Ilmuwan Kaji Potensi Pil Ekstasi untuk Dijadikan Obat

Ekstasi diketahui memicu pelepasan serotonin, suatu zat kimia dalam otak, sekaligus meniru tindakan-tindakan zat itu dalam otak.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 12 Apr 2017, 08:42 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2017, 08:42 WIB
Ilustrasi Ekstasi (5)
Ilustrasi Ekstasi

Liputan6.com, London - Pil ekstasi ternyata membuat penggunanya merasa bahwa semua orang adalah temannya. Melalui suatu eskperimen permainan kepercayaan (trust game) baru-baru ini, terkuaklah alasan dampak pil tersebut.

Ekstasi, yang dikenal juga sebagai MDMA, diketahui memicu pelepasan serotonin, suatu zat kimia dalam otak, sekaligus meniru tindakan-tindakan zat itu dalam otak.

Penyelidikan tentang dampak hal itu pada manusia dapat membantu cara kita mengendalikan perilaku sosial dan mengerti mengapa proses ini memperburuk depresi dan skizofrenia, demikian menurut Anthony Gabay di King's College London.

Dikutip dari New Scientist pada Selasa (11/4/2017), dalam penelitian teranyar mereka, Gabay dan timnya memberikan MDMA kepada 20 pria dan meminta mereka melakukan permainan yang dikenal sebagai "Prisoner's Dilemma" pada komputer sambil berbaring dalam mesin pemindai otak.

Angka yang diperoleh dalam permainan bergantung kepada apakah seseorang bekerjasama atau mengkhianati lawannya, maupun apa yang mereka pilih untuk dilakukan.

Permainan menjadi semakin kompleks jika dimainkan dalam beberapa ronde karena, walaupun peserta mendapat angka terbanyak karena mengkhianati lawan dalam ronde tunggal, mereka sebenarnya mendapat lebih banyak angka dalam jangka panjang sekiranya mereka malah bekerja sama.

Para pria peserta permainan melakukan 15 ronde permainan dengan lawan yang sama sehingga sempat terbangun hubungan walaupun, tanpa mereka ketahui, mereka sebenarnya sedang bermain melawan komputer.

Ketika diberi MDMA, para peserta menjadi riang gembira dan cerewet, bahkan, kata Gabay, "Beberapa di antara mereka ingin memeluk saya."

Dalam keadaan demikian, mereka bekerja sama dua kali lebih sering dibandingkan ketika mereka melakukan permainan dengan menenggak plasebo seandainya lawan mereka biasanya dapat dipercaya.

Tapi, jika lawan mereka sering mengkhianati mereka, para pria bertindak serupa, baik dengan maupun tanpa MDMA, dan mengurangi kerjasama dalam permainan. Kata Gabay, "Mereka baik, tapi tidak bodoh."

Temuan itu dipaparkan dalam konferensi British Neuroscience Association dalam minggu ini.

Melalui pemindaian otak yang dilakukan oleh tim peneliti, terlihatlah bahwa MDMA meningkatkan kegiatan di beberapa daerah otak yang berurusan dengan perilaku sosial, termasuk bagian superior temporal sulcus sebelah kanan.

Penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa reseptor serotonin yang diaktifkan oleh MDMA ditemukan paling tinggi konsentrasinya di bagian superior temporal sulci pada dua belah otak, dan juga pada bagian-bagian lain yang menjadi lebih aktif selama percobaan ini.

Sementara itu, Michael Mithoefer di Medical University of South Carolina mengatakan bahwa temuan itu membantu menjelaskan apa yang dilakukan oleh MDMA (esktasi), tapi "Masih banyak yang belum kita ketahui."

Mithoefer sedang mengkaji penggunaan ekstasi sebagai pembantu perawatan gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder, PTSD).

Ekstasi dapat membantu pasien agar lebih mempercayai ahli terapinya dan mencegah pasien kewalahan oleh ingatan-ingatan traumatis selagi menjalani terapi, demikian menurut Mithoefer.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya