih dari 10 miliar USD untuk membeli Paxlovid dan membuatnya tersedia pada ribuan apotek.

Sebagian besar masyarakat kini dianggap telah terlindungi dari vaksinasi atau infeksi COVID-19. Pada orang dewasa muda khususnya, vaksinasi dapat mengurangi risiko komplikasi dan keparahan yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2 ini.

Di sisi lain, penelitian ini mengaku memiliki kekurangan yakni keterbatasan dalam hal partisipan. Para peneliti melakukan uji pada 109.000 pasien di Israel dan tidak menggunakan partisipan secara acak dari daerah lainnya.

Berdasarkan standar, penelitian medis dapat dikatakan akurat jika menggunakan partisipan secara acak yang tersebar dalam macam-macam daerah. Juru bicara Pfizer sendiri hingga kini masih menolak untuk memberikan komentar terkait temuan dalam penelitian satu ini.

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat telah mengizinkan penggunaan Paxlovid pada akhir tahun lalu untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 12 tahun ke atas yang dianggap berisiko tinggi.

Risiko tinggi tersebut termasuk pada orang dengan obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Hal tersebut lantaran lebih dari 42 persen orang dewasa AS dianggap obesitas, mewakili 138 juta orang Amerika, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Saat memberikan keputusan tersebut, FDA diketahui tidak memiliki pilihan lain untuk mengobati COVID-19 dari rumah. Sehingga Paxlovid dianggap penting untuk membatasi jumlah rawat inap dan kematian pada gelombang kedua pandemi COVID-19.

Infografis Hindari 5 Hal Saat Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Hindari 5 Hal Saat Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya