Afrika ke India, Perjalanan 5 Desainer Tutup Jakarta Fashion Week

5 desainer Dewi Fashion Knights tampilkan koleksi yang terinsiparsi dari berbagai belahan dunia di penutupan Jakarta Fashion Week.

oleh Bio In God Bless diperbarui 08 Nov 2014, 20:05 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2014, 20:05 WIB
Jakarta Fashion Week 2015 Dewi Fashion Knight

Liputan6.com, Jakarta Tujuh hari penyelenggaraan Jakarta Fashion Week 2015 yang berlangsung sejak 1 November 2014 memuncak pada perhelatan Dewi Fashion Knights, Jumat (7/11/2014). Pukul 19.00 para tamu mulai berdatangan ke Fashion Tent tempat acara digelar. Sebagai acara puncak JFW yang dibuat oleh majalah fesyen premium, tak mengherankan bila para tamu datang dengan tampilan maksimal.

Wajah Luna Maya, Andien, Raline Shah, Dian Sastro Wardoyo, dan sederet selebriti ternama ibukota lain larut dalam suasana obrol tegur sapa di bawah lampu warna-warni diiringi permainan musik DJ sambil sesekali mencomot canape dan minuman yang dibawa para pramusaji.

Dewi Fashion Knights, sebuah ajang yang sudah digelar sejak tahun 2008, dibuat dengan tujuan mengkurasi bakat-bakat desain fesyen Indonesia. Tahun ini adalah Dewi Fashion Panel yang melakukan proses pilah-pilih desainer-desainer yang patut ditampilkan di Dewi Fashion Knight.

Tim tersebut terdiri dari Ni Luh Sekar yang merupakan Pemimpin Redaksi majalah Dewi bersama dengan fashion editor dan beauty editor, serta Jati Hidayat selaku Direktur Pengembangan Editorial Femina Group, Mi Egron yang adalah Chief Commercial Officer Plaza Indonesia, dan penyanyi Andien yang dilihat sebagai fashion influencer.

Sekitar pukul 20.18 lampu ruang fashion show padam. Tak berapa lama kemudian muncul Sari Nila yang bertugas memandu jalannya acara. Sambutan Svida Alisjahbana selaku Ketua Umum Jakarta Fashion Week membuka Dewi Fashion Knights sekaligus menutup rangkaian acara Jakarta Fashion Week 2015.

Bertemakan `A Journey to the World`, Dewi Fashion Panel memilih 5 desainer Indonesia yang membawakan koleksi-koleksinya di acara ini. Kelima desainer itu adalah Vinora, Priyo Oktaviano, Nur Zahra, Sapto Djojokartiko, dan Auguste Soesastro. Bagaimana koleksi-koleksi di tema yang disebut sebagai `Penjelajahan Indra dan Sukma` oleh Ni Luh Sekar?

Priyo Oktaviano

Priyo Oktaviano

Agak sulit untuk menggambarkan koleksi Priyo Oktaviano di Dewi Fashion Knights dengan menggunakan kata-kata. Bukan karena koleksinya buruk. Berkebalikan dengan itu, koleksi Priyo ini memiliki kesan positif yang mungkin belum ada ekspresi verbalnya.

Kata `intricate` adalah kata terdekat dengan koleksi Priyo berisi Pantsuit biru dengan permainan bentuk drape dan aksen-aksen lurik jawa, trutle neck top yang terdiri dari bahan lurik dan quilt yang dipadu dengan busana drape beraksen lipit-lipit, dan karya-karya bermodel tak lazim lainnya.

Fringe, fur, manik-manik, dan aplikasi-aplikasi lain yang dirangkai sedemikian rupa di koleksi ini menghadirkan kesan tribal pada koleksi Priyo. Contemporary Tribal Couture adalah istilah yang tepat untuk dikenakan pada koleksi yang didominasi warna biru dan terinsiprasi dari Afrika. Lurik-lurik Jawa yang digunakan memberi sentuhan etnik pada busana-busana high fashion karya Priyo.

Kemampuan Priyo Oktaviano dalam `mengganti` identitas suatu bahan dalam koleksi-koleksinya tak dapat diragukan lagi. Siapa bisa kira bahwa rancangan-rancangan Priyo di Dewi Fashion Knights ini juga menggunakan bahan jeans? Dengan kreatifitas konsep dan kepiawaian teknik yang dimilikinya, Priyo berhasil memasukkan bahan jeans itu dalam karya-karya kategori adibusana.

Vinora Ng

Vinora Ng

Koleksi adibusana juga disuguhkan oleh desainer Vinor Ng. Yang satu ini kontemporer dalam desain-desain yang clean. Vinora Ng yang merupakan lulusan Fashion Institute of Design and Merchandising, Los Angeles, menjadi salah satu desainer di Jakarta Fashion Week yang mampu menghadirkan identitas couture pada karya-karya yang minimalis.

Menggunakan warna-warna putih, desain-desain tak biasa pada koleksi Vinora, misalnya aksen cut out yang nampak seperti sobekan atau lepas jahitan pada kemeja, membawa imajinasi pada busana-busana yang dideformasi, malfunctioned, unfinished, atau juga usang. Semua ini ditempatkan secara jenius dalam konstruksi yang artistik.

Ini yang mungkin yang dibayangkan sang desainer sebagai hasil dari unplanned and ever changing direction seperti terdapat dalam penjelasan koleksinya, di mana yang ia rujuk tentang itu adalah dampak dari campur tangan manusia pada alam kutub arctic-antarctic. Dengan iringan lagu-lagu rock, busana-busana itu tampil dengan karakter yang begitu kuat.

Nur Zahra

Nur Zahra

Jika bicara tentang sebuah perjalanan sebagaimana dipakai sebagai tema Dewi Fashion Knight ini, maka subjek sang pejalan dan aktivitas perjalannya tampak begitu jelas tergambar dari karya-karya label busana Muslim Nur Zahra.

Musafir Nur Zahra ini berkelana secara modis dengan boots dan busana-busana bercorak ala suku-suku pedalaman. Baju model poncho dengan fringe dibagian bawahnya, long dress berpadu scarf di leher, dan busana two pieces berbalut outerwear model cape menjadi pakaian modis berwarna kalem dari sang pengelana stylish nan spiritual.

Auguste Soesastro

Auguste Soesastro

Di tangan desainer Auguste Soesastro, fesyen aristokrat wanita Rusia masa lampau hadir menjelma sebagai busana siap pakai berpotongan minimalis. Siluet A pada koleksi ini memberi nuansa feminin pada kesan simple dari penggunaan warna-warna netral di baju-baju berukuran longgar ini.

Sapto Djojokartiko

Sapto Djojokartiko

15 Oktober 1917, Margaretha Geertruida Zelle MacLeod, dihukum mati dengan cara ditembak (firing squad) di Prancis untuk dakwaan menjadi agen rahasia Jerman yang mengakibatkan tewasnya lima puluh ribu prajurit. Saat itu tak ada bukti kuat untuk dakwaan tersebut. Ia mengaku hanya sebagai seorang penari ternama yang punya koneksi international. Sebuah dokumen Jerman yang diungkap pada tahun 1970 membuktikan bahwa ia benar merupakan agen rahasia Jerman.

Nama panggung penari eksotis ini adalah Mata Hari. Sosok Mata Hari inilah yang menjadi inspirasi busana-busana rancangan desainer Sapto Djojokartiko. Karya-karya Sapto Djojokartiko di Dewi Fashion Knights kentara berjiwa India. Berbagai dress olahan model sari India tampil bersama dengan busana-busana lain dengan motif gaya India, termasuk bolero yang menyerupai baju zirah seorang prajurit.

Tari dan India adalah dua hal yang identik. Dinamika gerak tarik India ini terpancar dari karya-karya Sapto baik yang loose maupun yang membentuk tubuh. Satu hal yang tak boleh luput saat membicarakan koleksi berjiwa India ini adalah eksotisme sensual yang meradiasi dari belahan-belahan busana yang tinggi hingga ke paha atau juga bahan-bahan sheer yang berhias manik-manik.

Eksotisme seperti ini yang juga dikatakan sejarah tentang sosok Mata Hari. Sempat tinggal di Malang dan mempelajari budaya tradisional Indonesia (saat itu bernama Dutch East Indies), Mata Hari bergabung dengan grup tari lokal dan pada tahun 1897 ia mengungkap nama panggungnya itu. Selazimnya penari zaman itu yang membumbui asal-usulnya dengan berbagai kisah, Mata Hari menyebut dirinya telah mempelajari tarian suci India kuno sejak kecil dari lingkungan pendeta Hindu.

Reinkarnasi kontemporer dan glam dari spirit India dalam sosok femme fatale Mata Hari terwujud dalam karya-karya rancangan Sapto ini.

 

(Fotografer: Panji Diksana - Liputan6.com)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya