Liputan6.com Salurkan Dana untuk Program Kaki Palsu Yesi Ndun

Stenly Yesi Ndun, bocah disabilitas daksa di Desa Tuapanaf, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur mendapat perhatian publik sejak diberitakan beberapa media di NTT.

oleh Ola Keda diperbarui 27 Nov 2020, 14:32 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2020, 09:04 WIB
Liputan6.com Salurkan Donasi untuk Yesi Ndun
Liputan6.com melalui kitabisa.com menggalang dan salurkan donasi untuk Yesi Ndun, disabilitas daksa yang memerlukan kaki palu.

Liputan6.com, Kupang Stenly Yesi Ndun, bocah disabilitas daksa di Desa Tuapanaf, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur mendapat perhatian publik sejak diberitakan beberapa media di NTT.

Bantuan dari segala pihak mengalir sejak Yesi Ndun viral di media sosial. Selain Kapolda NTT, Yesi juga mendapat perhatian khusus dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan juga Liputan6.com.

Bekerjasama dengan kitabisa.com, Liputan6.com berhasil menggalang bantuan sebesar Rp17.017.694 dari 200 donatur. Donasi itu langsung diserahkan kontributor Liputan6.com NTT, Amar Ola Keda dan guru Yesi Ndun, Yonathan pada Senin (12/10/2020) lalu.

Air mata haru nenek Yesi Ndun, Ursula Takaep menetes saat menerima donasi dari Liputan6.com.

“Terimakasih Liputan6.com dan donatur yang sudah memberi bantuan. Saya tidak bisa membalas kebaikan semua ini, Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Ursula.

Simak Video Berikut Ini:

Disabilitas Daksa

Kaki Palsu Yesi Ndun
Foto: Yesi Ndun, bocah difabel di NTT bersama kembaran dan kakek neneknya (Liputan6.com/Ola Keda)

Sejak lahir, Stenly Yesi Ndun, bocah 7 tahun di Desa Tuapanaf, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur hanya memiliki satu kaki. Namun, semangatnya bersekolah tidak pernah padam.

Himpitan ekonomi, membuat kedua orangtuanya merantau ke Kalimantan. Akibatnya Yesi dan saudari kembarnya, Stela Ndun, harus tinggal bersama kakek dan neneknya sejak usia 3.

Disabilitas daksa yang disandang membuatnya harus menggunakan alat bantu berupa tongkat dari kayu agar bisa sampai ke sekolah. Kayu itu seolah menjadi bagian dari dirinya sebagai pengganti kaki.

Jarak 1 kilometer harus ditempuh untuk sampai ke sekolah setiap harinya. Bocah kelas 1 SDN Bijaesahan ini tak merasa minder dalam pergaulan di lingkungan rumah maupun sekolah. Ia bahkan diperlakukan khusus di sekolahnya.

"Jika ada apel atau olahraga, Yesi kita minta duduk di ruangan kelas sambil belajar," ujar Kepala Sekolah SDN Bijaesahan, Dortiana Karice Mau.

Untuk melindungi Yesi, pihak sekolah setiap hari memberi arahan ke semua pelajar agar memperlakukannya dengan baik. Buktinya, hingga kini, bocah berambut hitam ini rajin ke sekolah dan bermain layaknya anak-anak non disabilitas.

Di sekolah, Yesi tergolong anak yang cerdas  "Yesi itu anaknya pintar. Semua pelajaran atau tugas yang diberi, selalu ia kerjakan sendiri," tambah Dortiana.

Melihat kondisi Yesi, pihak sekolah sempat berkoordinasi dengan dinas sosial agar Yesi disekolahkan di SLB. Namun, niat baik itu ditolak kakek dan nenek Yesi. Mereka ingin, Yesi tetap bersama mereka meski hidup serba kesulitan.

"Yesi punya kembar dan kakeknya tidak mau mereka dipisahkan," sebutnya.

Pihak sekolah berharap ada pihak yang membantu kaki palsu untuk Yesi agar ia bisa bergerak normal seperti pelajar lainnya.

Butuh Kaki Palsu

Bocah Difabel
Foto: Kapolda NTT Irjen pol Lotharia Latif saat menyerahkan bantuan kaki palsu untuk Yesi Ndun bocah difabel di Kecamatan Takari, NTT (Liputan6.com/Ola Keda)

Walau terlihat ceria, Yesi tetap berangan-angan ingin punya kaki palsu. Namun, orangtuanya yang bekerja sebagai buruh kasar di Kalimantan tak memiliki dana.

Yesi dan tiga saudara kandungnya tinggal di rumah berdinding kayu bersama kakek dan neneknya. Tak hanya mereka, ada empat cucu lain yang diurus pasutri lansia ini.

"Kami sudah tua, tak mampu kerja lagi. Setiap bulan, ayah Yesi kirim uang Rp 500 ribu untuk kebutuhan hidup kami semua di rumah," ujar nenek Yesi, Ursula Takaep (60) kepada wartawan, Senin (21/9/2020).

Ursula mengaku memiliki empat anak laki-laki yang semuanya di tanah rantau, termasuk ayah Yesi. Setiap hari, ia sendiri yang mengurus delapan cucunya itu, karena suaminya, Bernabas Ndun (84) sudah sakit-sakitan.

Untuk menanggung kebutuhan hidup setiap hari, ia hanya berharap bantuan PKH dari pemerintah. Uang itu ia sisihkan untuk kebutuhan makan minum hingga keperluan sekolah delapan cucunya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya