Liputan6.com, Semarang Selain Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan, ternyata ada satu kota lain yang juga memiliki persinggungan erat dengan tradisi membatik. Kota tersebut adalah Semarang.
Dalam penelitian sejarawan Universitas Diponegoro, Dewi Juliati, eksistensi Semarang dalam peta perbatikan ditandai adanya kampung kuno, bernama Kampung Batik.
"Dalam penelitian saya, Kampung Batik itu dulunya menjadi pusat produksi batik sejak zaman kerajaan. Namun tradisi membatik itu hilang bersama pembumihangusan sentra ekonomi Semarang oleh Jepang," kata Dewi.
Advertisement
Batik Semarang sempat mengalami pasang surut hingga munculnya Sanggar Batik Semarang 16 di tahun 2004. Sanggar inilah yang kemudian menjadi semacam 'bola salju' kreatifitas. Mereka yang sempat belajar atau bekerja di sanggar ini, diasah untuk mandiri dan memproduksi sendiri. Sanggar ini selain memproduksi batik dengan motif karya sendiri, juga menggelar serangkaian pelatihan di masyarakat maupun sekolah-sekolah.
Pendiri sanggar, Umi S Adisusilo menuturkan pendirian sanggar itu memang dimaksudkan agar tradisi membatik lebih membumi. Bukan hanya mengenakan pakaian batik, namun juga memproduksi.
"Sebelas tahun kami berupaya mandiri. Pernah mendapat support saat walikota Semarang dijabat bapak Sukawi Sutarip. Kami juga mengalami pasang surut. Saat ini kami sedang menyiapkan tempat yang cukup komprehensif. Bukan saja untuk pelatihan dan produksi, namun juga bisa menjadi obyek wisata budaya bagi umum," kata Umi, Jumat (2/10/2015) kepada Liputan6.com.
Umi menjelaskan bahwa survivalitas kreatifnya karena berbasis riset. Dibanding yang lain, di sanggar ini bergabung budayawan, seniman, pengangguran, wartawan dan mahasiswa. Merekalah yang bertugas memikirkan orisinalitas motif dan survivalitas produksi.
"Kami mencoba menciptakan regenerasi yang kuat. Saya sendiri saat ini sudah tak ada di struktur sanggar. Tapi masih menjadi pengasuh. Saya sendiri yang mengontrol penciptaan motif, komposisi warna, maupun membuat inovasi rancang busana dan terus mencari ciri Batik bergaya Semarang," kata Umi.
Tidak heran kalau sampai tahun 2015 ini, sanggar batik Semarang 16 sudah mematenkan lebih dari 800 motif. Sementara itu, Sophie, Manajer Operasional Sanggar Batik Semarang 16 sekarang, menjelaskan tradisi riset itu telah menjadi ruh bagi mati hidupnya sanggar. "Para desainer motif dan juga bagian pewarnaan kami diisyaratkan harus terus belajar," kata Sophie.
Riset seperti apa yang dikembangkan sanggar ini? Untuk mencipta motif, biasanya para desainer mempelajari terlebih dulu hal-hal yang sesuai tema. Misalnya tentang legenda kampung-kampung di Semarang. Kemudian mereka mencari sejarah munculnya legenda kampung tersebut.
Hasil motif itu kemudian dibawa ke rapat besar, untuk mendapatkan masukan ataupun evaluasi. Baru kemudian diproduksi. Menurut Sophie, sering terjadi produksi dibatalkan karena tak disetujui tim kreatif.
"Di celah ini, kami berusaha mencipta motif batik lengkap dengan prosesnya agar memiliki rasa Semarang," kata Sophie menambahkan. (Edhie Prayitno Ige/Ibo)