Dipicu Patung Budak Seks, Jepang Tarik 2 Diplomat dari Korsel

Jepang menyesalkan penempatan sebuah patung perempuan sebagai simbol budak seks di luar kantor konjennya di Busan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Jan 2017, 16:12 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2017, 16:12 WIB
Patung perempuan yang menjadi simbol budak seks ditempatkan di luar kantor konsulat Jepang di Busan
Patung perempuan yang menjadi simbol budak seks ditempatkan di luar kantor konsulat Jepang di Busan (Associated Press)

Liputan6.com, Busan - Jepang menarik dua diplomat tingginya dari Korea Selatan (Korsel). Langkah itu sebagai protes pendirian patung simbol budak seks di depan konsulat Jepang di Busan.

Tokyo juga akan menunda pembahasan terkait dengan pertukaran valuta asing juga dialog ekonomi tingkat tinggi. Menurut Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga, ini merupakan langkah awal atas penempatan patung tersebut.

Seperti dilansir CNN, Jumat (6/1/2017), patung itu didirikan oleh sekelompok warga sipil pada Desember lalu dan merupakan patung "wanita penghibur". Selama Perang Dunia II, banyak perempuan yang dipaksa menjadi budak seks bagi tentara Jepang.

"Fakta bahwa patung perempuan itu didirikan memiliki pengaruh tidak menguntungkan bagi hubungan Jepang-Korea Selatan. Dan hal ini sangat disesalkan," ujar Yoshihide.

Dua diplomat Jepang yang dipanggil pulang adalah Duta Besar Jepang untuk Korsel dan Konsulat Jenderal Jepang di Busan.

Kementerian Luar Negeri Korsel merilis pernyataan untuk menanggapi langkah Jepang tersebut. Pada dasarnya mereka menyesalkan penarikan dua diplomat tinggi.

"Pemerintah kami menekankan sekali lagi bahwa jika ada persoalan sulit antar kedua negara, antar kedua pemerintahan, tapi berdasarkan kepercayaan, hubungan perlu terus dikembangkan," sebut pernyataan itu.

Sebelumnya, tepatnya pada Desember 2015, kedua negara telah mencapai kesepakatan soal wanita penghibur itu. Jepang setuju untuk menggelontorkan dana sebesar 1 miliar yen atau sekitar Rp 115 miliar bagi para korban.

Menteri Luar Negeri Korsel saat itu mengatakan, selama Jepang konsisten dengan kesepakatan tersebut maka pihaknya akan mempertimbangkan isu ini sebagai kasus "tidak terselesaikan".

Meski demikian, kesepakatan itu dikritik oleh kelompok advokasi eks perempuan penghibur. Salah seorang di antaranya menyebut itu sebagai bentuk penghinaan diplomatik.

Diperkirakan terdapat 200.000 perempuan, terutama asal Korea, yang dipaksa menjadi budak seks Jepang selama Perang Dunia II. Sejumlah wanita lainnya berasal dari China, Taiwan, termasuk Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya