Anak-anak Penyandang Tuli Kesulitan Menerima Informasi dari Media Daring

Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia menerangkan adanya dampak negatif COVID-19 terhadap anak-anak penyandang tuli.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 11 Agu 2020, 18:09 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2020, 18:06 WIB
Ilustrasi anak tuli
Foto: pixabay tung256

Liputan6.com, Jakarta Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia menerangkan adanya dampak negatif COVID-19 terhadap anak-anak penyandang tuli.

Perempuan yang juga menyandang tuli ini berpendapat, hambatan bagi setiap penyandang tuli adalah komunikasi. Namun, khusus bagi anak-anak penyandang tuli usia sekolah, hambatan belajar di rumah turut menjadi tantangan tersendiri.

“Dampak negatifnya untuk anak-anak tuli yang masih bersekolah, kondisi saat ini membuat sekolah ditutup dan mereka harus berada di rumah tidak boleh kemana-mana. Sedangkan, komunikasi bersama orangtua mereka tidak bisa dilakukan secara maksimal,” ujar Laura melalui juru bahasa isyarat dalam konferensi pers BNPB (8/8/2020).

Komunikasi yang tidak maksimal antara anak dan orangtua bisa disebabkan pengetahuan orangtua tentang bahasa isyarat yang kurang. Umumnya, orangtua anak penyandang tuli adalah non tuli.

Dalam kasus seperti ini, biasanya orangtua berkomunikasi kepada anaknya yang tuli dengan menggunakan bahasa lisan dan bergantung pada gerakan bibir. Dengan demikian, anak penyandang tuli tidak merasakan kenyamanan karena komunikasi yang tidak maksimal tidak seperti yang biasa dilakukan di sekolah.

“Mungkin juga kalau menggunakan jaringan internet, jaringannya belum sepenuhnya kuat atau mungkin juga ada anak yang tidak memiliki fasilitas teknologi yang mumpuni. Juga bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau pedesaan, ini menjadi salah satu dampak negatif yang saya lihat dari adanya COVID-19 ini.”

Simak Video Berikut Ini:


Hambatan Komunikasi Daring

Laura menambahkan, ada beberapa hambatan bagi penyandang tuli jika melakukan komunikasi melalui media daring. Namun, kembali lagi pada bentuk komunikasinya.

“Misal, kalau kita berkomunikasi dengan sesama teman tuli maka bentuk komunikasinya menggunakan bahasa isyarat. Lalu kalau komunikasinya via media daring dan pembicaranya menggunakan bahasa lisan, tentu itu bagi peserta tuli tidak bisa mengaksesnya dan itu menjadi suatu masalah dalam penyampaian informasi.”

Jadi perlu diingat lagi bahwa orang dengar dan orang tuli bahwa mereka memiliki bahasa yang berbeda, pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya