Liputan6.com, Jakarta - Kapitalisasi pasar stablecoin telah mengalami lonjakan signifikan, mencapai angka USD 204 miliar atau setara Rp 3,3 triliun (asumsi kurs Rp 16.200 per dolar AS). Hal itu berdasarkan laporan terbaru dari CryptoQuant.
Dilansir dari Yahoo Finance, Selasa (4/2/2025), peningkatan ini menandakan level tertinggi sejak pertengahan 2022, mencerminkan meningkatnya kepercayaan investor terhadap aset digital yang dipatok pada mata uang fiat.
Advertisement
Baca Juga
Lonjakan kapitalisasi ini didorong oleh meningkatnya permintaan terhadap stablecoin utama seperti USDT dan USDC, yang sering digunakan dalam perdagangan kripto sebagai alat lindung nilai terhadap volatilitas pasar.
Advertisement
Data dari CryptoQuant menunjukkan arus masuk dana ke stablecoin semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, berkontribusi pada pertumbuhan pasar yang pesat.
Para analis memperkirakan bahwa pertumbuhan pasar stablecoin ini dapat menjadi sinyal positif bagi pasar kripto secara keseluruhan. Peningkatan jumlah stablecoin yang beredar sering kali dikaitkan dengan potensi reli di pasar kripto, karena menandakan adanya likuiditas tambahan yang siap untuk diinvestasikan ke dalam aset digital lainnya.
Meskipun pertumbuhan ini memberikan optimisme, beberapa pihak tetap waspada terhadap regulasi yang semakin ketat terhadap stablecoin, terutama dari regulator di Amerika Serikat dan Eropa. Namun, selama permintaan terhadap stablecoin terus meningkat, pasar kripto berpotensi mengalami pertumbuhan lebih lanjut di masa depan.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Harga Kripto Terkoreksi
Harga Bitcoin mengalami penurunan tajam lebih dari 4 persen pada Senin pagi di pasar Asia, merosot ke level terendah dalam tiga minggu di kisaran USD 96.606 atau setara Rp 1,57 miliar.
Tidak hanya Bitcoin, Ethereum juga mengalami koreksi signifikan dengan penurunan lebih dari 12 persen, kembali ke level yang terakhir terlihat pada awal November atau diperdagangkan di kisaran USD 2.808, setara Rp 45,7 juta.
Melansir Yahoo Finance, Senin (3/2/2025), anjloknya harga aset digital ini dipicu oleh kebijakan ekonomi terbaru dari Presiden AS, Donald Trump.
Pemerintah AS secara resmi memberlakukan tarif impor sebesar 25 persen pada barang-barang dari Meksiko dan sebagian besar Kanada, serta tarif 10 persen terhadap berbagai produk dari Tiongkok. Kebijakan ini mulai berlaku pada hari Selasa dan telah memicu kekhawatiran luas di kalangan investor global.
Langkah yang Berdampak Negatif
Para analis melihat langkah proteksionisme perdagangan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan profitabilitas perusahaan, yang pada gilirannya menambah tekanan pada pasar keuangan, termasuk aset digital seperti Bitcoin dan Ethereum.
Cryptocurrency, yang diperdagangkan sepanjang waktu tanpa batasan hari kerja, telah lama menjadi indikator utama sentimen risiko investor global. Penurunan harga yang terjadi menunjukkan pasar semakin waspada terhadap kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi likuiditas dan investasi.
Selain dampak dari kebijakan tarif, koreksi yang terjadi juga disebabkan oleh aksi ambil untung setelah reli signifikan yang terjadi pasca kemenangan Trump dalam pemilu.
Banyak investor yang sebelumnya berharap kepemimpinan Trump akan membawa kebijakan yang lebih pro-crypto atau pelonggaran regulasi terhadap aset digital.
Advertisement
Gara-Gara Donald Trump, India Tinjau Ulang Kebijakan Kripto
Sebelumnya, India sedang meninjau kembali kebijakan mengenai mata uang kripto seiring dengan perubahan sikap global terhadap aset digital ini. Peninjauan ini dipicu oleh kebijakan ramah kripto yang diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Sekretaris Urusan Ekonomi India, Ajay Seth, menyatakan bahwa aset digital seperti kripto dan lainnya tidak mengenal batas, oleh sebab itu sikap India tidak bisa bersifat sepihak. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang tidak unilateral dalam regulasi kripto mengingat sifatnya yang lintas batas.
"Lebih dari satu atau dua yurisdiksi telah mengubah pendirian mereka terhadap mata uang kripto dalam hal penggunaan, penerimaan, dan di mana mereka melihat pentingnya aset kripto. Dalam langkah itu, kami akan meninjau kembali makalah diskusi," kata Seth dalam sebuah wawancara, dikutip dari Yahoo Finance, Selasa (4/2/2025).
Meskipun India memiliki sikap regulasi yang ketat dan pajak perdagangan yang tinggi, masyarakat India tetap berinvestasi besar-besaran dalam mata uang kripto. Pada Desember 2023, Unit Intelijen Keuangan India (FIU) mengeluarkan pemberitahuan kepada sembilan bursa kripto luar negeri karena tidak mematuhi peraturan setempat.
Selain itu, pada Juni 2024, Binance, bursa kripto terbesar di dunia, dikenai denda sebesar 188,2 juta rupee setelah mendaftar ke FIU untuk melanjutkan operasinya di India.
Tahun lalu, pengawas pasar India merekomendasikan agar beberapa regulator mengawasi perdagangan mata uang kripto, menunjukkan setidaknya beberapa otoritas di negara tersebut terbuka untuk penggunaan aset virtual pribadi.
Namun, posisi ini berbeda dengan pernyataan bank sentral India yang menyatakan bahwa mata uang digital pribadi menimbulkan risiko makroekonomi.