Liputan6.com, Jakarta Ableisme adalah sikap diskriminatif dan prasangka sosial terhadap penyandang disabilitas berdasarkan keyakinan bahwa kemampuan yang dianggap "normal" lebih unggul. Istilah ini mengacu pada sistem kepercayaan atau ideologi yang menempatkan dan menganggap orang-orang dengan disabilitas memiliki status yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non-disabilitas.
Pada dasarnya, ableisme berakar pada asumsi bahwa penyandang disabilitas memerlukan "perbaikan" dan mendefinisikan mereka semata-mata berdasarkan disabilitasnya. Hal ini mengklasifikasikan kelompok penyandang disabilitas sebagai kurang berharga dan mencakup stereotip, kesalahpahaman, serta generalisasi yang merugikan.
Ableisme dapat terjadi secara sadar maupun tidak sadar, dan seringkali telah mengakar dalam institusi, sistem atau budaya masyarakat secara umum. Sikap ini dapat membatasi kesempatan penyandang disabilitas dan mengurangi keterlibatan mereka dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Advertisement
Istilah ableisme pertama kali digunakan secara tertulis pada tahun 1986 oleh Council of the London Borough Haringey dalam siaran pers. Meski dari segi peristilahan tergolong baru, praktik diskriminatif terhadap penyandang disabilitas sudah berlangsung jauh sebelumnya dalam sejarah.
Bentuk-Bentuk Ableisme
Ableisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, yang semuanya merugikan penyandang disabilitas. Beberapa contoh nyata yang menunjukkan betapa mendalam dan luasnya dampak ableisme antara lain:
- Tidak mematuhi hukum dan regulasi terkait hak-hak penyandang disabilitas
- Memisahkan siswa dengan disabilitas ke sekolah khusus tanpa memberikan pilihan untuk bersekolah di sekolah umum
- Menggunakan pengekangan atau pemisahan sebagai cara mengendalikan siswa dengan disabilitas
- Memisahkan orang dewasa dan anak-anak dengan disabilitas di institusi khusus
- Tidak memasukkan aksesibilitas dalam rencana desain bangunan dan fasilitas umum
- Bangunan tanpa braille pada markah publik, tombol lift, dan petunjuk lainnya
- Membuat situs web dan aplikasi yang tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas
- Menganggap penyandang disabilitas ingin atau perlu "diperbaiki" kondisinya
- Menggunakan disabilitas sebagai bahan lelucon atau mengejek penyandang disabilitas
- Menolak memberikan akomodasi yang wajar di tempat kerja atau pendidikan
Selain itu, ableisme juga dapat terwujud dalam bentuk yang lebih halus dan sering tidak disadari dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
- Memilih tempat yang tidak dapat diakses untuk rapat atau acara
- Menggunakan perangkat mobilitas orang lain sebagai sandaran tangan atau kaki
- Menampilkan disabilitas sebagai tragedi atau inspirasi berlebihan dalam berita, film, dan media lainnya
- Memerankan aktor non-disabilitas untuk memainkan karakter dengan disabilitas dalam drama, film, atau iklan
- Membuat film tanpa deskripsi audio atau teks tertutup
- Menggunakan toilet yang dapat diakses saat bisa menggunakan toilet non-akses
- Berbicara dengan penyandang disabilitas seperti mereka anak-anak atau berbicara tentang mereka bukannya langsung kepada mereka
- Menanyakan pertanyaan invasif tentang riwayat medis atau kehidupan pribadi seseorang dengan disabilitas
- Menganggap orang harus memiliki disabilitas yang terlihat untuk dianggap sebagai penyandang disabilitas
- Meragukan apakah seseorang benar-benar penyandang disabilitas atau seberapa besar tingkat disabilitasnya
Advertisement
Dampak Ableisme Terhadap Penyandang Disabilitas
Ableisme memiliki dampak yang sangat nyata dan merugikan bagi kehidupan penyandang disabilitas. Beberapa dampak utama dari sikap dan praktik ableisme antara lain:
1. Hambatan akses dan partisipasi: Ableisme menciptakan hambatan fisik dan sosial yang membatasi akses penyandang disabilitas ke berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, transportasi, dan layanan publik. Hal ini mengurangi kesempatan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
2. Diskriminasi di tempat kerja: Penyandang disabilitas sering menghadapi diskriminasi dalam proses perekrutan, promosi, dan kondisi kerja. Mereka mungkin dibayar lebih rendah, kurang dilibatkan, atau bahkan ditolak pekerjaan karena disabilitasnya.
3. Stigma dan stereotip negatif: Ableisme memperkuat stigma bahwa penyandang disabilitas kurang mampu, tidak produktif, atau menjadi beban. Stereotip ini dapat merusak harga diri dan kepercayaan diri mereka.
4. Isolasi sosial: Sikap ableisme dapat menyebabkan penyandang disabilitas merasa terisolasi dan dikucilkan dari interaksi sosial dan kegiatan komunitas.
5. Hambatan pendidikan: Sistem pendidikan yang tidak inklusif dan kurangnya akomodasi yang tepat dapat menghambat penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang setara.
6. Dampak psikologis: Menghadapi diskriminasi dan pengucilan terus-menerus dapat menyebabkan stres, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya pada penyandang disabilitas.
7. Keterbatasan pilihan hidup: Ableisme dapat membatasi pilihan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari tempat tinggal, pekerjaan, hingga hubungan pribadi.
8. Hambatan akses layanan kesehatan: Sikap ableisme di kalangan tenaga medis dapat menyebabkan diagnosis yang tidak tepat atau perawatan yang tidak memadai bagi penyandang disabilitas.
9. Representasi yang tidak tepat: Media dan budaya populer sering menggambarkan penyandang disabilitas secara stereotipikal atau sebagai objek rasa kasihan, bukan sebagai individu yang utuh dan beragam.
10. Pelanggaran hak asasi: Ableisme dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak dasar penyandang disabilitas, seperti hak untuk hidup mandiri, membuat keputusan sendiri, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Akar Penyebab Ableisme
Untuk memahami dan mengatasi ableisme, penting untuk menyelidiki akar penyebab yang mendasarinya. Beberapa faktor utama yang berkontribusi pada munculnya dan bertahannya sikap ableisme dalam masyarakat antara lain:
1. Ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman: Banyak orang memiliki pengetahuan yang terbatas tentang berbagai jenis disabilitas dan pengalaman hidup penyandang disabilitas. Ketidaktahuan ini dapat mengarah pada asumsi yang salah dan stereotip.
2. Konstruksi sosial tentang "normalitas": Masyarakat telah membangun konsep tentang apa yang dianggap "normal" dalam hal kemampuan fisik dan mental. Segala sesuatu yang menyimpang dari norma ini sering dianggap inferior atau perlu "diperbaiki".
3. Sejarah diskriminasi dan pengucilan: Selama berabad-abad, penyandang disabilitas telah mengalami pengucilan, diskriminasi, dan bahkan penganiayaan di banyak masyarakat. Warisan sejarah ini masih memengaruhi sikap dan kebijakan masa kini.
4. Model medis disabilitas: Pandangan yang melihat disabilitas semata-mata sebagai masalah medis yang perlu "disembuhkan" telah lama mendominasi, mengabaikan faktor sosial dan lingkungan yang membatasi penyandang disabilitas.
5. Representasi media yang tidak tepat: Media sering menggambarkan penyandang disabilitas secara stereotipikal, baik sebagai objek rasa kasihan atau sebagai "inspirasi" yang luar biasa, bukan sebagai individu biasa dengan kehidupan yang kompleks.
6. Sistem pendidikan yang tidak inklusif: Sekolah yang memisahkan siswa dengan disabilitas dapat memperkuat gagasan bahwa mereka "berbeda" dan tidak mampu berpartisipasi dalam pendidikan umum.
7. Lingkungan yang tidak aksesibel: Desain bangunan, transportasi, dan teknologi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas memperkuat gagasan bahwa mereka tidak termasuk dalam masyarakat "normal".
8. Kebijakan dan hukum yang diskriminatif: Meskipun banyak kemajuan telah dicapai, masih ada kebijakan dan hukum yang secara langsung atau tidak langsung mendiskriminasi penyandang disabilitas.
9. Ketakutan dan ketidaknyamanan: Beberapa orang merasa tidak nyaman atau takut berinteraksi dengan penyandang disabilitas, sering kali karena kurangnya paparan dan pemahaman.
10. Internalisasi ableisme: Penyandang disabilitas sendiri terkadang menginternalisasi sikap ableisme, yang dapat menyebabkan rendahnya harga diri dan ekspektasi diri.
Advertisement
Cara Mengenali dan Menghindari Ableisme
Mengenali dan menghindari ableisme adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Berikut beberapa cara untuk mengenali dan menghindari sikap ableisme:
1. Edukasi diri: Pelajari lebih banyak tentang berbagai jenis disabilitas dan pengalaman hidup penyandang disabilitas. Bacalah buku, artikel, atau blog yang ditulis oleh penyandang disabilitas sendiri.
2. Periksa bahasa yang digunakan: Hindari penggunaan istilah yang merendahkan atau stereotipikal. Gunakan bahasa yang menghormati dan people-first language (misalnya, "orang dengan disabilitas" bukan "orang cacat").
3. Jangan membuat asumsi: Setiap penyandang disabilitas memiliki pengalaman dan kebutuhan yang berbeda. Jangan berasumsi tentang kemampuan atau keterbatasan seseorang berdasarkan penampilan mereka.
4. Hormati privasi: Hindari menanyakan pertanyaan invasif tentang disabilitas seseorang kecuali jika mereka membuka diri untuk membicarakannya.
5. Fokus pada aksesibilitas: Saat merencanakan acara atau merancang ruang, pertimbangkan kebutuhan aksesibilitas untuk berbagai jenis disabilitas.
6. Dukung representasi yang tepat: Dukung media dan seni yang menggambarkan penyandang disabilitas secara akurat dan beragam.
7. Advokasi untuk kebijakan inklusif: Dukung kebijakan dan hukum yang mempromosikan hak dan inklusi penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan.
8. Dengarkan dan belajar: Dengarkan pengalaman dan perspektif penyandang disabilitas. Mereka adalah ahli dalam pengalaman hidup mereka sendiri.
9. Hindari inspirasi porn: Jangan memuji penyandang disabilitas secara berlebihan hanya karena mereka menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
10. Intervensi saat menyaksikan ableisme: Jika Anda melihat tindakan atau ucapan ableisme, bicaralah dan edukasi orang tersebut dengan cara yang konstruktif.
Perbedaan Ableisme dan Disablisme
Meskipun ableisme dan disablisme merupakan istilah yang mendeskripsikan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, terdapat sedikit perbedaan penekanan pada masing-masing istilah ini:
1. Ableisme:
- Fokus pada preferensi terhadap orang-orang non-disabilitas
- Menekankan pada anggapan bahwa kemampuan "normal" lebih unggul
- Mencakup sikap dan praktik yang menguntungkan orang non-disabilitas
- Lebih sering digunakan dalam konteks akademis dan aktivisme di Amerika Utara
2. Disablisme:
- Lebih spesifik merujuk pada diskriminasi langsung terhadap penyandang disabilitas
- Menekankan pada tindakan aktif yang merugikan atau mengucilkan penyandang disabilitas
- Mencakup sikap dan praktik yang secara eksplisit merendahkan penyandang disabilitas
- Istilah ini lebih umum digunakan di Inggris dan beberapa negara Eropa
Meskipun ada sedikit perbedaan nuansa, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian dalam banyak konteks. Keduanya mengacu pada sistem diskriminasi dan pengucilan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam masyarakat.
Advertisement
Peran Masyarakat dalam Mengatasi Ableisme
Mengatasi ableisme bukanlah tanggung jawab penyandang disabilitas semata, melainkan tugas seluruh masyarakat. Berikut beberapa cara masyarakat dapat berperan dalam mengatasi ableisme:
1. Edukasi dan kesadaran: Masyarakat perlu aktif mencari informasi dan meningkatkan pemahaman tentang disabilitas dan pengalaman penyandang disabilitas. Ini bisa dilakukan melalui workshop, seminar, atau kampanye kesadaran publik.
2. Menciptakan lingkungan inklusif: Mendukung dan menerapkan desain universal dalam bangunan, transportasi, dan ruang publik lainnya untuk memastikan aksesibilitas bagi semua orang.
3. Mendukung kebijakan inklusif: Berpartisipasi dalam proses politik dan advokasi untuk mendukung kebijakan dan undang-undang yang mempromosikan hak dan inklusi penyandang disabilitas.
4. Representasi yang tepat: Mendorong dan mendukung representasi penyandang disabilitas yang akurat dan beragam dalam media, seni, dan budaya populer.
5. Inklusi dalam pendidikan: Mendukung sistem pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan semua siswa, termasuk mereka dengan disabilitas.
6. Kesempatan kerja yang setara: Perusahaan dan organisasi harus aktif dalam merekrut, mempekerjakan, dan mempromosikan penyandang disabilitas, serta menyediakan akomodasi yang diperlukan.
7. Menantang stereotip: Secara aktif menantang dan mengoreksi stereotip dan mitos tentang disabilitas ketika muncul dalam percakapan atau media.
8. Mendukung organisasi disabilitas: Berkolaborasi dengan dan mendukung organisasi yang dipimpin oleh penyandang disabilitas dalam advokasi dan inisiatif mereka.
9. Mengembangkan teknologi asistif: Mendorong pengembangan dan akses ke teknologi yang dapat membantu penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari mereka.
10. Mendengarkan suara penyandang disabilitas: Memberikan platform dan mendengarkan perspektif penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Ableisme dalam Konteks Indonesia
Ableisme di Indonesia memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri yang dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan ekonomi negara. Beberapa aspek ableisme dalam konteks Indonesia antara lain:
1. Stigma sosial dan budaya: Masih ada stigma kuat terhadap disabilitas yang berakar pada kepercayaan tradisional dan kurangnya pemahaman. Disabilitas sering dianggap sebagai kutukan atau hukuman.
2. Aksesibilitas terbatas: Banyak bangunan dan fasilitas umum di Indonesia belum sepenuhnya aksesibel bagi penyandang disabilitas, terutama di daerah pedesaan dan kota-kota kecil.
3. Kesenjangan pendidikan: Meskipun ada upaya untuk pendidikan inklusif, masih banyak anak dengan disabilitas yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
4. Diskriminasi pekerjaan: Penyandang disabilitas sering menghadapi diskriminasi dalam mencari pekerjaan dan pengembangan karir, meskipun ada undang-undang yang melindungi hak mereka.
5. Keterbatasan layanan kesehatan: Akses ke layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau masih menjadi tantangan bagi banyak penyandang disabilitas di Indonesia.
6. Representasi media: Media Indonesia masih sering menggambarkan penyandang disabilitas secara stereotipikal atau sebagai objek belas kasihan.
7. Implementasi kebijakan: Meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas, implementasinya masih sering kurang efektif.
8. Kesadaran masyarakat: Tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat umum tentang isu-isu disabilitas masih perlu ditingkatkan.
9. Partisipasi politik: Penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan dalam berpartisipasi penuh dalam proses politik dan pengambilan keputusan.
10. Perbedaan urban-rural: Terdapat kesenjangan besar dalam akses dan layanan bagi penyandang disabilitas antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Advertisement
Langkah-langkah Menuju Masyarakat Inklusif
Menciptakan masyarakat yang inklusif bagi penyandang disabilitas membutuhkan upaya berkelanjutan dari berbagai pihak. Berikut beberapa langkah konkret menuju masyarakat yang lebih inklusif:
1. Penguatan kebijakan dan implementasi: Memastikan bahwa undang-undang dan kebijakan yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas diimplementasikan dengan efektif di semua tingkat pemerintahan.
2. Peningkatan aksesibilitas: Menerapkan standar desain universal dalam pembangunan infrastruktur publik, termasuk gedung, transportasi, dan ruang terbuka.
3. Reformasi sistem pendidikan: Mengembangkan sistem pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan semua siswa, termasuk penyediaan guru terlatih dan materi pembelajaran yang aksesibel.
4. Pemberdayaan ekonomi: Menciptakan program-program yang mendukung kewirausahaan dan peluang kerja bagi penyandang disabilitas, termasuk insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan mereka.
5. Peningkatan layanan kesehatan: Memastikan akses yang setara ke layanan kesehatan berkualitas, termasuk rehabilitasi dan alat bantu, bagi penyandang disabilitas.
6. Kampanye kesadaran publik: Melaksanakan kampanye edukasi yang berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang disabilitas dan menghapus stigma.
7. Pemberdayaan organisasi disabilitas: Mendukung dan memperkuat organisasi yang dipimpin oleh penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam advokasi dan pengambilan keputusan.
8. Peningkatan representasi media: Mendorong representasi yang lebih positif dan beragam dari penyandang disabilitas di media dan industri hiburan.
9. Pengembangan teknologi asistif: Investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi yang dapat membantu penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.
10. Partisipasi politik: Memfasilitasi partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam proses politik, termasuk aksesibilitas dalam pemilihan umum.
Pertanyaan Umum (FAQ) Seputar Ableisme
1. Apa perbedaan antara ableisme dan rasisme?
Ableisme adalah diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, sementara rasisme adalah diskriminasi berdasarkan ras atau etnis. Keduanya adalah bentuk diskriminasi, tetapi target dan manifestasinya berbeda.
2. Apakah menggunakan istilah seperti "buta" atau "tuli" dalam percakapan sehari-hari termasuk ableisme?
Penggunaan istilah tersebut sebagai metafora (misalnya "buta terhadap fakta") dapat dianggap ableisme karena menggunakan kondisi disabilitas secara negatif. Lebih baik menggunakan bahasa yang lebih inklusif.
3. Bagaimana cara terbaik untuk menawarkan bantuan kepada penyandang disabilitas tanpa bersikap ableist?
Tanyakan terlebih dahulu apakah mereka membutuhkan bantuan dan hormati jawaban mereka. Jangan memaksakan bantuan atau berasumsi bahwa mereka selalu membutuhkan bantuan.
4. Apakah menyebut seseorang sebagai "penyandang disabilitas" juga termasuk ableisme?
Tidak, selama digunakan dengan hormat. Banyak penyandang disabilitas lebih memilih istilah ini daripada eufemisme seperti "berkebutuhan khusus".
5. Bagaimana cara mengedukasi anak-anak tentang disabilitas tanpa mempromosikan sikap ableist?
Ajarkan tentang keberagaman manusia, fokus pada kemampuan dan bukan keterbatasan, dan dorong interaksi inklusif dengan teman-teman yang memiliki disabilitas.
Advertisement
Kesimpulan
Ableisme adalah bentuk diskriminasi yang masih sering terjadi namun kurang dipahami di masyarakat. Sikap ini berdampak negatif terhadap kehidupan penyandang disabilitas, membatasi partisipasi mereka dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Mengenali dan mengatasi ableisme merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
Langkah-langkah konkret seperti edukasi, peningkatan aksesibilitas, implementasi kebijakan inklusif, dan perubahan cara pandang terhadap disabilitas perlu terus dilakukan. Dengan memahami akar penyebab ableisme dan aktif mengambil tindakan untuk mengatasinya, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman manusia dalam segala bentuknya.
Penting untuk diingat bahwa perjuangan melawan ableisme adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kesadaran, empati, dan tindakan nyata dari setiap individu. Dengan terus mengedukasi diri dan orang lain, serta aktif mendukung hak-hak penyandang disabilitas, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.