Liputan6.com, Jakarta - Merenggut 50-85 juta nyawa manusia dalam enam tahun, dari 1939 hingga 1945, Perang Dunia II adalah pertempuran global paling dahsyat sekaligus mematikan dalam sejarah.
Baca Juga
Advertisement
Namun, di tengah kegilaan dan kekejaman yang terjadi, masih ada manusia-manusia yang masih berpikiran waras.
Seperti dikutip dari Warhistoryonline.com, Selasa (29/11/2016), setidaknya ada tiga momentum luar biasa, ketika para serdadu berhenti saling menodongkan senjata.
Pada saat itulah, menyeruak kesadaran bahwa mereka adalah sesama manusia, bukan sekedar 'mesin pembunuh' dalam perang.
Saksikan kisahnya berikut ini:
1. Pilot Nazi Selamatkan Penerbang AS
Pada Perang Dunia II, Jerman dan Amerika Serikat ada dalam posisi berlawanan. AS di kubu Sekutu (Allies) dan pemerintahan Nazi ada di kubu Poros (Axis).
Tak hanya di darat dan laut, pertempuran juga berlangsung keras dan seru di udara. Tembakan torpedo yang diluncurkan jet-jet tempur memerahkan langit.
Kala itu, di tengah musim dingin di Jerman utara, sebuah pesawat yang compang-camping sedang berjuang lolos dari udara beku -75 derajat Fahrenheit atau -59 derajat Celcius.
Sementara itu di darat, di dekat Bremen, Franz Stigler sedang mengisikan bahan bakar ke pesawatnya, Messerschmitt Bf 109 G-6 -- yang menghadapi risiko panas berlebihan pada mesin (overheating) gara-gara sebutir peluru yang bersarang di radiator.
Stigler adalah pilot tangguh, ia sudah menghabisi 22 nyawa musuh dalam duel di udara.
Saat kepalanya mendongak ke angkasa, Stigler menyaksikan sebuah pesawat pengebom atau bomber AS dalam kondisi payah.
Kapal terbang yang dipiloti oleh Charles Brown dari West Virginia jadi target serangan bertubi yang menghancurkan bagian moncong, mematikan dua mesinnya -- yang membuatnya terbang lambat.
Awalnya, pesawat itu terbang dalam formasi tempur. Namun, serangan pihak lawan membuatnya terpisah, kemudian ditinggalkan, dan dijadikan pengalih serangan musuh.
Tak hanya itu. Satu mesin lagi mati, aliran oksigen dalam pesawat menipis, setengah dari perangkat kemudi (rudder) hilang, pun dengan bagian moncong pesawat dan kemudi angkat (elevator) yang tak lagi utuh.
Sistem listrik jet bomber itu terganggu, senjata yang ada di dalam pesawat juga macet. Sebagian besar awak pesawat luka-luka. Brown juga mengalami cedera di bahu kanannya.
Rasa nyeri tak terperi dirasakan para serdadu. Apalagi morfin untuk penahan sakit yang ada di pesawat beku. Tak ada kesempatan untuk minta bantuan, sebab radio komunikasi hancur.
Melihat situasi itu, Stigler lepas landas dan terbang di dekat pesawat AS. Dari jarak dekat, bolong di badan pesawat membuatnya bisa melihat penderitaan awak yang ada di dalamnya.
Pada situasi seperti itu, Stigler yang dalam kondisi lebih beruntung, bisa dengan mudah menjatuhkan lawan. Namun, terngiang di benaknya kata-kata yang pernah diucapkan komandannya.
"Pertama, terakhir, dan selamanya, kalian adalah pilot tempur. Jika aku mendengar salah satu di antara kalian menembak seseorang yang terjun mengenakan parasut, aku yang akan menembak kalian!," itu yang diucapkan sang komandan teladan.
Bagi Stigler, saat itu, semua awak dalam pesawat AS -- B-17F Flying Fortress
yang dijuluki Ye Olde Pub -- sedang berada dalam sebuah 'parasut' yang terbuat dari logam.
Meski masih muda, penerbang Jerman itu membuktikan ia punya integritas. Alih-alih menyerang, dirinya justru mencoba untuk membantu para serdadu lawan yang babak belur.
Stigler mencoba untuk mengarahkan B-17 itu ke pangkalan udara Jerman. Harapannya, mereka akan mendarat dan menyerah.
Namun, ketiadaan alat komunikasi membuat Brown serta para awaknya tak mengerti dan terus terbang. Tak menyerah, Stigler berusaha mengarahkan jet tempur AS itu ke wilayah netral di Swedia. Lagi-lagi, niatnya itu tak terbaca para penerbang Negeri Paman Sam.
Stigler kemudian bermanuver, pesawatnya disejajarkan ke sisi sayap jet yang dikemudikan Brown. Tujuannya, untuk melindungi pilot AS itu dari tembakan pihak Jerman.
Tak mengerti apa yang terjadi, Brown justru meminta awaknya untuk mengarahkan moncong senjata jenis dorsal turret yang ada di pesawat ke arah Stigler. Mereka hanya ingin memberi peringatan, agar ia menjauh, tidak berniat menembak.
Entah apa yang membuat Stigler bersikukuh tetap menempatkan pesawatnya di sebelah sayap B-17, meski moncong senjata mengarah kepadanya. Mungkin karena keberanian dan rasa kemanusiaan yang dimilikinya, penerbang Jerman itu terus terbang di sisi jet tempur musuh, menjadikan dirinya 'perisai' dari muntahan peluru pihak Jerman -- teman- temannya sendiri.
Pesawat Stigler terus memandu B-17 hingga ke wilayah pantai, di mana jet tempur AS itu bisa terbang di atas perairan terbuka yang relatif lebih aman.
Setelah memastikan bomber AS itu dalam kondisi aman, Stigler mengarahkan pandangannya ke kabin B-17, melayangkan hormat pada Brown, lalu menerbangkan pesawatnya kembali ke wilayah udara Jerman.
Brown kemudian berhasil menerbangkan pesawatnya ke pangkalan udara Inggris, dan melaporkan insiden itu pada petinggi militer yang ada di sana.
Namun, para komandan melarangnya untuk menyebarkan kisah itu. Mereka tak ingin pilot-pilot lain punya kesan positif pada pihak lawan.
"Seseorang (petinggi) memutuskan orang tak mungkin menjadi manusia saat terbang di kokpit pesawat Jerman," kata Brown.
Seperti halnya Brown, Stigler memutuskan untuk tutup mulut. Keberanian dan rasa kemanusiaan yang ia tunjukkan dianggap 'haram' di tengah perang. Bisa-bisa ia justru dieksekusi karenanya.
Beberapa tahun kemudian, pada 1986, Brown yang berutang budi berusaha mencari Stigler.
Ia akhirnya menemukan sosok penyelamat jiwanya itu pada 1990. Kala itu, Stigler tinggal di Kanada.
Dua mantan penerbang, yang sebelumnya memusuhi satu sama lain, akhirnya menjalin persahabatan yang erat terjalin hingga akhir hayat. Brown, juga Stigler, tutup usia pada 2008.
2. Keajaiban di Malam Natal
Pertempuran Bulge ( (16 Desember 1944 – 25 Januari 1945) adalah pertempuran paling berdarah dan terbesar yang melibatkan Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Jerman ada di pihak lawan.
Namun, sebuah keajaiban terjadi di tengah pertempuran yang menewaskan puluhan ribu orang tersebut.
Kala itu, malam Natal 1944, seorang bocah laki-laki dan ibunya berada di dalam pondok kayu mereka yang berada di hutan di wilayah Ardennes, Belgia. Sang ayah, yang berprofesi koki, diterjunkan dalam pertempuran, di pihak Jerman.
Di sanalah, Elisabeth Vincken dan putranya, Fritz berlindung dari cuaca beku, juga dari pasukan musuh yang bersembunyi di pedesaan, yang siap menerjang. Tiba-tiba, suara mencurigakan terdengar. Seperti ada seseorang datang.
Pintu pun dibuka. Jantung Nyonya Vincken serasa copot saat menemukan sekelompok tentara AS di muka rumahnya, salah satu dari mereka dalam kondisi terluka.
Mati-matian ia menyingkirkan perasaan khawatir bakal dieksekusi mati karena menolong tentara musuh. Demi kemanusiaan, ia mengizinkan para serdadu AS itu masuk ke rumahnya.
Perempuan mulia itu tak bisa bicara Bahasa Inggris. Sementara, tentara AS tak bisa Bahasa Jerman. Namun, mereka akhirnya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Prancis.
Tak lama kemudian, ketukan keras terdengar dari arah pintu. Nyonya Vincken takut bukan kepalang, ia khawatir bisa jadi tentara Jerman yang datang. Maka, ia membuka pintu secara perlahan, dan perkiraannya benar.
Pikirannya berkecamuk hebat. Ada kemungkinan para tentara Jerman tak punya belas kasihan dan bakal menembaki serdadu-serdadu AS yang ia tampung.
Perempuan hebat itu lalu melangkah keluar. Kepada para tentara Jerman, ia berjanji akan menyediakan makan malam yang disajikan panas dan meminta mereka menanggalkan bedil yang tersandang -- syarat serupa yang dimintanya pada pihak AS.
Dan karena itu adalah malam Natal, Nyonya Vincken mengatakan pada para serdadu, ia sedang menerima tamu lain.
Maka, anggota pasukan Jerman itu pun masuk ke dalam pondok. Suasana sungguh canggung ketika dua pihak yang berlawanan itu saling tatap.
Akhirnya, salah satu serdadu Jerman, seorang paramedis, memecah kebekuan dengan menawarkan bantuan membalut luka tentara AS yang cedera.
Fritz Vincken, yang kala itu masih bocah, menceritakan kembali insiden tersebut dalam wawancara dengan WII History Network.
Ia menceritakan, sang ibu akhirnya kembali ke dapur. Memasukkan bahan-bahan tambahan pada setup yang sedang dimasak.
Kemudian dua pihak berseteru itu duduk menghadap meja makan, bersama tuan rumah, menikmati makan malam yang hangat. Setelahnya, seorang tentara Jerman -- eks mahasiswa kedokteran -- mengobati luka serdadu AS.
"Lalu, Ibu membaca Alkitab dan menyatakan bahwa ada setidaknya satu malam yang damai di tengah perang, pada malam Natal di Hutan Ardennes," kata dia.
"Setelah beristirahat cukup, para tentara saling mengucapkan selamat tinggal dan berpisah jalan. Tentara Jerman memberitahukan pihak AS jalan menuju kamp Amerika, memberikan kompas agar mereka bisa menemukannya."
Fritz menyebut, kepribadian kuat dan kebaikan hati sang ibu mungkin membuat pihak Jerman tak menangkapnya -- atas tuduhan membantu musuh. "Tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan tempat berlindung dari udara beku. Mereka sungguh menghargainya."
Nyonya Vincken tak sempat bertemu dengan orang-orang yang ia tolong, namun Fritz bertemu kembali dengan dua serdadu AS. Kini, ia bahkan tinggal di Hawaii.
"Beberapa tahun telah berlalu sejak pertempuran paling berdarah dalam semua perang itu. Namun, kenangan malam itu di Ardennes tak pernah lekang dari ingatan. Kekuatan batin dan intuisi seorang perempuan hebat, telah mencegah pertumpahan darah yang mungkin terjadi," kata Fritz.
Apa yang dilakukan sang ibu, menurut Fritz, menjadi bukti bahwa 'kehendak Tuhan melampaui kehendak manusia'.
"Saya akan selalu ingat sosok seorang ibu dan tujuh tentara muda, yang bertemu sebagai musuh, namun berpisah sebagai teman, di tengah Pertempuran Bulge."
3. Ditolong Polisi dan Dokter Musuh
Richard Carroll masih berusia 22 tahun saat menjalani misi terbangnya yang ke-15, sebagai kopilot. Pemuda yang belum lama jadi penerbang itu sedang berada di kokpit B24 saat jet ia naiki dihantam tembakan anti-pesawat tempur.
Akibatnya, fatal. Baling-baling pesawatnya copot. Carroll dan sang pilot tak punya pilihan lain selain terjun.
Mereka yang tak pernah dan tidak terlatih melakukan terjun payung, terpaksa bergantung pada parasut di atas wilayah pertanian di Hungaria.
Itu adalah tempat yang mengerikan bagi tentara AS. Warga desa Hungaria, yang murka akibat kerugian yang mereka alami akibat bombardir pasukan Sekutu menumpahkan kemarahannya pada tentara muda yang baru mendarat di lahan mereka.
Para petani -- yang kehilangan properti, juga nyawa teman bahkan anggota keluarga -- menyerbu, membawa sekop, pacul, dan setidaknya sebuah senapan. Mereka ingin balas dendam.
Carroll tertembak. Dada pemuda itu tertembus peluru. Setelah badannya rubuh, tiba-tiba seorang petani Hungaria muncul dari sela-sela rimbunnya tanaman jagung.
Petani itu memukul kepalanya dengan keras. Menurut Carrol suaranya mirip tongkat pemukul yang menghantam bola baseball saat pertandingan liga.
Kemudian, polisi Hungaria datang. Mereka berupaya keras menembus kerumunan massa yang marah, untuk menolong Carroll. Tentara AS itu kemudian dilarikan ke rumah sakit militer yang merawat tawanan perang.
Jantung Carroll berdarah. Namun, dokter dan para perawat tak tahu, apakah mencabut peluru itu adalah solusi terbaik. Serdadu itu juga mengalami penyumbatan pembuluh darah di kaki yang bisa menyebabkan kematian.
Paramedis terus berupaya merawatnya, tak putus harapan, meski pasien sempat diberikan sakramen perminyakan terakhir sebagai seorang penganut Katolik.
Untungnya, penyumbatan pembuluh darah sembuh dalam lima hari, meski peluru masih bersarang di jantungnya -- hingga kini.
Setelah keluar dari rumah sakit, Carroll dibawa ke kamp tahanan perang di Laut Baltik -- di mana ia dan 10.000 tawanan lain terpaksa makan kentang busuk dan tidur di atas ranjang keras.
Setahun kemudian, pihak Rusia -- yang kala itu bertempur di pihak Sekutu -- menyerbu lokasi tahanan. Para penjaga kamp kabur meninggalkan para tawanan di dalam sel.
Carroll dan tawanan perang Amerika lainnya dibawa ke Prancis. Dari sana mereka akhirnya dikirim pulang ke Negeri Paman Sam.
Carroll kini aktif menceritakan kisahnya, juga cerita-cerita masa perang, kepada anak-anak sekolah di kampung halamannya di Minnesota.
Selain soal kekejaman perang, ia juga berkisah tentang manusia-manusia, yang tak melupakan rasa kemanusiaannya, bahkan di tengah pertempuran brutal.