Penyihir Tak Lagi Dipercaya, Kenapa?

Penelitian mengerucut kepada satu hal, yaitu bahwa kepercayaan tradisional kepada sihir merusak kerjasama sehingga menghambat pembangunan.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 14 Mei 2016, 08:01 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2016, 08:01 WIB
Studi: Kepercayaan Kepada Sihir Menghambat Kemajuan
Ilustrasi dukun di Zimbabwe. (Sumber Wikimedia via Live Science)

Liputan6.com, Washington, DC - Di kawasan sub-Sahara Afrika, kepercayaan kepada sihir berkaitan dengan kurangnya percaya kepada orang lain, demikian hasil penelitian terkini. Lalu, kurangnya kepercayaan sosial itu ditengarai menjadi penghalang pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara yang karut marut.

Dikutip dari Live Science pada Sabtu (14/5/2016), ahli ekonomi Boris Gershman dari American University mengungkapkan bahwa di sejumlah daerah yang memiliki kepercayaan terhadap sihir, orang bahkan merasa kurang percaya lagi kepada keluarga, tetangga, dan lembaga setempat. 

Diduga, kepercayaan pada sihir juga ikut andil dalam pembentukan sikap anti sosial.

Namun kepercayaan terhadap sihir tersebut juga memiliki peran positif, "Para ahli ekonomi dan ilmuwan sosial menemukan adanya peran positif seperti rasa percaya dan kerjasama dalam mengembangkan transaksi bisnis, perkembangan ekonomi, perdagangan, dan terkait dengan sejumlah hasil sosioekonomi lainnya," kata Gershman.

"Jika kepercayaan kepada sihir memang memberi andil kepada tergerusnya persoalan-persoalan sosial, maka ini yang memberi dampak buruk kepada pertumbuhan ekonomi."

Sihir dan rasa percaya (trust)

Analisis Gershman berfokus pada data yang ia dapat dari survei Pew Forum on Religion and Public Life yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009. Survei ini melibatkan lebih dari 25.000 orang di 19 negara sub-Sahara. Survei  itu mengungkapkan sekitar 57% orang percaya kepada sihir.

Kepercayaan masyarakat lokal pada sihir hadir melalui berbagai cara. Yang paling lazim adalah ketika orang percaya bahwa nasib sial (dan penyakit semisal HIV) adalah akibat santet yang dikirimkan orang lain.

"Studi kasus di Afrika dan sejumlah masyarakat lainnya yang percaya kepada dukun menghasilkan kesimpulan bahwa kepercayaan ini dapat menyerang dua sisi," kata Gershman.

Pertama, orang bisa takut disantet. Kedua, dan mungkin yang paling menakutkan bagi banyak orang adalah ketakutan dituduh sebagai dukun, karena tuduhan ini bisa mengarah kepada pembunuhan.

Ketakutan-ketakutan inilah yang dapat mencegah orang untuk saling bekerjasama.

"Sebagai contoh, di suatu kasus, orang mengaku menolak memberikan bantuan pangan kepada tetangganya karena takut kalau terjadi apa-apa, misalnya kalau tetangganya kemudian sakit, maka muncul tuduhan sihir," kaat Gershman.

Ilustrasi seseorang yang kerasukan voodoo. (Sumber voodoopossesion.wordpress.com)

Temuan lain adalah dengan semakin lazimnya kepercayaan kepada sihir di suatu daerah, maka warganya semakin enggan memberikan bantuan.

Analisis Gershman mengacu pada faktor demografi maupun faktor sejarah yang dapat mempengaruhi kepercayaan kepada sihir dan rasa percaya itu sendiri. Namun demikian, hasil-hasilnya tetap saja berkaitan (correlational).

"Temuan-temuan itu tidak dapat membuktikan bahwa kepercayaan kepada sihir telah menyebabkan rasa kurang percaya," katanya.

Namun demikian ada umpan balik di sini. "Saya kira ada kemungkinan hadirnya hubungan yang memperkuat hal itu sendiri -- antara kepercayaan sihir dengan rasa curiga dan rendahnya dampak sosial," kata Gershman dengan menggunakan istilah ekonomi untuk menjelaskan jaring hubungan rasa percaya.

"Kepercayaan pada sihir dan kecurigaan menggerus rasa percaya (trust) dan penggerusan rasa percaya meningkatkan kemungkinan diteruskannya kecurigaan sihir itu."

Sekitar 70% mereka yang berpartisipasi dalam survei Pew itu mengatakan bahwa orang lebih memilih "harus sangat hati-hati" ketika berurusan dengan orang lain. 

Percaya Terhadap Sihir Memakan Biaya Besar

Besarnya Biaya yang Harus Dikeluarkan

Sejumlah jenis kepercayaan lain tidak terkait dengan rasa percaya tersebut, demikian temuan Gershman.

Percaya kepada malaikat, mukjizat ataupun menerima konsep-konsep agama secara harfiah, misalnya soal surga atau neraka, tidak berkaitan dengan tingkat rasa percaya (trust) seseorang.

Namun demikian, campur aduk antara sihir dan kepercayaan agama juga cukup rumit. Kebanyakan atau 90% partisipan survey mengaku sebagai seorang Kristen atau Muslim, kata Gershman.

Dan dalam dua kelompok agama itu, sekitar 60% mengaku percaya kepada sihir.

Kata Gershman, "Yang kita lihat di sini adalah keberadaan bersama (co-existence) antara apa yang kita anggap sebagai agama klasik dengan kepercayaan lokal."

"Sebagian besar penelitian menyebutkan bahwa agama-agama yang memiliki tokoh-tokoh yang mulia dan mengajarkan akhlak akan memperkuat kerjasama", kata Gershman.

Penelitiannya mengerucut kepada satu hal, yaitu bahwa kepercayaan tradisional kepada sihir merusak kerjasama.

Mungkin ada beberapa alasan mengapa kepercayaan itu tetap ada, kata Gershman.

Kepercayaan itu bisa bertindak sebagai agen kesetaraan dalam masyarakat yang tidak punya mekanisme apapun untuk pemerataan kesejahteraan.

Jika seseorang menjadi terlalu tinggi dan kuat, sesama warga desa bisa-bisa mencurigainya melakukan sihir dan menyita hartanya.

Masih menurut Gershman, data survei dan etnografi menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap sihir membawa beban biaya yang besar terhadap pembangunan.

Terkait data European Social Survey yang mengungkapkan anak imigran yang datang ke Eropa -- berasal dari wilayah-wilayah yang percaya kepada sihir adalah anak-anak yang kurang bisa dipercaya dibandingkan dengan anak imigran dari tempat lain memperkuat kaitan antara kepercayaan kepada sihir, pola asuh, dan rasa percaya.

"Kepercayaan kepada sihir merupakan suatu hal yang harus dipikirkan oleh badan bantuan internasional ketika mereka merencanakan program-program pembangunan ekonomi," ungkap Gershman.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya