Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun 1960-an, dunia masih sangat dibayangi ancaman perang nuklir antara dua negara Adi Daya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dunia masih teringat 'neraka' di Hiroshima dan Nagasaki saat bencana bom nuklir benar-benar nyata.
Sebelumnya, pada 1953, revolusi pecah di Kuba. Sekitar 6 tahun kemudian, negara itu berada di bawah kaum komunis revolusioner yang mencoba menyebarkan revolusi mereka ke sekitarnya. AS pun gerah dan memutuskan melakukan embargo jangka panjang atas Kuba.Â
Baca Juga
Baca Juga
Kuba berpaling kepada Uni Soviet, dan dua negara itu langsung menjadi sangat mesra secara politik maupun militer. Pada 1962, Kuba menjadi tempat penyimpanan rudal nuklir Uni Soviet sehingga membuat AS gerah.
Advertisement
Perairan internasional di kawasan panas itu langsung dipenuhi kapal selam, kapal induk, dan kapal perang milik AS maupun Soviet. Upaya harian secara diplomatis tidak membawa hasil, guna mendekatkan dua musuh bebuyutan Perang Dingin itu.
Sementara itu, ratusan meter di bawah permukaan laut, ada sebuah kapal selam Soviet yang terputus hubungannya dari dunia luar sedang bersembunyi dari pihak AS yang mengejarnya.
Kapal selam diesel-listrik B-59 kelas Foxtrot itu terpergok pihak AS pada 27 Oktober 1962, oleh kapal-kapal penghancur dan kapal induk USS Randolph. Tidak lama kemudian, bom bawah laut mengurung kapal selam itu untuk memaksanya naik ke permukaan.
Karena hubungan radio terputus terlalu lama, Kapten Valentin Grigorievitch Savitsky akhirnya memutuskan bahwa sudah saatnya melakukan perlawanan balik menggunakan torpedo nuklir T-5. Unit persenjataan paling digdaya di kapal selam.
Keputusan demikian harus dibuat bersama dengan 3 orang lain yang merupakan para petinggi kapal selam. Savitsky dan seorang pejabat politik bernama Ivan Semonovich lalu sepakat untuk melawan balik. Tapi, komandan lainnnya, Vasili Arkhipov, tidak setuju.
Nasihat Arkhipov
Arkhipov pernah terlibat dalam insiden lain terkait nuklir. Setahun sebelumnya, pada bulan Juli, ia bertugas sebagai wakil komandan kapal selam nuklir K-19.
Saat itu, sistem pendingin dan komunikasi radio rusak berat. Tanpa adanya cadangan, Arkhipov memperingati anak buahnya atas bahaya nuklir yang akan terjadi.
Semua awak, termasuk Arkhipov, terpapar radiasi sehingga semua awak teknik meninggal dalam waktu sebulan setelah temuan solusi bencana. Bisa dibilang, Vasili Arkhipov cukup berpengalaman untuk urusan tersebut.
Reputasi demikian membantunya untuk meyakinkan para komandan lain agar menjauh dari menekan tombol merah peluncuran nuklir. Ia tidak ingin mencegah bencana nuklir di masa lalu hanya untuk membuat bencana baru.
Kapal selam itu akhirnya naik ke permukaan dan menyerahkan diri.
Kepala dingin Arkhipov menyelamatkan banyak jiwa dalam waktu dua tahun tersebut. Walaupun ia tidak pernah menerima penghargaan resmi karena perannya.
Para ahli sejarah, sosiologi, dan filsafat telah mencoba sejak lama untuk menjelaskan dilema membentuk pelaku sosial yang berdampak. Bisakah satu orang di tempat yang tepat terbukti lebih penting daripada ribuan orang di tempat salah? Ternyata bisa.