Kisah Ironi di Balik Keindahan Pulau Seribu

Menuju Kepulauan Seribu bermula di titik Pelabuhan Muara Angke yang sibuk dengan aktivita pelabuhan, seperti kegiatan perikanan.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Okt 2013, 16:48 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2013, 16:48 WIB
131015bseribu.jpg
Citizen6, Jakarta: Perjalanan saya dan kawan-kawan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) menuju Kepulauan Seribu bermula di titik Pelabuhan Muara Angke. Pelabuhan Muara Angke yang terletak di Jakarta Utara tampak sibuk dengan aktivitas pelabuhan, seperti kepadatan penumpang kapal dan kegiatan perikanan.

Akibat aktivitas disekitar pelabuhan tersebut membawa dampak negatif bagi perairan pesisir, seperti pencemaran. Kesan kumuh begitu melekat dan sepertinya dimaklumi oleh masyarakat.

Perjalanan menuju Pulau Seribu ditempuh selama 4 jam, dengan menggunakan kapal kayu bermesin. Sebelumnya transit dulu di Pulau Harapan, baru menuju pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.

Pemandangan khas pantai tropis menyambut kedatangan kami. Nyiur kelapa melambai, teriknya pantulan sinar matahari, dan surga bawah laut yang eskotik membuat perjalanan yang cukup panjang terbayarkan dengan keindahan yang membentang.

Pulau Melinjo, Pulau Genteng, dan Pulau Perak menjadi tujuan petualangan kami selama 2 hari. Namun yang mencengangkan, ternyata ada informasi yang menyebutkan adanya pulau di Kepulauan Seribu yang dikontrakkan ke warga negara asing.

Ingatan saya kembali pada Pulau Bidadari, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijual di website www.privateislandsonline.com. Berita tersebut membuat pemerintah kelabakan. Bagaimana bisa pulau dijual di internet? Ternyata setelah ditelusuri pulau tidak dijual tapi disewakan. Sewa tersebut dilakukan oleh Badan Nasional Penanaman Modal Daerah (BNPMD) NTT selama 30 tahun kepada warga negara Inggris. Bahkan penyewa berhak mengelola sektor pariwisata di pulau tersebut, seperti pengadaan resort dan fasilitas penunjang.

Kasus yang terjadi di Kepulauan Seribu hampir sama. Adanya pemberian hak sewa pulau kepada warga negara asing. Padahal Menteri Kelautan dan Perikanan dengan tegas menyatakan, "kalau investasi dilakukan oleh asing dan dalam negeri harus sepengetahuan dan disetujui pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)."

Dia juga mengatakan, "Investor dari luar negeri maupun dalam negeri jika membeli tanpa surat yang benar, maka tentunya tidak berani. Selama KKP tidak memberikan izin, maka notaris, gubernur, dan bupati tidak akan berani menjual pulau tersebut," jelasnya.

Dikuatkan lagi oleh peraturan tidak adanya penjualan pulau di Indonesia merujuk ke Undang-Undang (UU) 27 nomor2007 sebagai dasar dari pengelolaan pesisir, kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 62 tahun 2010, dan Peraturan Menteri (Permen) 20 tahun 2008 terkait pemanfataan dan pengelolaan pulau-pulau kecil.

Lalu kenapa hal ini masih saja terjadi? Dengan potensi pariwisata bahari, memang menarik investor asing untuk menanamkan modal. Tingginya kunjungan wisatawan domestik dan asing, membuat mereka tak ragu menanamkan modal yang pasti akan balik modal. Namun yang jelas harus diketahui dan disetujui oleh KKP.

Setelah disetujui, akankah nasib pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia tersebut hanya akan menjadi barang dagangan di internet? Bukankah hal tersebut sama artinya dengan menjual hak kedaulatan berbangsa. Sungguh ironi. (Indar Wijaya/Mar)

Indar Wijaya adalah pewarta warga.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya