Saat Pilpres AS, TV Rusia Tampilkan Foto Telanjang Melania Trump

Pemilu AS memasuki tahapan terakhir. Dunia berdebar-debar menanti siapa yang akan menjadi presiden selanjutnya.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 09 Nov 2016, 10:41 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2016, 10:41 WIB
Donald Trump dan sang istri Melania di atas panggung Konvensi Partai Republik
Donald Trump dan sang istri Melania di atas panggung Konvensi Partai Republik (Straits Times)

Liputan6.com, Washington D.C - Pemilihan umum Presiden Amerika Serikat menjadi sorotan dunia. Warga di seantero dunia ikut berdebar-debar menunggu hasil pemungutan suara yang kini masih berlangsung penghitungannya di beberapa wilayah AS.

Siapa gerangan yang menjadi penerus Barack Obama dan memimpin Amerika Serikat? Hillary Clinton atau Donald Trump?

Hillary Clinton sempat tersandung isu bocornya ribuan email ke Wikileaks yang diduga dibajak oleh Rusia. Sementara Trump tertimpa skandal foto telanjang istrinya, Melania Trump, yang dulunya merupakan model "panas".

Pemerintah Rusia memiliki pandangan yang berbeda dalam sistem demokrasi AS, terutama pemilu kali ini. Seperti laporan yang dikutip dari The Washington Post, Rabu (9/11/2016), ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari media Kremlin mengenai apa yang sebenarnya negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin itu simpulkan tentang Pemilu AS.

Berikut selengkapnya lima "pandangan" Rusia mengenai Pemilu AS 2016:

1. Skandal Seks

Menurut media Kremlin, tayangan kampanye AS yang ditampilkan setiap 30 menit "hanya" menampilkan semua calon atau presiden yang memiliki skandal seks.

Seperti Donald Trump yang acap mengatakan kata-kata tak sopan mengenai perempuan, diikuti oleh foto telanjang istrinya, Melania.

Kemudian foto Monica Lewinsky juga muncul diikuti oleh mantan Presiden AS, Bill Clinton.

Keduanya sempat menjalin hubungan asmara terlarang selama Bill Clinton menjabat di Gedung Putih.

2. Curang dan Kotor

"Ini merupakan kampanye paling curang dan kotor yang pernah terjadi sepanjang sejarah Amerika Serikat," ujar seorang pembawa acara televisi pemerintah, Dmitry Kiselyov, dalam Show Rossyia-24.

"Tampaknya absurd, tapi Trump tahu apa yang sedang dia bicarakan," komentar Dmitry atas kalimat pengulangan Trump yang sering dilakukannya.

Menurut Dmitry, Trump merupakan seorang "licik" yang tahu bagaimana caranya meyakinkan pemilih mengenai sebuah skema yang akan terjadi.

Contohnya saja dengan menggunakan kata-kata dead soul yang mengidentifikasi nama orang yang sudah meninggal yang digunakan untuk memilih; the carousel di mana orang-orang akan berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara; dan "pemberontakan" yang dilakukan oleh anggota lembaga pemilihan presiden dan wakil presiden dalam electoral college--yang seharusnya memilih Trump, tapi malah condong ke Hillary.

"Apa yang terjadi pada Pemilihan Umum Rusia pada 1990-an adalah 'permainan anak-anak', jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di AS," kata Kiselyov menyimpulkan.

Presiden AS Hanya Sekadar 'Boneka'

3. Presiden AS Hanya 'Boneka'

"Kandidat mana pun yang terpilih menjadi Presiden AS tidak akan sepenuhnya memimpin negara itu," kata Kiselyov.

Pembawa acara itu kemudian mengatakan kepada penonton show-nya bahwa penguasa industri militerlah yang menjadi pemimpin sebenarnya dan presiden hanyalah "boneka".

Pria itu juga mengatakan bahwa Presiden hanya mengerjakan apa yang telah diinformasikan oleh Secret Service kepada Gedung Putih.

Bahkan jika Trump ingin merealisasikan pernyataannya dalam kampanye, bahwa ia akan menarik militer AS yang berada di luar negeri, maka dark forces atau kekuatan hitam tidak akan melarang dia untuk melakukannya.

Sementara itu, Hillary Clinton akan berusaha melakukan negosiasi melawan dark forces yang merupakan cerminan ketidaksukaan Kremlin terhadap Demokrat.

4. AS Tak Punya Hak 'Mengatur' Negara Lain

"Ketika masih ada yang menganggap bahwa AS itu adalah negara demokrasi aku merasa jijik dan mual mendengarnya," kata Kiselyov kepada pemirsanya.

Sebelumnya, permintaan pihak Rusia untuk datang sebagai pengamat Pilpres AS, di luar organisasi yang ditunjuk PBB, ditolak pihak Washington DC.  

5. Demokrasi Sudah 'Mati'

Saat diadakan pemilihan online antara Capres Hillary Clinton dan Donald Trump di media sosial Twitter, warga Kremlin memilih 28 pesren Trump, 4 persen Clinton, dan 68 persen tak peduli.

Ada juga yang menuliskan bahwa demokrasi itu sudah mati, 'Democracy, R.I.P'.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya